Daerah

Enam Faktor Penyebab Santri Gagal dalam Menuntut Ilmu

Rabu, 1 Januari 2020 | 22:30 WIB

Enam Faktor Penyebab Santri Gagal dalam Menuntut Ilmu

Suasana mengaji kitab kuning di salah satu pesantren. (Foto: NU Online)

Cianjur, NU Online
Santri adalah harapan masa depan bagi tersebarnya pengetahuan agama di muka bumi. Karenanya, mereka selain memperhatikan sebab kesuksesan, juga harus tahu tentang penyebab kegagalan dalam menuntut ilmu agama. 
 
Inilah yang menjadi salah satu pesan penting KH Abdurrohman Asnawi selaku Pengasuh Pesantren Talukagung dalam pengajian bulanan yang diadakan Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama (MWCNU) Kecamatan Cijati, Cianjur, Jawa Barat, Rabu (1/1).
 
Dalam forum yang dikemas dengan pengajian kitab Tafsir Jalalain dan Fawa’idul Makkiyyah tersebut, Ajengan Abdurrohman menyebutkan setidaknya ada enam sebab seseorang gagal dalam menuntut ilmu agama. 
 
Ngandelaken hari esok, gumantung pada kacardasan, cacagnakaeun, mengaji sambil usaha, nyamper-nyamper jalma benghar, dan cicing dinu benghar,” demikian kiai sepuh tersebut bertutur dalam bahasa Sunda yang kental. 
 
Artinya, seorang santri jangan sampai menunda-nunda mengaji. Menunda mengaji di pesantren hanya akan menyebabkan seseorang menyesal karena akan kehilangan kesempatan. Belum tentu di esok hari sempat mengikuti pengajian. 
 
Berikutnya yakni seorang santri hendaknya tidak bergantung kepada kecerdasannya sendiri. Ia harus memperhatikan adab dan sopan santun kepada guru serta istikamah dalam mengaji. 
 
“Cacagnakaeun artinya berpindah pondok pesantren padahal belum menuntaskan satu kitab pun. Ini akan menyebabkan santri tidak memperoleh ilmu yang cukup,” jelasnya. 
 
Mengaji sambil berusaha juga menjadi sebab penting kegagalan belajar ilmu agama. Sehingga perlu totalitas, fokus dan konsentrasi dalam belajar agama. 
 
“Nyamper jalma benghar berarti mendatangi orang kaya untuk meminta-minta sumbangan. Ini juga dapat menjadi sebab kegagalan,” katanya. 
 
Sedangkan cicing dinu benghar berarti tinggal di rumah orang kaya. 
 
“Terkadang hal itu akan membuat seorang santri terpalingkan semangat belajarnya dan terobsesi dengan kekayaan orang lain,” urainya. 
 
Karena itu, Ajengan Abdurrohman juga mengingatkan agar para kiai NU yang hadir dalam pengajian tersebut yang umumnya adalah pengasuh pesantren di desanya, agar menyampaikan kepada santri bahwa jangan sampai dalam hati terbersit ingin dapat derajat mulia di masyarakat. 
 
Selain itu, jangan putus harapan bagi santri yang kurang cerdas dan santri yang cerdas jangan sampai mengandalkan kecerdasannya sehingga jatuh dalam kesombongan.
 
“Yang bodoh jangan putus harapan, yang pintar jangan andalkan kapintaran,” pungkas pengasuh pesantren tertua di kawasan Cianjur Selatan tersebut. 
 
MWCNU Cijati Cianjur telah aktif mengadakan kegiatan pengajian bulanan (syahriyahan) sejak dua tahun lalu. Kegiatan dilaksanakan sebulan sekali, biasanya pada awal bulan. Narasumber pengajian berganti-ganti demikian pula dengan materinya. 
 
Tetapi, yang pasti para narasumber adalah kiai-kiai sepuh di kawasan Cianjur Selatan serta materi adalah kitab kuning yang menjadi spesialisasi mereka. Peserta adalah para kiai pengasuh pondok pesantren yang lebih muda. Setiap kali diadakan, pesertanya tidak kurang dari 200 an orang kiai. 
 
“Forum ini menjadi ajang tabarrukan dengan para kiai sepuh, selain memperkuat silaturahim antar kiai NU di kawasan Cianjur Selatan,” kata Rais MWCNU Kecamatan Cijati, KH Sahlan Hidayat atau yang akrab disapa Ajengan Pelor. 
 
Kegiatan ini mendapat dukungan dari sejumlah pihak seperti IKASSA (Ikatan Keluarga Santri Cianjur Selatan), Pesantren Al-Jazair, Ngerayap Community, Pemuda Pancasila Cijati, Viking Parbol dan Djurig Djarian. Sebagai media partner bincangsyariah.com dan harakahislamiyah.com. 
 
 
Kontributor: Dudu Abdurrohman, M Khoirul Huda
Editor: Ibnu Nawawi
Dokumentasi: