Dari dalam kamar mandi sesekali terdengar suara bocah melantunkan sebait nyanyian bernada riang meningkahi suara ibunya di dapur yang sedang uring-uringan sembari tangannya cekatan memasukkan beras ke dalam alat penanak. Kepada suaminya baru saja ia meminta uang untuk membeli telur dan uang jajan si bocah, akan tetapi suaminya yang sedang menyeduh segelas kopi itu menyatakan bahwa uang yang tinggal selembar semalam ia pinjamkan pada temannya untuk suatu keperluan mendesak.
Padahal hari ini si bocah akan tes di sekolah, karenanya ia ingin memasak telur yang bergizi sebagai lantaran dan semoga Gusti Allah Ta’ala memberi kecerdasan pada anaknya mengikutinya dengan mudah. Sementara ia pun sedang tidak ada simpanan uang meski hanya serupiah.
Si suami sempat menyarankannya utang beberapa butir telur dulu ke warung, akan tetapi ia menjawab dengan menyatakan bahwa ia rada rikuh alias tidak enak, karena kekurangan belanja beberapa hari lalu belum mereka lunasi.
Kemudian, seusai menaruh kopinya di meja ruang tamu, kendati rada ragu lelaki itu coba memeriksa saku-saku celana dan bajunya yang tergantung di dinding kamar, barangkali selembar uang ia temukan. Seiring itu sekonyong-konyong terlintas dalam benaknya dua bisikan yang bertentangan. Satu suara menyuruhnya untuk menyesali tindakannya semalam, yakni meminjamkan uang. Sementara satu suara mengajaknya untuk tidak menyesali tindakan tersebut, karena itu suatu kebaikan dan apa lagi sudah dilakukan. Ini menjadikannya teringat bahwa semalam, begitu temannya tersebut mengutarakan maksud kedatangannya, untuk beberapa saat ia pun ditimpuk selarik kebimbangan:
Di satu sisi uang itu memang ia sediakan untuk kebutuhan keluarganya, apalagi waktu bayarannya bekerja masih beberapa hari lagi. Akan tetapi, di sisi lain ia jatuh iba mendengar temannya sedang amat membutuhkan uang untuk membeli beras, sementara temannya itu sedang tidak bekerja. Kemudian saat terjadi tarik-ulur dalam benaknya, sementara mereka mengobrolkan hal yang lain sembari sesekali menyeruput kopi, sekonyong-konyong ia teringat satu kisah yang diceritakan seorang kiai beberapa hari lalu saat ia mengikuti tahlilan, yakni doa bersama membaca kalimat laa ilaha illallah dan kalimat thayibah lainnya di rumah tetangganya.
Pada suatu sore, demikian cerita kiai tersebut, Kanjeng Nabi Muhammad shallallahu alahi wa sallam berada di Masjid Nabawi dengan beberapa sahabatnya. Kemudian, datang seorang pengembara yang seusai melaksanakan salat ia menemui Kanjeng Nabi untuk kemudian mengutarakan, bahwa ia kehabisan bekal dan membutuhkan tempat untuk menginap malam nanti, sementara kini kondisi tubuhnya amat payah menahan lapar usai menempuh jauhnya perjalanan.
Kanjeng Nabi yang hatinya amat penuh limpahan kasih-sayang segera pulang menemui seorang istrinya untuk kemudian menanyakan apakah ada makanan di rumah. Karena istrinya tersebut menjawab dengan menyatakan bahwa yang ada hanya air alias tidak ada makanan, Kanjeng Nabi segera menemui istrinya yang lain untuk menanyakan hal yang sama. Akan tetapi beliau pun mendapati jawaban yang sama. Bahkan, ketika beliau menanyakan lagi pada beberapa istrinya, jawabannya tidak berbeda.
Kendati demikian, pribadi Kanjeng Nabi yang tidak mudah menolak permintaan seseorang, sekembalinya ke masjid beliau segera mengumumkan kepada para sahabat: siapa yang mau menjamu dan menerima orang tersebut sebagai tamu, semoga Gusti Allah Ta’ala merahmatinya.
Seorang sahabat bernama Abu Thalhah al Anshari menyanggupinya untuk kemudian mengajak orang tersebut ke rumahnya. Akan tetapi, sesampai di rumah, seusai memberitahu istrinya bahwa mereka kedatangan seorang tamu dengan keadaan sebagaimana tersebut untuk kemudian menanyakan adakah makanan untuk menjamunya, istrinya yang bernama Ummu Sulaim menjawab dengan menyatakan bahwa hanya ada makanan untuk makan anak-anak mereka nanti malam.
Seiring jawaban tersebut, ndilallah—atas kehendak Gusti Allah Ta’ala—sekonyong-konyong merekah sekuntum ide dalam benak Abu Thalhah untuk kemudian menyuruh istrinya menyibukkan anak-anak dengan sesuatu agar nanti malam dapat tidur nyenyak tanpa merasa lapar, sementara jatah makan mereka untuk menjamu si tamu.
Tidak hanya itu, seusai ia memberitahu istrinya hal-hal berikutnya, maka inilah yang terjadi beberapa waktu kemudian:
Kendati hari telah malam, lampu di rumah itu tidak dinyalakan. Sedang kehabisan minyak, demikian Abu Thalhah mengatakan pada tamunya. Lantas, dalam gelap Abu Thalhah menghidangkan dua piring, yang satu berisi makanan untuk si tamu, sedangkan yang satunya lagi kosong untuk dirinya.
Seusai menyilakan tamunya menikmati makanan untuk kemudian terdengar tamunya mulai menyantap dengan lahap, ia menggerak-gerakan tangannya di piringnya hingga terdengar semacam bunyi sentuhan seiring suara kecapan alias kunyahan dari mulutnya—berpura-pura sedang makan. Ini ia lakukan agar si tamu menyangkanya juga makan, agar si tamu tidak sungkan serta menghormati tamunya—menemani makan.
Pagi harinya, Kanjeng Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam yang diberitahu lewat wahyu oleh Gusti Allah Ta’ala perihal kejadian tersebut mendatangi rumah Abu Thalhah. Kepada suami-istri tersebut dengan nada gembira beliau menyampaikan bahwa Gusti Allah Ta’ala senang dalam arti meridai apa yang mereka lakukan terhadap tamunya semalam. Ini barang tentu menjadikan mereka amat gembira.
Di antara pelajaran yang dapat diambil, demikian kiai tersebut mengakhiri ceritanya, Gusti Allah Ta’ala yang Rahman yang Rahim menyukai perbuatan Abu Thalhah yang mendahulukan kebutuhan orang lain di atas kebutuhannya sendiri.
Mengingat kisah tersebut, ada semacam dorongan untuk meminjamkan saja uang di kantungnya yang tinggal selembar pada temannya itu. Terlebih setelah mempertimbangkan bahwa agaknya di rumahnya masih ada sesuatu untuk dimasak, sementara temannya itu menyatakan bahwa sudah tidak ada apa-apa untuk makan keluarga; soal uang jajan anaknya boleh jadi istrinya ada sedikit simpanan. Maka kemudian, seiring harapan semoga Gusti Allah Ta’ala senang atas perbuatannya, ia meminjamkannya.
Mengingat hal tersebut menjadikan bisikan dalam benaknya tadi perihal ajakan untuk menyesali perbuatannya semalam berangsur hilang. Kemudian karena seperak pun uang tidak ia temukan dan seiring maksud untuk memberitahu anaknya bahwa hari ini tidak diberi uang jajan akan tetapi besok didobel, ia berjalan menghampiri anaknya yang sudah rapi berpakaian itu yang biasanya diteruskan bersiap-siap untuk makan. Akan tetapi, baru saja ia hendak mengutarakan, dari pintu depan ia mendengar seseorang uluk salam. Maka ia menundanya untuk kemudian menghampiri sumber suara.
Beberapa saat kemudian, seperginya tamu yang cuma dog-los alias cuma sebentar tadi, dengan nada penuh kelegaan ia memberitahu anaknya, bahwa tamu tadi mengundang anaknya untuk mengikuti among-among di rumah tetangga mereka. Ini barang tentu menjadikan si bocah sontak menanggapinya dengan riang-gembira. Karena selain makan bersama teman-temannya dalam satu tampah alias nampan dengan lauk yang enak seperti telur rebus serta kluban—sayur urab—atau mi goreng, mereka juga diberi uang.
Seiring menyaksikan kegembiraan anaknya itu keluar rumah ia teringat bahwa dulu sewaktu kecil ia pun sering ikut among-among, yakni semacam peringatan hari weton kelahiran seorang bocah yang diadakan di hari pasaran selapanan alias tiga puluh lima hari sekali dengan maksud bersyukur dan berdoa meminta keselamatan kepada Gusti Allah Ta’ala lantaran sedekah berupa makanan dan uang. Ini menjadikannya senang, dan kesenangannya bertambah-tambah saat ke dapur untuk sarapan ia tidak lagi mendapati wajah istrinya memajang kemurungan. Maka, alhamdulillahi rabbil alamin—segala puji hanya milik Gusti Allah Ta’ala Tuhan Seluruh Alam—demikian benaknya penuh rasa syukur atas segala karunia-Nya yang tidak terhitung jumlahnya. Kemudian, seusai sarapan, teriring senyum terhias di wajah istrinya ia bersiap-siap berangkat ke tempat kerja.
Kesugihan, 3 Shafar 1446