LPBI PBNU Soroti Perlindungan Anak Korban Bencana di Forum ASEAN
Jumat, 20 Juni 2025 | 18:45 WIB

Konsultasi Nasional yang digelar pada 16–17 Juni 2025 di Jakarta. Kegiatan ini merupakan bagian dari proses peninjauan akhir Rencana Aksi Regional ASEAN tentang Penghapusan Kekerasan terhadap Anak (ASEAN RPA on EVAC) dan Rencana Aksi Regional Perlindungan Anak dari Eksploitasi dan Kekerasan Daring (ASEAN RPA on OCEA). (Foto: dok. LPBI PBNU)
Jakarta, NU Online
Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim (LPBI) PBNU turut serta dalam Konsultasi Nasional yang digelar pada 16–17 Juni 2025 di Jakarta. Kegiatan ini merupakan bagian dari proses peninjauan akhir Rencana Aksi Regional ASEAN tentang Penghapusan Kekerasan terhadap Anak (ASEAN RPA on EVAC) dan Rencana Aksi Regional Perlindungan Anak dari Eksploitasi dan Kekerasan Daring (ASEAN RPA on OCEA).
Kegiatan diselenggarakan oleh ASEAN Commission on the Promotion and Protection of the Rights of Women and Children (ACWC), UNICEF, Safe Online, dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI. Konsultasi ini bertujuan untuk mengevaluasi pencapaian ASEAN dalam upaya perlindungan anak, serta menyusun strategi RPA berikutnya yang lebih responsif terhadap isu-isu baru.
Perwakilan LPBI PBNU, Nia Zulhadji, menyampaikan masukan dalam kelompok yang membahas perlindungan anak yang berisiko tinggi, termasuk anak korban bencana dan perubahan iklim.
“LPBI diminta memberikan pandangan dalam kelompok anak yang berisiko tinggi. Anak korban bencana dan perubahan iklim menjadi sorotan dalam kategori anak perlindungan khusus,” ujar Nia, kepada NU Online, pada Jumat (20/6/2025).
Ia menekankan pentingnya perhatian ASEAN terhadap kebijakan perlindungan anak korban bencana, baik di level regional, nasional, maupun daerah. Upaya ini mencakup seluruh tahapan mulai dari pencegahan hingga pelayanan pasca-bencana.
“Upaya perlindungan anak khusus ini dibuat secara menyeluruh, dari tindakan pencegahan hingga pelayanan, sehingga bisa meminimalisir kasus kekerasan terhadap anak saat situasi darurat atau bencana,” jelasnya.
Nia juga menyoroti pentingnya penyediaan fasilitas yang ramah anak dan keluarga.
“Shelter yang disiapkan bukan hanya untuk anak-anak, tetapi juga pasangan suami istri. Kami merekomendasikan agar shelter dilengkapi dengan tenda cinta. Pelayanan psikososial anak hendaknya dilanjutkan hingga pasca-bencana. Evaluasi berkala terhadap anak-anak korban bencana dan perubahan iklim juga perlu dilakukan,” terangnya.
Konsultasi Nasional ini dibuka oleh Plt Deputi Perlindungan Khusus Anak Kementerian PPPA, perwakilan UNICEF Regional Asia Tenggara, serta ACWC. Kegiatan ini diikuti oleh berbagai pihak lintas sektor, seperti Kementerian PMK, Kemenlu, Kemsos, BNPT, LPSK, Mabes Polri, UNFPA, serta lembaga-lembaga masyarakat sipil yang fokus pada isu perlindungan perempuan dan anak.
Terdapat tujuh kelompok diskusi dalam forum tersebut. LPBI PBNU tergabung dalam kelompok anak yang berisiko tinggi bersama beberapa lembaga lainnya. Masukan dari masing-masing lembaga diharapkan dapat memberikan kontribusi nyata bagi pembaruan kebijakan ASEAN ke depan, khususnya dalam konteks Indonesia.
Sebagai informasi, negara-negara ASEAN telah mengadopsi sejumlah deklarasi dan rencana aksi untuk menghapus kekerasan terhadap perempuan dan anak, termasuk RPA EVAC 2016–2025 dan RPA OCEA 2021–2025. Rencana aksi ini akan diperbarui untuk periode 2026–2035, dengan fokus pada tantangan baru seperti kekerasan daring, migrasi, disabilitas, serta dampak bencana dan perubahan iklim terhadap anak.
Data terakhir menunjukkan bahwa dari total populasi ASEAN sebesar 676,6 juta jiwa, sekitar 32,1 persen merupakan anak-anak. Diperkirakan, 50 persen anak mengalami kekerasan, dan sekitar 20 persen terpapar kekerasan daring. Fakta ini mendorong ASEAN untuk menyusun strategi perlindungan yang lebih komprehensif dan berbasis bukti.