Warta

Kang Said: Kualitas NU Bukan Soal Jumlah

Jumat, 18 Mei 2007 | 07:44 WIB

Jakarta: NU Online
Nahdlatul Ulama (NU) sebagai ormas Islam yang terbesar di Indonesia mempunyai tugas berat harus diperjuangkan, yakni meningkatkan kualitas umat Islam secara umum. Kualitas itu menyangkut pemahaman mengenai Islam dan hubungannya dengan negara Indonesia.

”Di sini saya garisbawahi bahwa yang namanya kualitas bukanlah jumlah, melainkan lebih pada meningkatkan pemahaman terhadap Islam itu sendiri,” kata Ketua pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Said Aqil Siradj kepada NU Online di Jakarta, Jum’at (18/5).<>

Dikatakan, beberapa kalangan Islam di Indonesia memahami agama Islam dengan sangat ekstrim (tatharruf). Mereka sering mengklaim diri sebagai Islam yang kaffah (menyeluruh) tetapi sebenarnya tidak pernah kaffah.

”Bahwa Islam bukan hanya akidah dan syariah seperti yang mereka katakan, tetapi juga menawarkan budaya, peradaban dan moderasi Islam. Nah inilah yang ditawarkan NU dan inilah yang harus kita angkat dalam rangka memperjuangkan misi NU tadi,” katanya.

Menurut Kang Said, panggilan akrab  KH Said Aqil Siradj, NU juga harus menjaga, mengawal, dan menjadi tameng keutuhan negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) karena NU berjasa besar ikut membangun dan mendirikan negara ini.

”Kita harus bersyukur kepada leluhur kita di mana beliau-beliau pada Muktamar di Banjarmasin 1936 sepakat membangun darus salam (negara kesejahteraan) bukan negara Islam. Para ulama merekrut semua komponen yang ada, baik lintas agama, etnis, budaya dan seterusnya. Ini memperkuat sumpah pemuda satu bangasa satu nusa dan satu bahasa,” katanya.

Sikap seperti itu, kata Kang Said, terbentuk karena NU tidak terlalu mementingkan simbol, tidak legal formal, tidak mementingkan hal-hal yang bersifat lahir semata. Lebih penting lagi adalah nilai dan substansi Islam itu sendiri.

“Di sisi lain, memang orang-orang nasionalis pada zaman itu adalah bukan orang-orang universal, bukan nasionalis sekuler yang betul-betul tidak memasukkan faktor agama atau tidak menginginkan agama campur tangan dalam kehidupan bernegara. Mereka bukan orang-orang nasionalis sebagaimana yang ditulis Ernast Renan dalam Whats the Nation tahun 1980, sehingga waktu itu Soekarno Agus Salim, Kahar Muzakkar, Kiai Wahab Hasbullah, Wahid Hasyim dan Moh Hatta bisa saling ketemu,” katanya.(nam)


Terkait