Internasional

Hong Kong Kota Majelis Taklim

Senin, 21 Mei 2018 | 13:15 WIB

Hong Kong Kota Majelis Taklim

Para BMI di Hong Kong aktif dalam majelis taklim

Oleh H Khumaini Rosadi

Membayangkan Hong Kong, yang terlintas di benak saya adalah film kungfu. Teringat akan aktor-aktor yang hebat seperti Bruce Lee, Sammo Hung, Donny Yen, Andi Law, Jacky Chan, Chow Yung Fat, Jet Lee, dan aktor-aktor laga lainnya. Saya juga mengira bahwa di Hong Kong berisi tempat bermain judi, seperti judul film drama komedi God Of Gamblers.

Semua sangkaan itu mesti saya hilangkan setelah saya amati ternyata Hong Kong adalah kota majelis taklim, apalagi di bulan Ramadhan ini. Menurut Ibu Maya yang saya temui Senin (21/5) hari ini, pada karnaval menyambut Ramadhan beberapa hari lalu, ada puluhan majelis taklim yang turun ke jalan. 

Perempuan asal Pekalongan Jawa Tengah yang sudah delapan belas tahun tinggal di Hong Kong itu mengatakan kepada saya, ada dua ribu lima ratusan Buruh Migran Indonesia (BMI) yang terlibat dalam karnaval itu. Didominasi oleh kaum perempuan, peserta karnaval berjalan kaki dengan masing-masing menunjukkan spanduk majelis taklim mereka. 

(Baca: BMI Hong Kong Shalat di Taman Victoria)
Ketua Forum Majelis Taklim Yuen Long, Yayuk, menambahkan pada karnaval itu setiap majelis taklim mengirimkan anggota pengajiannya maksimal tiga puluh orang. Jika peserta karnaval mencapai dua ribu lima ratus orang, maka setidaknya ada delapan puluhan majelis taklim yang terlibat. Kemeriahan prosesi karnaval itu sendiri dikawal oleh lima puluh polisi Hong Kong. 

Oleh karena itu, istilah BMI yang biasa dikenal orang dengan Buruh Migran Indonesia, disebut berbeda oleh anggota majelis taklim di Hong Kong. “Mereka lebih suka memanjangkan istilah BMI menjadi Berusaha Mempertahankan Iman,” ungkap Ibu Maya. 

Ia mengatakan sebenarnya susah sekali bagi para BMI untuk bisa teguh menjaga iman di Hong Kong. Jika tidak disibukkan dengan aktif mengikuti pengajian, pengaruh ikut-ikutan kebarat-baratan sangat besar membawa mereka. Saat libur bekerja, banyak sekali BMI yang menghabiskan waktun di pinggir jalan, berteduh di bawah jembatan, tidur-tiduran menikmati keramaian, tanpa melakukan hal yang berarti.

(Baca: Semangat 15 Jam Puasa di Hong Kong)
Namun, banyak juga BMI justeru tambah bisa semangat untuk belajar agama setelah sampai di Hong Kong. Ketika sebelum ke Hong Kong belum bisa mengaji (membaca Al-Qur'an), setelah di Hong Kong malah bisa belajar dan aktif mengaji. Saat berangkat ke Hong Kong belum berjilbab, setelah bergabung dengan majelis taklim jadi berjilbab. 

Mendengar cerita itu saya pun menggumamkan syukur Alhamdulillah. Mungkin saat di Indonesia mereka belum bisa belajar mengaji karena malu kepada teman-teman atau sudah merasa dewasa tapi masih belum bisa mengaji. Mungkin ketika di Indonesia belum berhijab menutup aurat karena takut dibilang sudah insaf atau malu mau memulainya. Ketika aktif  pengajian di Hong Kong, akhirnya menjadi terbiasa mengenakan hijab menutup auratnya. Subhanallah.

Memang, belum tentu yang kita sangka baik itu baik. Belum tentu juga yang kita sangka buruk itu buruk. Bisa jadi faktanya justeru sebaliknya. Begitu juga dengan BMI, mereka juga adalah para pahlawan devisa bagi Indonesia. Belum tentu menjadi BMI di Hong Kong itu buruk, jika setelah menjadi BMI di Hong Kong mereka lebih rajin ibadah, baik akhlak dan sifatnya.

Tetapi bagaimanapun juga, hujan emas di negeri orang, lebih baik hujan air di negeri sendiri. Sehijau-hijaunya rumput tetangga, masih lebih hijau rumput sendiri. Menjadi BMI tetap harus cinta tanah air. Bila sudah merasa cukup, tetap harus kembali ke Indonesia, berkumpul bergembira bersama keluarga. Semoga hal itu akan membawa kebaikan bagi mereka.

*
Penulis adalah Corps Dai Ambassador, Tim Inti Dai Internasional dan Multimedia (TIDIM) LDNU Ramadhan 2018 yang ditugaskan berdakwah di Hong Kong



Terkait