Penelitian UIN Jakarta Ungkap Santri Putra Rawan Jadi Korban Kekerasan di Pesantren
Selasa, 8 Juli 2025 | 19:00 WIB

Kegiatan Peluncuran dan Bedah Buku Pesantren Ramah Anak, Selasa (8/7/2025) di Hotel Ashley Tanah Abang, Jakarta Pusat. (Foto: NU Online/Suci Amaliyah)
Jakarta, NU Online
Pusat Penelitian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta meluncurkan buku Menuju Pesantren Ramah Anak dan Menjaga Marwah Pesantren.
Dua buku ini hasil penelitian mengenai upaya menciptakan lingkungan pesantren yang aman dan ramah bagi anak di Indonesia.
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh peran signifikan pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan tertua dan paling berpengaruh di Indonesia, yang kini menaungi lebih dari 4,1 juta santri di hampir 39.000 pesantren di seluruh negeri.
Direktur Riset PPIM UIN Jakarta, Iim Halimatusa’diyah menyatakan, buku ini adalah bagian dari upaya bersama untuk memastikan pesantren terus menjadi lembaga luhur yang menjamin pemenuhan hak dan perlindungan anak, sejalan dengan kebijakan Pesantren Ramah Anak yang diinisiasi pemerintah.
Kedua buku ini merupakan hasil dari penelitian kuantitatif dan kualitatif yang komprehensif. Pada tahun 2023, survei nasional telah dilaksanakan di 90 pesantren di 34 provinsi, melibatkan 1.800 santri dan guru.
Penelitian dilanjutkan pada tahun 2024 dengan wawancara mendalam terhadap 170 informan dari 17 pesantren dan 12 lembaga terkait di 13 provinsi.
"Kedua buku ini menyajikan potret komprehensif pesantren di Indonesia. Buku Menuju Pesantren Ramah Anak memetakan realitas implementasi kebijakan Pesantren Ramah Anak (PRA) berdasarkan temuan survei nasional, menggali persepsi, praktik baik, hingga tantangan yang dihadapi komunitas pesantren," jelas Iim saat Kegiatan Peluncuran dan Bedah Buku Pesantren Ramah Anak, Selasa (8/7/2025) di Hotel Ashley Tanah Abang, Jakarta Pusat.
Sementara itu, buku Menjaga Marwah Pesantren melakukan analisis mendalam mengenai kerentanan sekaligus ketahanan pesantren dari ancaman kekerasan seksual, serta menawarkan mekanisme pencegahan dan penanganan untuk melindungi marwah lembaga.
Keduanya, kata dia, memberikan panduan utuh bagi upaya mewujudkan lingkungan pendidikan yang aman dan mendukung bagi para santri.
Bagian dari upaya kami agar pesantren terus menjadi yang luhur dan sejalan dengan pemerintah yang mengisi si program Ramah Anak.
"Menggali praktik baik dan persepsi terhadap tantangan pesantren. Buka ini diharapkan bisa jadi panduan yang utuh bagi lingkungan pendidikan yang aman bagi para santri," jelasnya.
Santri laki-laki lebih rentan
Koordinator Peneiliti PPIM UIN Jakarta Windy Triana mengungkap fakta yakni santri laki-laki cenderung lebih rentan mengalami kekerasan seksual dibandingkan santri perempuan di lingkungan pesantren.
Secara komparatif, santri putra (1,90% atau 40.689) lebih rentan mengalami kekerasan seksual dibandingkan santri putri (0,20% atau 3.923)
"Santri putra ditemukan lebih rentang. Ada kondisi di mana bullying dianggap bentuk candaan oleh santri putra ternyata itu indikasi terjadinya kekerasan seksual," ujarnya.
Ia menjelaskan salah satu faktor utama kerentanan itu berasal dari ketimpangan sistem perlindungan yang lebih banyak difokuskan pada santri perempuan.
“Proteksi lebih banyak diberikan ke perempuan, mulai dari kamar tidur hingga kamar mandi yang lebih tertutup. Laki-laki dianggap bisa menjaga dirinya sendiri,” ujar Windy.
Anggapan ini, lanjut Windy, justru menempatkan santri laki-laki dalam posisi rawan. Minimnya pengawasan dan perlindungan terhadap mereka menjadikan kekerasan lebih mudah terjadi, terutama dalam bentuk perundungan seksual yang sering kali dianggap sebagai candaan atau hukuman biasa dari senior.
Pesantren berada pada ketahanan moderat
Survei PPIM juga membagi kerentanan pesantren terhadap kekerasan seksual ke dalam tiga tipologi: ketahanan tinggi, ketahanan moderat, dan ketahanan rendah. Mayoritas pesantren di Indonesia berada pada kategori ketahanan moderat, yang artinya memiliki sistem dasar perlindungan namun belum cukup kuat untuk mencegah kekerasan terjadi.
"Relasi kuasa dan budaya tertutup jadi penghalang besar dalam penanganan. Bahkan aspek pemulihan untuk korban sering diabaikan,” ucap Windy.
Peneliti PPIM Haula Noor mengatakan temuan dari penelitian ini santri putra lebih rentan menunjukkan bahwa perlunya perbaikan dari segi struktural dalam pesantren.
"Misalkan dulu dari segi peletakkan kamar, keamanan lebih diketatkan kepada santri putri ternyata data yang kita temukan sekarang ternyata kamar santri putra perlu pengawasan lebih," jelasnya.
Ciri pesantren rawan kekerasan seksual
Dosen Sosiologi UGM Falikul Isbah mengatakan dalam buku Pesantren Ramah Anak ini beberapa informan menganggap kekerasan seksual ini zina, termasuk yang salah kaprah, korban pemerkosaan dinikahkan kepada pelaku.
Ditemukan pula tafsir agama yang misoginis dari ustadzah hal ini patut dikaitkan dengan wacana gender yang sudah masuk ke publik dan kampus-kampus Islam.
"Seperti masih ada titik-titik tidak tersentuh terhadap pengarusutamaan gender," kata Dia.
Ia menyebut pesantren yang rawan kekerasan seksual cirinya terlihat dari komunikasi santri yang lepas total dari orang tua.
“Semua ini berpangkal dari sistem pengasuhan. Dalam diskusi di Kementerian Agama, pernah disampaikan pentingnya mengurangi otoritas tunggal dalam pengasuhan santri. Otoritas perlu dibagi agar ketika ada penyimpangan, ada yang bisa menegur dan mengoreksi,” jelasnya.
Ia mempertanyakan sejauh mana kompetensi para musyrif atau ustaz diuji, mengingat dunia pesantren sangat menjunjung tinggi ketaatan kepada figur kiai dan keluarganya.
“Budaya ketaatan ini sangat kuat. Di daerah seperti Jawa Timur dan Madura, ketaatan terhadap kiai bahkan diinternalisasi dalam kebiasaan sehari-hari, termasuk cara santri berinteraksi,” tambahnya.
Falikul mengapresiasi langkah Kementerian Agama yang sudah menerbitkan regulasi untuk perlindungan anak di pesantren. Namun, menurutnya, itu belum cukup.
“Kemenag sudah bagus membuat regulasi, tapi yang lebih penting adalah edukasi. Bagaimana cara menyampaikan regulasi ini kepada kiai, santri, dan seluruh unsur pesantren? Dibutuhkan instrumen dan strategi edukasi yang tepat dan menyeluruh,” tegasnya.
Windy menekankan bahwa keterbukaan menjadi kunci penting dalam penanganan kekerasan di lingkungan pesantren. Menurutnya, keterbukaan bukan berarti ada intervensi, melainkan bentuk komunikasi yang sehat antara pesantren dan pihak luar.
"Ketika pesantren lebih terbuka, tingkat kepercayaan masyarakat pun lebih mudah pulih," ujarnya.
Ia menjelaskan bahwa pesantren sebenarnya memiliki peran untuk melindungi anak, termasuk korban kekerasan, hingga proses pendampingan dan pemulihan. Namun, banyak pesantren mengakui bahwa mereka tidak memiliki kapasitas untuk melakukan itu secara menyeluruh. Karena itu, peran lembaga eksternal menjadi sangat penting.
"Keterbukaan pihak pesantren terhadap pihak eksternal itulah yang menjadi kunci saat terjadi insiden," jelas Windy.