D Zawawi Imron, Kiai Penyair yang Bawa Pesan Pesantren dalam Karyanya
Senin, 11 Agustus 2025 | 22:00 WIB
Jakarta, NU Online
Penyair yang juga kiai kelahiran Batang-Batang, Sumenep, Pulau Madura Jawa Timur, D Zawawi Imron menceritakan proses kreatifnya menulis puisi atau syair. Penerima penghargaan "The S.E.A Write Award" dari Kerajaan Thailand pada 2012 itu terkenal dengan karya-karyanya yang sarat kehidupan perdesaan dan laut, cinta kepada ibu, kemanusiaan dan penderitaan rakyat kecil, kritik sosial dan kemerdekaan, serta nilai-nilai religius dan sufistik.
Dalam tayangan video wawancara di kanal YouTube NU Online, Kiai Zawawi mengatakan sebenarnya pada awalnya ia menulis puisi tidak untuk berdakwah. Zawawi muda menulis puisi karena menghargai potensi atau bakat yang diberikan oleh Allah swt.
“Kalau kemudian sebagai orang Islam kan tentu saja puisi-puisi saya juga ada yang nilai-nilai islami. Ada pendidikan karakter pendidikan akhlakul karimah itu kecintaan kepada Rasulullah, kesantunan kepada orang-orang miskin, menghargai anak yatim,” tutur Kiai Zawawi sebagaimana dikutip NU Online pada Senin (11/8/2025).
Menurutnya, nilai-nilai tersebut memang sudah menjadi ajaran Islam sehingga melekat di dalam diriny. “Itulah yang kemudian ditulis menjadi puisi, dibolak-balik untuk menjadi puisi,” lanjutnya.
‘Tersesat di jalan yang benar’
Baca Juga
D. Zawawi Imron, Penyair atawa Penyiar?
Salah satu ucapan yang terkenal dari Kiai Zawawi adalah bahwa dengan menjadi seniman atau penyair bisa ‘tersesat di jalan yang benar’.
Kalimat tersebut, kata Kiai Zawawi, adalah semacam keinginan. “Jadi seniman jangan sampai merasa benar di jalan yang sesat. Tapi usahakan untuk mendapatkan kebenaran,” terangnya.
Seandainya mendapatkan kebenaran dalam berkarya, kata Kiai Zawawi, juga hendaknya tidak langsung mengaku-aku benar sendiri.
“Bisa mungkin apa yang saya katakan benar itu juga mengandung nilai-nilai sesat. Jadi, itu sebenarnya pandangan kerendahhatianlah agar tidak selalu menyalahkan orang lain, menghebatkan dan membenarkan diri sendiri,” bebernya.
Tata krama, warisan pesantren yang tetap relevan
Dalam banyak karyanya, Kiai Zawawi membawa pesan yang sesuai dengan kebatinan pesantren. Dia menjelaskan bahwa ia hidup dan berada di lingkungan pesantren tradisional yang sangat menghargai tata krama dan akhlak yang mulia.
Salah satu ajaran para kiai pesantren adalah betapa pun tingginya ilmu seseorang ia harus menjaga tata krama. Seorang santri yang tidak hormat terhadap guru, tidak hormat kepada orang tua, tidak menghargai orang lain, merasa benar sendiri, berburuk sangka kepada orang lain, maka justru menjadi orang yang sombong.
“Itu kan memang ajaran sudah ratusan tahun yang lalu di pesantren di Madura itu ya,” ungkap penyair yang dikenal dengan julukan Sang Celurit Emas itu.
Kiai Zawawi mengakui bahwa ajaran atau nilai-nilai tersebut didapatinya dari pesantren. Sebab, kala itu, untuk mencari dari sumber yang lain, tidak ada karena keterbatasan fasilitas.
“Baru kemudian setelah ada buku-buku itu mulai belajar. Ternyata di era modern pun orang tetap membutuhkan yang namanya tata krama pergaulan yang saling menghormati di antara yang satu dengan yang lain itu,” tegasnya.
Mengutip laman ensiklopedia.kemdikbud.go.id, karena keterbelakangan dan keterpencilan daerah kelahirannya saat itu, ia tidak mengetahui tanggal kelahirannya secara tepat. Untuk kepatutan dalam urusan administrasi, dalam KTP tercatat pada tanggal 19 Sepetember 1946
Mulai berkarya dengan menulis puisi berbahasa Madura dan dinilai kurang baik, Kiai Zawawi beralih menulis dalam bahasa Indonesia. Puisi-puisinya pada fase awal dikirimkan ke Mingguan Bhirawa (Surabaya) asuhan Suripan Sadi Hutomo dan dimuat pertama kali pada tahun 1974.
Pada 1979 ia menjadi pemenang sayembara cipta puisi tingkat nasional yang diadakan oleh Pengurus Pusat Perkumpulan Sahabat Pena Indonesia.
Sebagai penyair, namanya semakin dikenal setelah kritikus Subagio Sastrowardojo membicarakannya pada acara Pertemuan Penyair Sepuluh Kota yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta pada April 1982.