Lingkungan

Suka Duka Ustadz Mustangin Berdakwah di Perdesaan Gambut

Rabu, 22 April 2020 | 09:00 WIB

Suka Duka Ustadz Mustangin Berdakwah di Perdesaan Gambut

Ustadz Mustangin (kanan) salah satu pendakwah yang bertugas di perdesaan gambut di Sumatera Selatan. (Foto: BRG)

Jakarta, NU Online 
Sejak tahun 2016, Badan Restorasi Gambut (BRG) RI menggandeng masyarakat setempat untuk memulihkan kawasan gambut melalui Pengelolaan Lahan Tanpa Bakar (PLTB). Minimnya pengetahuan masyarakat tentang tata cara mengelola lahan gambut mengharuskan BRG untuk melakukan berbagai pendekatan. 
 
Salah satu pendekatan yang dinilai efektif dapat memengaruhi cara pandang masyarakat soal gambut adalah pendekatan agama. Karena itu, sejak tahun 2016, BRG merekrut dan memilih para dai atau tokoh agama setempat untuk dijadikan mitra kerja revitalisasi lahan gambut di tujuh provinsi di Indonesia. Sampai saat ini sudah ada 257 dai yang tersebar di berbagai pelosok desa gambut. 
 
Salah seorang pendakwah di kawasan gambut adalah Ustadz Mustangin (45). Ayah empat orang anak yang tinggal di Desa Tanjung Makmur, Kecamatan Pedamaran Timur, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) Provinsi Sumatera Selatan. 
 
Kepada NU Online, Ustadz Mustangin membeberkan alasannya mau terlibat penuh membantu pemerintah (BRG) menyadarkan masyarakat di perdesaan gambut terkait mengelola lahan gambut tanpa bakar.
 
Menurutnya, tanpa diminta oleh BRG sekalipun, agamanya sudah banyak mengulas agar umat manusia tidak merusak bumi atau merusak kelestarian alam. Apalagi di lahan gambut yang memiliki sensifitas tiggi terhadap kebakaran.  
 
Pria bertubuh kekar ini menjelaskan, perintah menjaga alam adalah amanat langsung dari Allah kepada umat manusia. Perintah tersebut wajib dilaksanakan secara sungguh-sungguh oleh umat manusia, dalam hal ini adalah masyarakat dunia termasuk mereka yang tinggal di sekitaran lahan gambut. Kewajiban itu berdasarkan dalil Al-Qur'an surat Ar-Rum [30] ayat 41-42 dan surat Al-A'raf [7] Ayat 56-58 tentang peduli lingkungan.
 
"Dalam kalam Allah itu ditegaskan bahwa telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)," kata Ustadz Mustangin mengutip terjemah ayat Al-Qur’an. 
 
Awal Menjadi Dai Gambut
Sehari-hari, Ustadz Mustangin bekerja sebagai seorang petani di desanya. Aktivitas lainnya adalah menjadi pengurus dewan kemakmuran masjid dan membantu mengajar di Taman Penidikan Al-Qur’an (TPA). Setiap hari, ada ratusan anak kecil yang dia bimbing membaca dan menghafal Al-Qur’an.  Tidak berhenti di situ, sikapnya yang ramah dan rendah hati membuat masyarakat segan kepada sosok Ustadz Mustangin. 
 
Bagi dia, menjadi pendakwah adalah jalan hidup yang tidak boleh dijadikan beban oleh setiap manusia, apalagi bagi orang yang paham agama. Wajib memberikan bimbingan. Artinya, ilmu yang dimilki tidak boleh dipendam sendiri.
 
Karena itu ketika ada ajakan menjadi Dai Peduli Gambut (DPG) dari pihak desa tahun 2019 lalu, Ustadz Mustangin langsung ikut serta karena melihat kondisi masyarakat yang mulai acuh menjaga alam dan lingkungan sekitar. 
 
"Saya gabung menjadi dai gambut tahun 2019, saya kurang paham kalau yang lain. Tapi di Sumsel memang mulai ada tahun 2019 waktu itu ada tiga orang mewakili Sumsel," ucapnya.
 
Setelah resmi bergabung, Ustadz Mustangin bersama dua rekannya diberikan pelatihan di Pekanbaru, Riau untuk menjadi pendakwah berdasarkan paham Islam yang ramah atau Islam rahmatan lil alamin. Dari situ, Ustadz Mustangin mengaku mendapatkan pengalaman baru.
 
"Ternyata menjadi pendakwah itu ada banyak metode, belum lagi topik lingkungan yang harus terurai sesuai dengan pemahaman agama Islam dan sains. Dan itu semua harus dikuasai oleh dai seperti kami," tuturnya. 
 
Setelah mengikuti pelatihan, pria kelahiran OKI tahun 1975 ini langsung terjun ke masyarakat. Agenda yang melibatkan banyak masyarakat dibalut dengan ‘Sosialisasi Pengelolaan Lahan Tanpa Bakar (PLTB)’ yang difasilitasi BRG. Namun, ada agenda lainnya khusus mengumpulkan warga, dan mengajak untuk merawat lingkungan. Kegiatan ini biasanya dilakukan dari rumah ke rumah. Ustadz Mustangin juga menjabarkan kepada masyarakat tata cara mengelola lahan gambut yang baik dan tidak menimbulkan kerusakan pada ekosistem gambut. 
 
"Jadi tugas saya mengajak masyarakat untuk mengelola lahan tanpa bakar. Masyarakat dianjurkan untuk tidak sembrono mengelola lahan gambut apalagi dengan cara dibakar kami juga memberitahu cara-caranya bagaimana membuka lahan tapa bakar," bebernya lagi.
 
Menurut Ustadz Mustangin, akan ada makhluk Allah yang mati jika mengelola lahan dengan cara dibakar. Baik itu yang terlihat maupun tidak terlihat, sebab, pada ekosistem gambut tersebut, lanjutnya, terdapat hewan-hewan yang mengandalkan hidup di lahan gambut, misalnya semut atau jenis hewan kecil lainnya. 

Susah Senang Menjadi Pendakwah Gambut
Ustadz Mustangin mempercayai, hidup di dunia itu sudah pasti bertemu dengan rasa kecewa atau rasa bahagia. Karena itu bohong jika dai seperti dirinya tidak pernah mengeluh tentang aktivitasnya menjadi pendakwah di lahan gambut.
 
Namun, ucap dia, hal itu bukan untuk disesali, melainkan disyukuri. Sebab, jalan dakwahnya itu bukan semata untuk dirinya tetapi untuk agama, negara, bangsa dan untuk menyelamatkan lingkungan sehingga dinikmati oleh anak cucu kita ratusan tahun kemudian. 
 
"Intinya saya bahagia menjadi dai gambut dan menerimanya dengan senang hati," ujarnya. 
 
Pernah suatu ketika, dia merasa kesal dengan sikap warga yang menjadi target dakwahnya. Hal itu disebabkan karena warga tersebut cenderung terus membandel, tidak peduli dengan apa yang disampaikan Ustadz Mustangin. Utamanya tidak menghargai kehadiran Mustangin di sana. Padahal, jarak tempuh ke tempat orang tersebut sangat jauh, tapi respons mereka tidak mencerminkan manusia yang bermasyarakat. 
 
"Memang kami harus berkeliling ke masyarakat menyampaikan larangan kepada masyarakat untuk tidak membakar hutan," ungkapnya.
 
Meski begitu, Ustadz Mustangin tetap ingin menjadi seorang pendakwah membantu pemerintah (BRG) menyadarkan masyarakat. Baginya, masalah yang kerap dihadapi bukanlah masalah berat yang tidak bisa diselesaikan. 
 
"Semuanya dapat diselesaikan tergantung cara kita merespons masalah yang ada," kata dia. 
 
Di Sumatera Selatan sendiri, kebakaran hebat pernah terjadi tahun 2015. dalam kebakaran itu 650 hektar lahan gambut rusak parah. Dampaknya, banyak masyarakat yang terserang ISPA dan tidak bisa beraktivitas seperti biasanya, karena kabut asap yang begitu pekat. Karena itu BRG sejak 2016 intens melakukan kerja-kerja nyata agar ekosistem gambut di Sumsel kembali pulih. 
 
Pewarta: Abdul Rahman Ahdori
Editor: Kendi Setiawan