Jakarta, NU Online
Pemerintah harus mencegah agar para petinggi PT Newmont Minahasa Raya (NMR) tidak meninggalkan wilayah Indonesia. Langkah pencegahan tersebut diperlukan sebagai tahapan untuk meminta pertanggungjawaban hukum mereka atas dugaan pencemaran lingkungan yang dilakukan perusahaan itu di Teluk Buyat.
Desakan tersebut disampaikan sejumlah aktivis organisasi non pemerintah (ornop) seperti Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Indonesia Center for Enviromental Law (ICEL), dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) berdasarkan pertimbangan bahwa hasil penyidikan Pusat Laboratorium Forensic (Puslabfor) Mabes Polri menunjukkan telah terjadi pencemaran di Teluk Buyat. Para aktivis lingkungan juga mengingatkan bahwa PT NMR sudah menyatakan menghentikan semua kegiatannya secara resmi pada 31 Agustus ini.
<>Pertimbangan lainnya berkaitan dengan keterangan Menteri Negara Lingkungan Hidup, Nabiel Makarim di Jakarta Selasa (1/8) yang mengungkapkan bahwa hasil kerja Tim Peer Review terhadap 16 hasil penelitian di Teluk Buyat menunjukkan kemungkinan keterlibatan PT NMR dalam pencemaran lingkungan di kawasan tersebut.
"Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut dan untuk mencegah kemungkinan para petinggi PT NMR kembali ke negara asalnya sehingga sulit dimintai pertangungjawaban hukum, maka Pemerintah Indonesia harus segera mencegah mereka meninggalkan Indonesia,'' kata Sukma Violeta dari Indonesia Center for Environtmental Law (ICEL) yang juga anggota Tim Peer Review..
Tim Peer Review pekan lalu telah mengadakan pengkajian awal atas 16 hasil penelitian dengan kesimpulan bahwa PT NMR patut diduga telah melakukan pencemaran lingkungan. PT NMR sebagaimana telah diduga langsung bereaksi atas keterangan Nabiel Makarim.
Dalam keterangan persnya, Manager Hubungan Masyarakat PT NMR, Kasan Mulyono berpendapat, kesimpulan Peer Review bukan merupakan keputusan Pemerintah Indonesia. '' Kami meminta penjelasan mengenai kesimpulan Peer Review sesegera mungkin,'' katanya.
Sama seperti keterangan sebelumnya PT NMR tetap pada sikapnya untuk menolak tuduhan sejumlah kalangan bahwa perusahaan tersebut telah melakukan pencemaran. PT NMR mengaku selalu mematuhi semua ketentuan Indonesia dan secara berkala telah melaporkan hasil pemantauan lingkungan secara terbuka kepada pemerintah.
Seperti diketahui, temuan Tim Peer Review menunjukkan bahwa PT NMR melanggar peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pembuangan limbah Bahan Beracun Berbahaya (B3) sebagaimana diatur PP. No. 18/1999 jo PP. No. 85/1999. Sejak 1996 PT NMR telah membuang tailing yang merupakan limbah B3 secara ilegal, karena dilakukan tanpa memperoleh izin dari Menteri KLH/Kepala Bapedal.
Selain itu terdapat indikasi bahwa PT NMR melanggar ketentuan yang telah ditetapkan, karena berdasarkan laporan Pelaksanaan Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) Triwulan I- Triwulan IV sejak tahun 1999-2004, kualitas tailing, air tanah, air permukaan di dalam dan di luar lokasi tambang, serta kualitas air laut maupun kualitas udara, di atas baku mutu yang dibolehkan.
Tim Peer Review juga menyimpulkan asumsi PT NMR terhadap thermoklin tidaklah benar, sehingga analisis penempatan tailing (STD/STP) salah. Seharusnya lapisan Thermoklin berada di bawah kedalaman 200-300 m, dengan suhu maksimum terdapat pada kedalaman 200 m.
Koordinator Nasional Jatam, Siti Maimunah menambahkan, langkah pencegahan diperlukan karena tidak ada mekanisme yang bisa mengontrol dan menjadi garansi bahwa para petinggi Newmont tetap akan tinggal di Indonesia selama proses penutupan tambang berlangsung. "Bisa saja tiba-tiba orang-orang eksekutif Newmont besok kabur ke Amerika, karena khawatir pihak kepolisian akan menetapkan mereka sebagai tersangka berdasarkan bukti-bukti dan temuan yang ada selama ini," jelasnya. (SP/cih)