Lingkungan

Meluruskan Tuduhan Negatif soal Gambut

Selasa, 9 April 2019 | 05:15 WIB

Meluruskan Tuduhan Negatif  soal Gambut

Ilustrasi (riauexpose.com)

Siak, NU Online
Gambut merupakan hamparan yang terbentuk dari timbunan materi organik yang berasal dari sisa sisa pohon, rerumputan, lumut dan jasad hewan. Semuanya menumpuk sejak ribuan tahun hingga membentuk endapan yang tebal. 

Pada umumnya, gambut berada di area genangan air, seperti rawa, cekungan antara sungai maupun daerah pesisir. Gambut yang terbentuk di atas tanah liat atau lempung relatif lebih kaya mineral dibanding gambut di atas pasir. 
Provinsi Riau sebagai wilayah yang memilki jutaan hektar lahan gambut sempat menjadi perhatian dunia ketika terjadi kebakaran (2015)  di wilayah tersebut. selain menghanguskan  ribuan hektar gambut, kejadian terebut juga menelan korban jiwa. 

Konon, sampai saat ini masyarakat belum yakin jika lahan gambut bisa diolah dan memiliki banyak manfaat untuk dikembangkan. Padahal, lahan gambut mampu menjaga kestabilan iklim dunia khususnya mencegah pemanasan global. 

Berdasarkan data dari Badan Restorasi Gambut (BRG) RI, setiap lapisan gambut dari permukaan terluar hingga terdalam dapat menyerap gas karbon. Meski hanya mengisi 3 persen dari luas daratan bumi, lahan gambut dapat menyimpan 550 gigaton karbon. Jumlah tersebut setara dengan 75 persen karbon yang ada di atmosfer atau dua kali jumlah karbon yang dikandung seluruh hutan non gambut. 

Selain itu, di Indonesia lahan gambut berfungsi sebagai pintu air alami, padat akan serat. Lahan gambut dapat menyerap air sebanyak lima sampai belasan kali bobot keringnya. 

Pada musim hujan ekosistem gambut menghalau aliran air sehingga tidak membanjiri daerah sekitar. Sementara pada musim kemarau gambut berfungsi sebagai cadangan air bagi lahan dan warga sekitar. 

Kader Sekolah Gambut atau Sekolah Lapang BRG RI, Gatot Suroyo, mengatakan selama ini masyarakat kurang percaya bahwa  tanah gambut dapat diolah menjadi sesuatu yang bermanfaat. Bahkan pengolahannya sangat ramah lingkungan, ada juga masyarakat yang meyakini bahwa tidak ada jalan pengolahan lahan gambut kecuali dibakar. 

“Semua itu bisa ditepis dengan cara-cara yang ramah lingkungan. Caranya, pertama harus ada planning. Kedua, mulai persiapan lahan, pembersihan, pengolahan, proses pemeliharaan dari pemupukan atau penyemprotan dengan pupuk nabati yang kita buat,” kata Gatot kepada NU Online seusai menghadiri kegiatan Doa Bersama Riau Hijau dan Pengolahan Lahan Gambut Tanpa Bakar di Pondok Pesantren Al-Muttaqin, Kampung Tamanbaru, Desa Jatimulya, Kecamatan Bungaraya, Kabupaten Siak, Provinsi Riau, Senin (8/4). 

Dikatakannya, saat ini harga olahan gambut sangat tinggi, karena di situ terdapat hitrogen, kostpot, pospat, dan kalium. Selain itu, di lahan gambut juga isa untuk ditanami pohon jati, cabai bahkan padi. “Semuanya bisa tinggal prosesnya dan cara mengolahnya dengan baik,” tuturnya. (Abdul Rahman Ahdori/Aryudi AR) 


Terkait