Nasional

Bagaimaan Sutradara 3 Doa 3 Cinta Saat Jadi Santri?

Kamis, 31 Oktober 2019 | 14:15 WIB

Bagaimaan Sutradara 3 Doa 3 Cinta Saat Jadi Santri?

Sutradara Nurman Hakim (Foto: Muvila.com)

Jakarta, NU Online 
Sutradara film 3 Doa 3 Cinta Nurman Hakim pernah menjadi santri pada saat remajanya. Pada waktu itu, ia tak pernah bermimpi akan menjadi seorang yang bergulat dalam perfilman. Cita-citanya malah jadi kiai atau guru. 

“Ketika masih menjadi santri, saya tidak terpikir untuk menjadi sineas. Yang terpikir malah menjadi kiai atau guru seperti halnya cita-cita santri pada umumnya saat itu,” katanya kepada NU Online, di Jakarta, baru-baru ini.  

Namun, Nurman pada saat menjadi santri memiliki kegemaran membaca di luar kitab-kitab kuning, yakni membaca novel. Hal inilah yang kemudian memicu dia akrab dengan ragam cerita dan watak manusia di luar pesantren. 

“Ini (membaca novel, red.) saya lakukan untuk menghindari kejenuhan dari rutinitas membaca dan mengaji kitab-kitab klasik. Novel, adalah suatu oase baru di antara rutinitas ngaji kitab-kitab kuning,” katanya.   

Ketika di pesantren, lanjutnya, Nurman melahap novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer, Jalan Tak ada Ujung karya Mochtar Lubis, Burung-burung Manyar karya YB Mangunwijaya. 

“Saya membacanya secara diam-diam karena saat itu santri tidak diperbolehlan membaca novel-novel seperti itu,” katanya. 

Menurut dia, keinginan menjadi sineas tidak datang tiba-tiba, tapi merupakan akumulasi dari kesukaan menonton layar tancap ketika zaman menjadi santri secara diam-diam.

“Saya sering keluar malam-malam, terutama ketika malam Minggu untuk menonton layar tancap yang digelar tak jauh dari pondok hahaha, biasanya di lapangan kecamatan. Lambat laun kesukaan saya terhadap sinema semakin menguat. Baru setelah lulus pondok, saya memutuskan untuk kuliah sinematografi di IKJ,” jelasnya.  

Saat ini, kata Nurman, masih belum banyak sineas dari kalangan santri yang tampil di tingkat nasional. Tetapi di tingkat daerah sudah cukup banyak, dan terus tumbuh dan berkembang. 

Ia bersyukur saat ini pengetahuan tentang film merambah pesantren. Tak sedikit kegiatan workshop penulisan kreatif untuk nulis novel atau bahkan workshop pembuatan film diadakan dengan peserta para santri. 

“Santri sekarang jauh lebih beruntung daripada santri zaman saya, 25 tahun lalu.  Santri sekarang sudah menglobal, tak kalah dengan siswa-siswa lain di sekolah-sekolah umum,” katanya.  

Pewarta: Abdullah Alawi
Editor: Fathoni Ahmad