Daerah

Kalis Mardiasih Paparkan Cara Ubah Stigma Perempuan

Rabu, 16 Desember 2020 | 01:00 WIB

Kalis Mardiasih Paparkan Cara Ubah Stigma Perempuan

Banyak stigma bahwa perempuan dipandang dari kacamata tradisional. Ia menjadi lapis kedua dalam keluarga dalam hal mendapatkan pendidikan karena laki-laki lebih diutamakan. (Foto: Istimewa)

Jakarta, NU Online
Perempuan sering kali mendapat stigma dalam masyarakat. Pandangan-pandangan tradisional bahwa perempuan itu hanya macak, masak, manak (dandan, memasak, beranak) sering kali diterima oleh mereka.

 

Bagaimana cara perempuan Indonesia menghadapi stigma yang masih marak di masyarakat? Kalis Mardiasih dan GKR Bendara membahasnya dalam webinar Women Empowerment: Berdaya, Berkarya, Bahagia, Ahad (13/12).

 

Menurut Kalis, kerentanan yang dimiliki perempuan itu berbeda dengan laki-laki. Banyak stigma bahwa perempuan dipandang dari kacamata tradisional. Ia menjadi lapis kedua dalam keluarga dalam hal mendapatkan pendidikan karena laki-laki lebih diutamakan.

 

Perempuan seakan-akan dipandang sebelah mata dalam pendidikan karena beberapa sebab, yaitu orang tua lebih memilih mengawinkan, adanya kekurangan biaya, kekerasan seksual, dan kurangnya fasilitas sanitasi. Apalagi perempuan memiliki batasan-batasan sampai ia dianggap seolah-olah sebagai satu-satunya penjaga moral bangsa dan keluarga.

 

"Padahal, Allah melihat semua manusia itu sama, hanya ketakwaan yang membedakan. Sehingga setiap manusia berhak untuk memaksimalkan potensi kemanusiaannya, keberdayaan dan kesetaraan," kata Kalis.

 

Ketika perempuan sudah berdaya, ujar Kalis, perempuan akan mampu memberdayakan orang lain.

 

Tokoh dari keraton Yogyakarta, putri bungsu dan anak kelima Sri Sultan Hamengkubuwono X dan GKR Hemas, GKR Bendara mengatakan wanita karir yang berperan sebagai pengusaha kecantikan dan aktivis sosial, tanpa melupakan perannya sebagai seorang ibu. "Perempuan harus 100 persen on everything," tuturnya.

 

GKR Bendara dididik menjadi seorang yang mandiri. GKR Hemas, ibunya, pernah berkata laki-laki memang kepala keluarga, tetapi perempuan adalah lehernya. Kepala tak bisa menoleh ke kiri atau kanan tanpa persetujuan leher. Kata-kata itu baginya melekat di hati, sehingga ia dan seluruh saudaranya menjadi seorang yang hidup mandiri.

 

GKR Bendara juga mengingatkan bahwa janganlah kita mengkritisi perempuan lain. Mereka tidak sempurna, kita pun sama. Jadi, janganlah kita bahas kehidupan orang lain, biarkan mereka membahas kehidupannya masing-masing.

 

Perempuan menurutnya harus memiliki penghasilan. Mereka harus ada tabungan sebagai bentuk kemandirian dalam finansial. Selain itu perempuan yang mengalami kekerasan rumah tangga dapat menghubungi kantor Rekso Dyah Utami.

 

Diskusi diadakan MAN PKN STAN, organisasi mahasiswa Nahdlatul Ulama di Politeknik Keuangan Negara STAN. Kiai Tamam Khaulany, pendiri IMAN PKN STAN sebelumnya mengatakan berdaya adalah starting point, selanjutnya berkarya, dan final destination-nya bahagia.

 

"Perempuan bisa menjadi apa pun tanpa harus memandang stigma yang ada," kata Kiai Tamam.
 

 

Editor: Kendi Setiawan