Opini

Shalat dan Polemik Penyebutan Sembahyang

Senin, 4 November 2019 | 18:39 WIB

Shalat dan Polemik Penyebutan Sembahyang

Ilustrasi sembahyang. (NU Online)

Oleh Syakir NF

Acap kali beberapa umat Islam menahan atau bahkan sampai melarang orang lain menyebut sembahyang untuk menunjuk makna ibadah yang didefinisikan dalam kitab fiqih sebagai kegiatan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Mereka mengharuskan orang lain untuk menyebutnya dengan kata shalat.

Alasan mereka karena shalat adalah kata yang digunakan dalam kitab-kitab, sunnah, dan al-Qur'an. Karena berbahasa Arab, kata itu tentu lebih 'islami'. Sementara sembahyang merupakan kata yang berasal dari dua kata, yakni sembah dan hyang. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, sembahyang diartikan sebagai shalat atau permohonan kepada Tuhan.

Sembahyang memang tidak berasal dari Arab. Tapi, hal itu bukan berarti ditolak begitu saja. Syekh Muhammad Khudlari Bik dalam Tarikh Tasyri' al-Islami menyebut bahwa kata shalat bukanlah kata Islam. Lebih dari itu, menurutnya, orang Arab sudah menggunakan kata shalat sejak sebelum Islam datang. Namun, maknanya belum menyempit sebagaimana disebutkan di atas, tetapi berarti doa dan permohonan ampunan (istighfar).

Syekh Khudori juga menjelaskan bahwa kata tersebut berasal dari shaluta. Dari literatur yang pernah penulis baca, kata tersebut berasal dari bahasa Ibrani yang bermakna doa. Zakat juga berasal dari bahasa Ibrani, zakuta. Karenanya, dua kata itu dalam Al-Qur'an masih ada wawunya untuk menunjukkan kata asalnya.

Kembali ke kata sembahyang, saat ini kok ada orang alergi dengan kata tersebut. Padahal, kata itu diambil oleh para ulama dahulu untuk mendekatkan masyarakat Nusantara dengan Islam. Sembahyang dan shalat memiliki referen yang sama. Tentu tak ada salahnya menyebut sembahyang untuk referen yang sama dengan shalat. Toh, orang juga memahaminya. Bahkan, kata tersebut lebih dekat dengan kebudayaan Nusantara.

Tak hanya shalat, para pendakwah dahulu juga tidak menggunakan kata syekh atau ulama untuk menyebut seseorang yang ahli dalam bidang agama, melainkan kiai di Jawa, ajengan di Sunda, anregurutta di Bugis, tuan guru di Nusa Tenggara, dan sebagainya.

Guru Besar Sejarah Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Azyumardi Azra mengungkapkan bahwa penggunaan bahasa Nusantara untuk mengganti kata bahasa Arab merupakan cara ulama membuat masyarakat Nusantara memeluk Islam dengan tulus tanpa kekerasan. Konsep demikian disebut sebagai vernakularisasi.

"Vernakularisasi itu adalah pembahasaan kata-kata atau konsep kunci dari Bahasa Arab ke bahasa lokal di Nusantara, yaitu bahasa Melayu, Jawa, Sunda dan tentu saja bahasa Indonesia," katanya sebagamana dikutip BBC.

Mikihiro Moriyama, pengajar Studi Asia di Universitas Nanzan, Jepang, mengatakan bahwa bahasa merupakan jembatan kebudayaan dan manusia. Bahkan, pembelajaran bahasa lokal, menurut akademisi yang pernah tinggal di Pondok Pesantren Cipasung, Tasikmalaya, Jawa Barat itu, sangat penting.

Pasalnya, globalisasi merenggut bahasa lokal dari komunikasi. Orang saat ini lebih gemar berbicara menggunakan bahasa Indonesia atau Inggris. Kesannya, penggunaan dua bahasa itu lebih keren ketimbang berbahasa daerah. Pun bahasa Arab lebih islami sehingga kata yang serupa maknanya tidak diterima.

Proses demikian sebetulnya tidak hanya terjadi pada bahasa saja, tetapi juga pada hal lain yang disebut sebagai akulturasi. Masjid, misalnya, yang menggunakan arsitektur lokal khas Nusantara. Masjid Kudus, misalnya, yang menaranya khaa arsitektur Hindu Buddha.

Oleh karena itu, shalat atau sembahyang sebetulnya sama saja. Kita tak perlu lagi melarang orang menyebut sembahyang. Toh para pendakwah zaman dulu menggunakan kata itu untuk mengantarkan Islam ke hati masyarakat Nusantara.
 
 
Penulis adalah mahasiswa Fakultas Islam Nusantara Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Jakarta