Cerpen

Dongeng Enteng dari Pesantren (18): Al-Kadzib

Sabtu, 20 Juni 2020 | 17:13 WIB

Dongeng Enteng dari Pesantren (18): Al-Kadzib

Aku menceritakan bahwa mulanya Kang Haer menitipkan surat kepadaku. Kemudian aku meminta Si Aceng untuk menyampaikannya. Ternyata Si Aceng main belakang, ia bukan menyampaikan surat dari Kang Haer, tapi surat dari dirinya sendiri.

Oleh Rahmatullah Ading Afandie


Sepertinya lebih dari sepuluh kali membaca surat Yusuf. Sangat khusuk pula. Mesti setiap santri mengerti sabab musabab Kang Haer membaca surat Yusuf, tapi tak ada yang berani mengomentari. Disebut mereka mengerti, bukan mengerti lantaran surat (yang disobek Nyi Juariah), tapi mengerti pula Kang Haer punya maksud tertentu. Sudah lazim di pesantren mah kalau santri laki-laki jatuh cinta biasaanya membaca surat Yusuf. Kalau perempuan membaca surat Maryam. Kalau ingin pintar –seperti menghadapi ujian, membaca surat Luqman. Sudah menjadi kebiasaan meskipun ajengan sangat melarang menggunakan cara seperti itu. 


Mendengar Kang Haer mengaji, Si Aceng yang tiduran di bawah tempat tidurku seperti gelisah, seperti sama sekali tidak mengantuk. 


"Kenapa kamu, Ceng?" tanyaku.


"Aku merasa berdosa,” jawabnya sembari memberi isyarat mengenai Kang Haer yang sedang khusk ngaji.


"Kenapa merasa berdosa?" tanyaku. Obrolan terpotong karena Si Atok datang ke tempat tidurnya.


Keesokan harinya, kebetulan aku melewati rumah merebot. Sangat kebetulan, karena tak sengaja. Aku bermaksud memancing ikan di kali belakang warung Imi. Bukan karena aku senang memancing, tapi lebih karena membuang suntuk sembari ngabuburit.


Aku melewati rumah Mang Ahya, merebot masjid. Tampak ia sedang membetulkan jaring ikan di teras rumahnya. Aku duduk menyandar tiang teras rumahnya. Aku masih ingat pelupuh bambu terasnya sangat mengkilat seperti menggunakan minyak. Kemudian Mang Ahya memanggil cucunya untuk mengambil tikar. Aku melarangnya. Tapi kemudian cucunya, Nyi Juariah datang dengan membawa tikar pandan. Tikar yang bagian sisinya sudah mengelupas. Karena pribumi memaksa untuk duduk di tikar, akhirnya aku menurutinya.


Mang Ahya dan berbicara sembari membetulkan jaring. Namun, tak lama kemudian ada seorang bocah suruhan Mang Ulis Zakat (orang yang bertugas mencatat zakat fitrah). Bocah itu menyampaikan pesan agar Mang Ahya ke rumahnya. Mang Ahya kelihatan malas, tapi ia berangkat juga.


"Ditinggal dulu ya," katanya sembari berkata kepada cucunya, "Juariah, tolong terusin membetulkan jaring, nanti mau dipakai habis asar," katanya. 
 

Mang Ahya pergi, Nyi Juariah datang melanjutkan pekerjaan kakeknya. Aku memperhatikannya. Ternyata memang betul, dia bisa mengerjakannya. Jemarinya terampil, bahkan lebih tangkas dari kakeknya. 


Nyi Juariah memakai baju merah. Setelah kuperhatikan, sepertinya warna merah di bajunya seperti diperbarui karena warnanya tidak rata. Kerudungnya hijau. Ini juga warna yang diperbarui.


Seperti yang pernah kuceritakan, di kampung itu, Nyi Juriah termasuk gadis cantik. Malah kalau tidak salah sempat ada kabar ia akan dijadikan ibu tiri Nyi Halimah, anak ajenganku.


"Mohon maaf kemarin aku merobek-robek surat di depanmu,” katanya sembari bekerja.


"Ah, tidak apa-apa. Tapi kasihan kepada yang mengirimnya," kataku.


"Ah, kasihan apanya, anak kurang ajar begitu,” jawabnya.


"Kok bisa, menurutku orangnya tidak kurang ajar, sangat baik malah."


"Ah, kamu mah," katanya lagi deui. 


"La ilaha illallah, Juariah, di sapondok ini tak ada yang lebih suhud mengaji kecuali dia."


Dia seperti keheranan mendengar penjelasanku.


"Sebentar, sebentar, siapa yang kamu maksud?" 


"Ya iya, yang kemarin mengirim surat," kataku. 


"Iya, tapi orangnya yang mana?" 


Nyi Juariah seperti panasaran.


"Kang Haer. Kata siapa Kang Haer tidak beres mengajinya? jawabku. 


"Lho, lho, yang kemarin mengirim surat itu Kang Haer, tapi Si Aceng." 


Nyi Juariah makin heran.


"Betul Si Aceng yang mengantarkan surat mah, tapi surat itu dari  Kang Haer.” 


Nyi Juariah terperanjat.


"Wallahi..., bukan, bukan dari Kang Haer. Surat yang kuterima atas nama Si Aceng,” ungkapnya sembari ngeloyor ke dalam rumah. Ia kembali lagi dengan secarik kertas.


"Coba  lihat,” katanya. “Untung aku menyimpannya bagian yang ini."


Aku memeriksanya. Ternyata betul, surat itu dari Si Aceng. Tidak salah lagi itu dari Si Aceng. Aku melihat tanda tangannya dengan tiga huruf, shad-lam-ha. Si Aceng kan mana sebenarnya Soleh, tapi punya nama lain Aceng.
 

Aku kasihan kepada Kang Haer. Kemudian aku menjelaskan kepada Nyi Juariah duduk perkaranya. Aku menceritakan bahwa mulanya Kang Haer menitipkan surat kepadaku. Kemudian aku meminta Si Aceng untuk menyampaikannya. Ternyata Si Aceng main belakang, ia bukan menyampaikan surat dari Kang Haer, tapi surat dari dirinya sendiri.

Sudahlah, sampai di sini saja aku menceritakan kisah Kang Haer dan Nyi Juariah. Pokoknya, kisah itu berakhir happy end. Meskipun aku merahasikan  hal itu, tapi belakangan santri sepesantren tahu. Sejak itulah Si Aceng mendapat nama al-kadzib.
 

 

Cerpen ini diterjemahkan dari bahasa Sunda ke bahasa Indonesia oleh Abdullah Alawi dari kumpulan cerpen otobiografi Dongeng Enteng ti Pesantren. Kumpulan cerpen tersebut diterbitkan tahun 1961 dan memperoleh hadiah dari LBBS di tahun yang sama. Menurut Adun Subarsa, kumpulan cerpen tersebut digolongkan ke dalam kesusastraan Sunda modern sesudah perang.   Nama pengarangnya Rahmatullah Ading Afandie sering disingkat RAF. Ia lahir di Ciamis 1929 M. Pada zaman Jepang pernah nyantri di pesantren Miftahul Huda Ciamis. Tahun 1976, ia muncul dengan sinetron Si Kabayan di TVRI, tapi dihentikan karena dianggap terlalu tajam mengkritik. Ketika TVRI cabang Bandung dibuka, RAF muncul lagi dengan sinetron Inohong di Bojongrangkong.