Opini

Tarik-tarikan Agama

Jumat, 29 September 2017 | 08:01 WIB

Tarik-tarikan Agama

Ilustrasi

Orang hidup di dunia kalau tidak bijaksana, kurang bijaksana. Anehnya, ketidakbijaksaan itu terjadi di elemen lingkungan yang seharusnya bijaksana. Seperti agama, kita tahu sendiri, agama selalu menyerukan agar pemeluknya berprilaku bijaksana, tapi tidak sedikit yang berlaku tidak bijaksana, bukan begitu? Selain itu juga, di Al-Qur’an menyiratkan, agar dakwah para ustadz bijaksana dan berseru dengan bijaksana. Berarti, tidak ada paksaan dalam hal ini. Kalau ada yang maksa, berarti tidak bijaksana.
 
Itulah bedanya hidup “di masa kini” dengan “demi masa kini”. Hidup di masa kini seharusnya saya, Anda dan kami bisa menerima perbedaan, karena tidak mungkin, orang seantero dunia itu harus sama dengan kita semua. Anda tahu bukan, dunia ini cuma satu, masa orangnya mau jadi satu juga, padahal setiap orang pasti berbeda suku, budaya, ras, agama, dan pola pemikiran. Sepertinya kita “ngigau” kalau semuanya harus diseragamkan. 
 
Kata kiai saya, Tuhan juga merestui perbedaan, Tuhan tidak menghendaki umat yang satu, seperti di Al-Qur’an sudah jelas, “Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka berselisih pendapat.” (Lihat: QS. Hud [11]: 118)Sudah jelas bukan? Apalagi yang diributkan. 
 
Ayoo lah, kita memikirkan hidup yang lebih damai lagi, jangan hanya berpandangan pada hidup “demi masa kini” semata. Memang kita semua punya kepentingan pada hidup ini, entah itu kepentingan kelompok kita sebagai anak ideologis dari sebuah organisasi atau aliran, atau mungkin kepentingan diri kita sendiri. Tidak ada yang salah memperjuangkan itu semua. Namun, penyampaiannya harus dilenturkan. 
 
Susahnya lagi, saya kemaren dapat informasi, sekarang ini fenomena “otoritas baru” sedang merebak di masyarakat, berkaitan dengan sikap keagamaan seseorang dalam menanggapi fatwa-fatwa/seruan-seruan yang disampaikan oleh ustadz/ustadzah (di Televisi, Medsos, dan Youtube)—seperti Mamah Dedeh, pernah menyampaikan/menyerukan seorang muslim tidak diperbolehkan menjadi dokter hewan.
 
Seruan Mamah Dedeh tersebut sempat menjadi sorotan ramai di kalangan umat Islam Indonesia, termasuk dokter hewan yang beragama Islam. Karena sama sekali tidak dilandasi dengan dasar yang kuat. Walaupun akhirnya diklarifikasi oleh yang bersangkutan.
 
Ada lagi, dalam siaran Youtube, seorang Ustadz mengatakan, “membunuh adalah bagian dari rahmatan lil ‘alamin, jika pembunuhan itu didasari karena orang tersebut sudah mengganggu”, ada juga yang mengatakan, “nafsu bermaksiat lebih baik daripada nafsu dalam beragama, karena nafsu maksiat hanya merusak secara personal, sedangkan nafsu beragama mempunyai potensi merusak agama, seperti sholawatan/menyanjung Nabi Muhammad, berdzikir yang berlebihan (tahlilan).” 
 
Melihat dari unsur kultural dan sosial serta kemanusiaan, jelas keliru.Membunuh dan berlaku asusila jelas bertentangan dengan martabat manusia yang hidup sebagai makhluk spiritual, makhluk sosial, makhluk politik, dan makhluk-makhluk lainnya. Dari hukum Islam sendiri silakan para pakar menilainya, saya tidak mau terjebak menjadi new otoritas. Pandangan dalam tulisan ini lebih pada agama yang bersanding dengan budaya dan masyarakat.
 
Pertanyaanya, apakah otoritas seruan keagamaan menjadi milik pribadi seorang pendakwah, atau menjadi milik ideologi golongan tertentu? Apakah bijak ungkapan-ungkapan tersebut bagian dari “otoritas baru” yang dianut di masyarakat, dengan ujaran yang memojokkan, yang pada ujungnya merontokkan sendi-sendi kebudayaan kita? Tidak lain dan tidak bukan, fatwa-fatwa yang tidak menyejukkan akan mengakibatkan “ketegangan”. Secara sosial dan kultural, jelas bertentangan, bukan sikap yang bijak.
 
Model-model dakwah tersebut kadangkala menjadi penyampaian “tidak ramah lingkungan”. Apalagi kalau hal tersebut diterima oleh basis masyarakat awam (seperti saya), dengan pemahaman agama masih terbatas. Ingat, hirarki rasionalitas itu masih terjadi di kalangan kita. Dengan itu, bisa menyebabkan kebingungan dari masyarakat luas, mana yang benar. 
 
Beranjak dari itu semua, saya selalu kaget, setiap berselancar di dunia maya, kebiasaan saling menjatuhkan lumrah sekali, walaupun sekarang sudah terungkap salah satu dari kegiatan itu dilakukan oleh “saracen”. Tapi, itu masih salah satu. Mungkin, salah dua, salah tiga, dan salah empat didalangi oleh golongan tertentu. Kebanyakan orang menyebutnya sebagai gerakan radikalisme. 
 
Tahu kan radikalisme? Kalau bahasa sederhananya, seperti saya yang tidak anti tahlilan, radikalisme diidentikan dengan kelompok yang suka membid’ahkan dan mengkafirkan. Enteng rasanya itu bibir ngomong kafir dan bid’ah. Masa segala-galanya disalahkan, aneh bukan? Tahlilan, salah—sholawatan, salah—wayang, salah—kenduren, salah—sedekah alam, salah, dan salah-salah yang lainnya. 
 
Apalagi kelompok yang baru dibubarkan kemaren (HTI). Sayadulu pernah masuk group Facebookmereka, tapi saya keluar lagi. Kenapa? Aneh rasanya. Masa NKRI disingkatnya Negara Kafir Repulik Indonesia, kalau memang demikian—katanya umat Islam mayoritas di Indonesia, hoaks semata, ternyata Islam di Indonesia cuma 0,1% hanya kelompok mereka saja, yang lainnya kafir. Hebat sekali mereka. Mengambil alih daerah kekuasaan Tuhan. Kalau kata Gus Mus, “dianggapnya Tuhan itu sama seperti mereka, ketika mereka marah, Tuhan pun akan marah, ketika mereka bilang kafir, Tuhan pun akan merestui kalau itu kafir.” Masya Allah
 
Saya coba korek-korek sejarah, ternyata pertentangan golongan kaku dan golongan elastis dimulai sudah lama, khususnya setelah perang Jawa berakhir tahun 1830, banyak golongan-golongan bermunculan dengan agenda memurnikan Islam. Dianggapnya Islam di Indonesia, atau yang kita kenal sekarang dengan Islam Nusantara itu keliru dan salah total, meminjam bahasanya Mark Woodward, Islam Jawa: Kesalehan Normatif dan Kebatinan. Menurutnya, kedua komponen model Islam itu susah untuk disenyawakan. Bertolak belakang.
 
Namun, karakter budaya Indonesia lebih merestui Islam Nusantara yang hadir dan berkembang, karena sesuai dengan norma, etika, karakter, dan kebiasaan masyarakat Indonesia itu sendiri. Senada dengan apa yang dikatakan Arnold Toynbee dengan teori radiasi budaya, “Aspek budaya yang di tanah asalnya tidak berbahaya akan menjadi berbahaya di tempat yang baru didatangi.”
 
Kalau kita lihat sekarang, bagi saya, sungguh miris. Seakan-akan terjadi klasifikasi kelas ketaatan, “kelas surga” dan “kelas neraka”. Kasihan sekali orang-orang seperti saya ini yang katanya menternak bid’ah dan akidahnya tidak murni, lantas vonisnya adalah neraka. Gimana jadinya ini. Kalau sayaterserah Tuhan saja, surga dan neraka sama-sama ciptaan Tuhan, masuk disalah satunya adalah restu Tuhan. Tapi mendingsepertiAbu Nawas saja, “Tuhan, aku tidak pantas masuk surga, tapi kalau mau dimasukin neraka, please, jangan dong.”
 
Gara-gara perbedaan pendapat yang meruncing, tidak sedikit pertentangan dan konflik yang terjadi di dunia ini, dan itu mengatasnamakan agama. Mungkin ini yang dinamakan “tarik-tarikan agama”. Dan hal tersebut tidak hanya terjadi di Islam saja, mengutip catatan dari Karen Armstrong, yang menyatakan, fundamentalisme/radikalisme itu terjadi di semua agama, seperti; Hindu radikal mempertahankan sistem kasta dan menentang Muslim India; kaum fundamentalisme Yahudi melakukan penghunian ilegal di Tepi Barat dan Jalur Gaza serta bersumpah untuk mengusir semua orang Arab di Tanah Suci mereka; Moral Majority yang di pimpin Jerry Falwell dan Christian Right, yang menganggap Uni Soviet sebagai Kerajaan Setan, mencapai kekuatan yang hebat di Amerika Serikat selama tahun 1980-an, dan masih banyak lagi.
 
Itu lah permasalahannya, api konflik dengan basis radikalisme mudah punya potensi. Karena sering sekali tidak terima kalau tidak sama seperti dirinya. Maunya mereka, kita semua manut sama mereka, tapi bagaimana mau manut orang kita semua ini punya latar belakang ide dan ideologi masing-masing, boleh saja sesumbar dalil sampai meteran, tapi tolong, jangan tuduh dan paksa kami, kafirkah kami?
 
Allah memberikan bingkisan kepada setiap golongan dan manusia berupa agama, sekaligus ruang dakwahnya. Dan ruang dakwah itu yang seharusnya dimanfaatkan dengan baik oleh kita semua, dengan cara santun dan bijaksana. Kondisi sosial dan psikologi sosial dari zaman ke zaman berbeda. 
 
Menanggapi persoalan tersebut, kita harus berpikir dialektis, umat Islam berkembang variatif, jargon-jargon dan simbol-simbol keislaman tidak hanya dimiliki oleh satu golongan, melainkan semua golongan yang beragama Islam dengan pandangan tertentu, madzhab tertentu, dan diskursus tertentu. Sehingga tidak sedikit dari kita terjebak pada kebingungan, mana yang Islam di antara kita. Ini menjadikan kita berpikir satu pihak, sehingga timbul sikap menyempit, Islam cenderung meluas. 
 
Sebab itu, dalam dinamika sosial ada kecenderungan kelompok yang menutup diri, sebagai cara untuk menjadikan kelompoknya pada kemurnian ideologi serta menuduh kelompok lain telah menyeleweng. Hal ini selaras seperti yang disampaikan Gunawan Muhammad dalam dialognya, “Efek dari penyempitan itu salah satunya adalah hilangnya toleransi. Namun, di sisi lain hilangnya toleransi bukan hanya masalah teologi lokal semata, juga menyangkut krisis sosial budaya.
 
Sistem berketuhanan kita yang harus dibenahi, karena selama ini sistem berketuhanan kita belum mampu menjawab persoalan-persoalan kemanusiaan. Kita hanya sibuk dengan kebenaran kita masing-masing. Sistem berketuhanan yang sehat, akan melahirkan cerminan spiritual yang sehat pula, seperti agama yang mempunyai misi; cinta kasih, perdamaian, persahabatan, dan saling menghormati. 
 
Selain itu, pada wilayah desa, kecamatan, kota, dan negara, menjaga kuat manusia-manusianya supaya tidak tersusupi paham-paham aneh, yang bisa memecah belah (apalagi hoaks-hoaks murahan berharga mahal itu). Dan ini tanggung jawab kita semua, bukan hanya tokoh masyarakat, ulama, presiden/pemerintah, melainkan bersama untuk mencapai pada persatuan Indonesia. Jangan menunggu datangnya “keajaiban” untuk hidup berdampingan rukun, minimal belajar rukun secara fisik saja, tidak pukul-pukulan dan tidak jotos-jotosan.
 
Allah berfirman dalam Al-Qur’an, “Wa’ tashimu bi habli allaihi jami’an wa la tafarraqu” (Dan bepeganglah kalian kepada tali Allah (secara) keseluruhan dan janganlah bercerai-berai/terpisah belah) (QS. Ali Imran [3]: 103). Menurut Gus Dur, ayat ini menunjukan kepada kita, yang dilarang bukannya perbedaan pandangan melainkan bersikap terpecah-belah satu dari yang lainnya. Hal ini diperkuat sebuah ayat lain (QS. Al-Maidah [5]: 3), “ta’wanu ‘ala al-birri wa al-taqwa”.
 
Ada sebuah adagium menarik yang dipopulerkan Gus Dur, dan ini akan menjadi akhir dari tulisan ini, “tak ada agama tanpa kelompok, tak ada kelompok tanpa kepemimpinan, dan tak ada kepimpinan tanpa sang pemimpin” (la dina illa bi jama’atin wa la jamata illa bi imamatin wala imamata illa bi imamin). 
 
Adagiumnya memang benar, walaupun sekelompok kecil pernah mengajukan klaim kepemimpinan itu dan minta diterima sebagai pemimpin. Namun sikap mereka yang memandang rendah kelompok lain, justru menggagalkan niatan tersebut, sedangkan kelompok-kelompok lain tidaklah memiliki kepemimpinan kohensif seperti itu. 
 
Herankah kita, jika wajah berbagai gerakan Islam di Tanah Air kita saat ini tampak tidak memiliki kepemimpinan yang jelas? Di sinilah kita perlu membangun kembali “kesatuan” umat (ummatan wahidatan). Mudah diucapkan, tapi sulit diwujudkan bukan? (Abdurrahman Wahid: 2011). Apalagi tarik-tarikan agama terus mendominasi untuk saling berebut kebenaran bukan?

 
Aswab Mahasin, Dewan Pengasuh Pondok Pesantren Darussa’adah Kebumen, Jawa Tengah.


Terkait