Opini

Antara Resolusi dan Revitalisasi Sastra Pesantren

Kamis, 20 Desember 2018 | 03:15 WIB

Oleh Sutejo  

Pesantren itu hakikatnya sastra itu sendiri, sitir  Romo KHR Azaim Ibrahimy, Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah, Sukorejo Situbondo. Semua ustadz hakikatnya sastrawan. Sementara, Menteri Agama RI, H Lukman Hakim Saifuddin, menyampaikan perjalanan panjang sastra pesantren (Islam) di peta makro kehidupan berbangsa. Sastra indahnya mampu mensintesakan problem hidup berbangsa, jangan sebaliknya diperalat untuk kepentingan politik dan kekuasaan.

Potensi sastra pesantren didedah dalam oleh KH Mustofa Bisri melalui pidato kebudayaan yang empirik, aktual, reflektif, dan kritis atas keislaman mutakhir. Rahmatan lil'alamin itu rasa, memanusiakan manusia dan menghidupkan kehidupan. Puncaknya, refleksi kegetiran terefleksi lewat puisi ironis yang berjudul Allahu Akbar dan Muhamadku. Kerinduan akan jiwa suci yang humanis di satu sisi dan realita ironis kritis atas paradoks kehidupan beragama yang nyinyir; Hobi berdzikir kok mengkafirkan sesama.

Berabad-abad potensi sastra pesantren telah ada, dari hikayat, serat, kisah, cerita, puisi, roman, novel, kidung, suluk, dan syiir. Kreasinya berupa macam, beragam. Potensi ini ditunjukkan oleh Prof Dr Abdul Hadi dan KH R Agus Sunyoto. Masalahnya: bagaimana mengemas potensi sastra pesantren dalam konteks kekinian? Inilah yang disinggung oleh KH Imam Aziz dari LKiS Yogjakarta. Novel sejarah atau autobiografi tokoh, adalah contoh menarik pengembangan sastra pesantren.

Disukusi pleno pertama Muktamar Sastra yang berlangsung Rabu (19/12) malam menghadirkan sejumlah narasumber. Ada RM Ng KH Agus Sunyoto, Ahmadun Y Herfanda, serta Prof Dr Abdul Hadi WM. 

Dari diskusi yang berkembang setidaknya ada sejumlah catatan:
1. Apa, bagaimana, dan mengapa sastra pesantren.
2. Formulasi dan karakteristik sastra pesantren penting disepapati sehingga strategi penggalian dan pengembangannya clear untuk dikonstruksi.
3. Strategi pengembangannya, perlu memikirkan pembaca, mitra, dan sistem pasar sastra nasional.
4. Sinergisitas berbagai pihak menarik dipikirkan.
5. Mengembalikan fungsi sastra berbasis nilai keislaman untuk mensintesakan problem hidup bangsa mutakhir.
6. Merancang ulang sastra pesantren berbasis kekinian, digitalisasi, dan komersialisasi sebagai upaya pembudayaan sastra pesantren.
7. Memikirkan perlunya kritikus sastra pesantren sehingga mendorong tumbuh sehat dan kualitasnya sastra pesantren.
8. Memetakan potensi sastra anak pesantren, sastra remaja, sastra populer pesantren, hingga sastra pesantren yang berbobot (serius).

Hal-hal itu menjadi tawaran pemikiran untuk merevitalisasi sastra pesantren dengan berbagai inovasi dan keragaman jenis karyanya.

Sedangkan, peta jalan pembudayaan sastra pesantren barangkali menarik mempertimbangkan: (i) jalan literasi keluarga pesantren, (ii) masyarakat pesantren, dan (iii) institusi pesantren secara makro.

Sinergisitas rancang bangun pengembangannya, bisa jadi dibarengi dengan adanya even kesustraan pesantren yang kontinyu di satu sisi dan di sisi lain adanya penghargaan tertentu atas kompetisi sastra pesantren secara berkala dan masif. TV9 Nusantara, barangkali bisa mempelopori tawaran terakhir dengan PW LTNNU Jatim.

Dengan demikian, budaya tanding itu dibutuhkan atas terbangunnya kulturisasi sastra pesantren untuk menandingi budaya keislaman yang 'tanpa hati dan rasa', yang akhir-akhir ini berkembang. Sastra pesantren dengan citra rasa ideal, citra hati dan jiwa yang mengena. Tawaran Kemenag, sastra harus menyintesakan problem kehidupan, pelan-pelan akan terealisasikan.

Ujungnya, Muktamar Sastra selanjutnya, akan menjadi tawaran menarik bagi pemangku kepentingan dari bangsa ini. Menggali Kenusantaraan, Membangun Kebangsaan akan jadi budaya laten yang menyejukkan. Sastra yang mampu menyintesakan problem kehidupan. Problem bangsa kita adalah problem hati, maka sastra adalah obat mujarab yang menarik dinikmati.

Penulis adalah Dewan Pakar Pengurus Wlayah Lembaga Ta’lif wan Nasyr Nahdlatul Ulama (PW LTNNU) Jawa Timur.


Terkait