Satu lagi orang baik dan tokoh panutan, dipanggil Sang Pencipta. Innalillahi wainna ilaihi raji'un. Telah berpulang ke Rahmatullah, Sabtu dini hari, 12 Juli 2025, Kiai Imam Aziz (63), tokoh Nahdlatul Ulama, Ketua PBNU 2 periode, 2010-2021, Ketua Panitia Muktamar NU dua kali berturut-turut, Muktamar Ke-33 NU di Jombang dan Muktamar Ke-34 NU di Lampung.
Bagi aktivis kaum santri, kaum muda, dan sahabat-sahabat Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) era 1990-an, maka Mas Imam, begitu kami menyapanya, adalah Sang Penggerak, melalui Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (LKPSM) Yogyakarta.
Pada 1993, melalui Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS), Mas Imam menjadi pelopor gerakan pemikiran progresif melalui diskusi, penulisan dan penerbitan buku. Di awal 2000-an, melalui Masyarakat Santri untuk Advokasi Rakyat (Syarikat) Indonesia, Mas Imam memimpin anak muda bergerak untuk menggalang gagasan rekonsiliasi para korban konflik 1965 menyusul meletusnya apa yang disebut Gerakan 30S/PKI yang menandai jatuhnya Orde Lama, dan lahirnya Rezim Orde Baru.
Mas Imam konsisten berada di jalur putih gerakan sosial dan pemikiran, yang selalu dekat dengan kaum mustadh'afin, tidak takut pada represi penguasa, serta tak mudah terbujuk dengan jebakan politik kekuasaan. Mas Imamlah, salah satu tokoh penting yang mengungkap pelanggaran dan manipulasi proyek tambang di Wadas, Jawa Tengah.
Lima tahun terakhir, tepatnya tahun 2018, Mas Imam menginisiasi pesantren kota Bumi Cendekia yang mengintegrasikan pendidikan formal modern dengan pendidikan keagamaan pesantren. Di pesantren, Mas Kiai Imam Azis menjadi Ketua Dewan Pengasuhnya.
Mas Imam sosok teladan sempurna, khususnya bagi kami adik-adik gerakannya. Namanya Muhammad Imam Aziz, lahir di Pati, Jawa Tengah pada 29 Maret 1962. Ayahnya seorang Kiai di Pati sana, KH Abdul Aziz Yasin, murid langsung KH Ali Maksum Krapyak. Dari ayahnya, Mas Imam dibekali fondasi keimanan dan ilmu agama ala pesantren. Mas Imam termasuk sosok yang sempurna dalam menapaki konstruksi keilmuan dan keislamannya dalam perjalanan kependidikannya.
KH Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh adalah guru utama berikutnya yang membentuk bangunan intelektual dan kepekaan sosial Mas Imam Azis, khususnya selama mondok di PP Maslakul Huda, Kajen Pati, yang diasuh Mbah Sahal.
Mas Imam salah satu santri yang dekat secara pribadi dan gerakan dengan Mbah Sahal. Mas Imam mengekspresikan kekagumannya itu dengan menulis buku Belajar dari Kiai Sahal pada 2014, hingga menjadi juru bicara Mbah Sahal dalam dinamika mandat keterpilihan sebagai Rais Aam PBNU dalam Muktamar Ke-32 NU di Makassar pada 2010.
Dunia aktivisme mahasiswa Yogyakarta mempertemukan Mas Imam dengan KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Dan dari relasi guru-murid gerakan ini, terjadilah.pertemuan mur dan baut dan lahir gerakan aktivisme kaum muda NU yang buahnya bisa dinikmati hingga hari ini.
Dari Gus Dur, Mas Imam belajar dan dituntun bahwa kaum cendekia sebagaimana dicontohkan para kiai/ulama di kampung-kampung harus memiliki keberpihakan empirik pada isu kemanusiaan, tak sekadar pidato dari atas mimbar.
Gus Dur memberi teladan nyata, saat bersama Romo Mangun Wijaya dan sejumlah intelektual mendampingi masyarakat Kedung Ombo. Gus Dur juga mengajarkan kaum cendekia harus berada di garda terdepan mengawal toleransi, kebebasan beragama, dan membela hak-hak kaum minoritas dan etnis Tionghoa. Di saat yang sama, Mas Imam belajar pada Gus Dur untuk tidak takut pada kekuasaan represif militeristik macam Soeharto kala itu.
Boleh dikata, Mas Imam nyaris sempurna terbentuk dan terinstal sebagai generasi penerus perjuangan Gus Dur. Maka ketika Mbak Alissa Wahid mendirikan Jaringan Gusdurian selepas Gus Dur wafat, maka Imam Azis adalah salah satu sosok utama yang diminta mendampingi jaringan yang berikhtiar meneruskan perjuangan dan pemikiran Gus Dur di zaman dan generasi yang berbeda. Bersama murid-murid Gus Dur lainnya, Mas Imam berkenan menjadi 'senior advisor' atau yang lebih akrab di telinga sebagai 'Pawang' Gusdurian hingga wafatnya, Sabtu dinihari tadi.
Atas kenyarissempurnaan replikasi dua sosok ini, saya boleh mengatakan, andai saja Gus Dur itu mursyid (tarekat) gerakan progresif kaum muda santri, maka Mas Imam adalah khalifah atau komandan lapangannya. Dan ketika Gus Dur wafat oleh Allah diberi tanda kemangkatan pada 14 Muharram 1431 Hijriah, maka Mas Imam wafat di bulan mulia yang sama, hanya terpaut 2 hari 16 Muharram 1447. Tanggal Wafat Gus Dur dan Imam Azis, indah mengapit Purnama Muharram dalam 16 warsa selisih dalam kalender hijriah.
Kalam hikmah menuturkan,
مَنْ عاشَ على شَيْءٍ ماتَ عليه،
ومن مات على شيءٍ بُعِثَ عليه
Man 'Asya 'Ala Syai'in Maata 'Alaihi, waman maata 'ala syai'in bu'itsa alaihi
Artinya, "Siapa saja yang hidup di atas sesuatu, dia akan mati di atasnya. Siapa yang mati di atas sesuatu, dia akan dibangkitkan bersamanya."
Mas Imam hidup, wafat dan bangkit bersama Gus Dur, dalam Purnama Muharram. Sebuah bukti nyata, bahwa ilmu, cinta dan tarekat perjuangan adalah sesuatu yang nyata dan abadi, sekaligus menjadi saksi bagi keduanya akan baiknya rekaman kehidupan. Semoga seluruh amal ibadah, gagasan dan inisiatif perjuangan almarhum diterima oleh Allah SWT dan diampuni segala khilaf yang mungkin terselip dalam kesempurnaan kehidupannya. Amin.
Sugeng tindak, Mas.
Surabaya, 16 Muharram 1447 H
Ahmad Hakim Jayli, CEO TV9 Nusantara, Wakil Ketua PWNU Jawa Timur, Anggota Pawang Jaringan Gusdurian