Nasional

Pembebasan Napi Pelaku Kekerasan Seksual Perburuk Psikologis Korban

Rabu, 13 Mei 2020 | 09:30 WIB

Pembebasan Napi Pelaku Kekerasan Seksual Perburuk Psikologis Korban

Ilustrasi

Jakarta, NU Online
Sejak Presiden Joko Widodo mengumumkan secara resmi kasus pertama Covid-19 di Indonesia, sampai Selasa (12/5) tercatat 14.265 orang terinfeksi. Sebanyak 991 pasien meninggal dunia dan 2.881 pasien positif dinyatakan sembuh.
 
Sebagai upaya pencegahan penyebaran COVID-19, Pemerintah Indonesia mengeluarkan berbagai kebijakan, antara lain mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2020 tentang pembatasan sosial berskala besar (PSBB).
 
Sejalan dengan kebijakan tersebut Kementerian Hukum dan HAM juga menerbitkan Keputusan Menteri Nomor 10 Tahun 2020 tentang Syarat Pemberian Asimilasi dan Hak Integrasi bagi Narapidana dan Anak dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran COVID-19. Sejak aturan ini diberlakukan sudah ada 38.822 narapidana yang dibebaskan dan hingga 21 April 2020, sudah ada 27 orang yang kembali melakukan kejahatan, salah satunya adalah kekerasan seksual.
 
Dibebaskannya para narapidana, selain berdampak positif pada upaya pencegahan penyebaran Covid-19, juga mempunyai dampak negatif bagi masyarakat. Kelompok masyarakat yang paling terdampak adalah korban kekerasan seksual, pasalnya korban kekerasan seksual lekat dengan trauma psikologis jangka panjang. Ketika narapidana kasus kekerasan seksual dibebaskan sebelum masa hukumannya selesai, maka akan memperburuk kondisi psikologis yang dialami korban, terlebih sebagian besar pelaku adalah orang terdekat korban. 
 
Dalam diskusi INFID Webinar Series Perempuan dan Covid 19 ke tiga yang diselenggarakan oleh International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), Siti Mazuma, Direktur LBH APIK Jakarta menyatakan bahwa pembebasan narapidana kekerasan seksual harus dibarengi dengan upaya pemulihan korban. Hingga saat ini banyak korban kekerasan seksual tidak mendapat akses pemulihan, karena belum ada payung hukum yang secara khusus mengatur tentang tindak pidana kekerasan seksual.
 
Zuma menjelaskan dengan merujuk RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, bahwa pemulihan yang dimaksud adalah pemulihan fisik, psikologis, ekonomi, sosial dan budaya, serta restitusi. 
 
Lebih lanjut Zuma menyampaikan pernyataan salah satu ibu korban yang memperjuangkan keadilan hukum bagi putrinya yang diperkosa oleh ayah kandungnya sendiri. Menurut Zuma, butuh waktu lebih dari satu tahun untuk bisa memenjarakan pelaku kasus incest ini. Sementara korban yang tak lain adalah anak kandungnya sendiri harus menanggung beban psikologis yang mengharuskannya mengkonsumsi obat dan melakukan konsultasi psikiater hingga hari ini. Pembebasan pelaku kekerasan seksual di masa pandemi menjadi kebijakan yang kurang tepat. 
 
Maidina Rahmawati dari Institute for Criminal Justice Reform (IJRS) menyatakan jika mengacu pada rekomendasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), kategori narapidana yang mendapat percepatan pembebasan adalah orang-orang rentan, pelaku tindak pidana ringan, penggunaan narkotika, pelaku tindak pidana tanpa kekerasan dan tindak pidana yang tidak memiliki sifat seksual.
 
"Sehingga pelaku kekerasan seksual seharusnya tidak termasuk sebagai narapidana yang mendapat percepatan pembebasan," kata Maidina.
 
Maidina menambahkan bahwa ternyata selama ini pelaku kekerasan seksual belum mendapatkan pembinaan khusus sebagai pidana tambahan yang memberikan efek penyadaran kepada pelaku agar tidak mengulangi perbuatannya. Hal tersebut dikarenakan belum ada peraturan yang mengatur tentang pembinaan khusus untuk pelaku kekerasan seksual.
 
Mengacu pada RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, Maidina menyebutkan salah satu pidana tambahan berupa pembinaan khusus untuk pelaku yaitu perawatan di bawah psikolog dan atau psikiater. 
 
Pembicara ketiga, Prof Sulistyowati Irianto, MA selaku Guru Besar Antropologi UI menyoroti besarnya jumlah penghuni lapas yang didominasi oleh perempuan pengguna narkoba yang juga merupakan korban perdagangan orang. Kemiskinan dan rendahnya pengetahuan yang dimiliki para perempuan ini kerap kali dimanfaatkan oknum untuk mengedarkan obat terlarang. Ketidaktahuan ini yang sering kali membawa mereka masuk dalam tindak pidana pengguna dan pengedaran obat terlarang.
 
Untuk itu Sulis menegaskan bahwa hukum harus lebih teliti dalam menyidangkan kasus-kasus yang didakwakan terhadap perempuan, penyebab dan latar belakang harus digali berbasis pada pengalaman-pengalaman dan realitas yang melingkupi kehidupan perempuan.  
 
Lebih lanjut Prof Sulis menyampaikan bahwa bahwa kesalahan kebijakan kerap terjadi pada pengguna dan pecandu narkoba, dimana kebijakan yang seharusnya dikeluarkan untuk mereka dapat menjalani rehabilitasi justru membawa mereka kedalam penjara. Prof Sulis kemudian menekankan bahwa percepatan pembebasan ini seharusnya diprioritaskan untuk narapidana kasus narkoba yang mendominasi lapas dan rutan di Indonesia, bukan malah narapidana kekerasan seksual. 
 
Editor: Kendi Setiawan