Daerah

Kisah Perjuangan Kiai Umar Jember, Ditahan hingga Mengungsi

Selasa, 18 Agustus 2020 | 04:15 WIB

Kisah Perjuangan Kiai Umar Jember, Ditahan hingga Mengungsi

Kiai Umar, pejuang sekaligus pendiri Pondok Pesantren Raudlatul Ulum, Desa Sumberwringin, Kecamatan Sukowono, Kabupaten Jember, Jawa Timur. (Foto: NU Online/Aryudi AR)

Jember, NU Online

Tidak bisa dipungkiri bahwa kemerdekaan Indonesia tak lepas dari  perlawanan yang sengit di daerah-daerah. Para kiai juga berjibaku berperang menghadapi penjajah dengan segala risikonya. Berbekal senjata seadanya, mereka melawan penjajah dengan caranya sendiri dan tak pernah lelah sebelum penjajah angkat kaki dari bumi pertiwi.

 

Salah satu dari mereka adalah Kiai Umar, pendiri Pesantren Raudlatul Ulum, Desa Sumberwringin, Kecamatan Sukowono, Kabupaten Jember, Jawa Timur. Ayahanda KH Kotib Umar itu, menjadikan pesantrennya sebagai markas pertahanan sekaligus persembunyian para pejuang  dan tentara yang jumlahnya sekitar 250 orang.

 

“Mereka berbaur dengan para santri yang juga pejuang,” ujar Pengasuh Pesantren Nurul Islam, Antirogo, Kecamatan Sumbersari, Jember, KH Muhyidin Abdusshomad kepada NU Online di kediamannya, Senin (17/8) malam.

 

Selama di pesantren,  mereka berfungsi ganda. Siang hari, mereka menggunakan kopiah dan sarung layaknya santri untuk mengelabui penjajah. Tapi bila malam tiba, mereka keluar menyelinap di kegelapan malam, mencari tentara serdadu Belanda untuk diserang, lalu kabur.

 

Selain menjamin akomodasi para gerilyawan, Kiai Umar juga mengatur strategi penyerangan bersama pimpinan tentara di situ. Mereka adalah Mayor Imam Sukarto (mantan Komando Militer Daerah Besuki), Mayor Magenda, Mayor Dersan Eruk, Kapten Sofyan, dan Letnan Sutaryo.

 

“Kiai Umar juga mengisi ijazah dan memberikan amalan-amalan untuk keselamatan pejuang,” lanjutnya.

 

Dijelaskan, suatu ketika markas bayangan para santri pejuang  ini terendus Belanda. Dengan membawa serdadu sebanyak 4 truck, Belanda menggrebek dan mengobok-obok kompleks pesantren. Mereka mencari tentara, namun tidak ada. Belanda hanya menemukan para santri mengaji. Dan serdadu  Belanda pun pulang dengan tangan hampa.  

 

"Belanda semakin marah, apalagi banyak pejuang dari pesantren itu yang tetap menyerang serdadu dan markasnya secara  sporadis," ungkapnya.

 

Ditambahkan, pernah di suatu malam, tentara dan santri menyerang tentara Belanda di sebelah selatan Sumberwringin. Keesokan harinya, lagi-lagi Belanda menggeledah pesantren tersebut untuk mencari Kiai Umar dan tentara.  Tapi mereka tidak menemukan apa yang dicari. Serdadu  Belanda hanya mendapatkan seorang pemuda bernama Hasan. Karena dicurigai sebagai tentara, orang tersebut dibawa ke markas Belanda di Bataan, Arjasa.

 

“Dalam kondisi yang seperti itu, Kiai Umar hanya berdoa kepada Allah, agar santri dan tentara diselamatkan,” lanjut Kiai Muhyidin yang juga Rais Syuriyah PCNU Jember itu.

 

Sepanjang jalan dari Sumberwringin hingga Arjasa sambungnya, Hasan dibebani empat pikulan ayam yang diikatkan di lehernya oleh serdadu Belanda. Bahkan, dalam perjalanan itu, ia juga dipukuli. Siksaan yang begitu berat itu, membuat Hasan tak bisa membantah bahwa dirinya adalah santri Kiai Umar.

 

Lalu, Kiai Umar pun dipanggil Belanda ke maskasnya di Bataan, Arjasa. Tapi berhubung Belanda di Kalisat ingin menyerang kekuatan pejuang di Garahan Jati, Sempolan, maka minta bantuan serdadu yang ada di Bataan untuk ikut dalam penyerangan tersebut. Dan Kiai Umar pun dibebaskan, tanpa sempat diinterogasi setelah ditahan selama sehari.

 

Setelah kejadian itu cerita Kiai Somad, Belanda melancarkan agresi militer II (1948). Untuk menghindari segala kemungkinan terburuk, Kiai Umar dan keluarganya mengungsi. Semua peralatan dapur dan kitab-kitab, dipendam di dalam tanah. Lokasi pengungsiannya adalah Dusun Plalangan, Desa Mojogemi, sekitar 3 kilometer ke arah barat daya Sumberwringin. Di sana tinggal di rumah Kiai Bukhori, tokoh  masyarakat setempat. Rumah tersebut kemudian juga menjadi tempat bersembunyi para pejuang yang lain.

 

Menurutnya, keputusan Kiai Umar tersebut sangat tepat. Sebab, Belanda makin brutal mengoyak-koyak Jember, termasuk Sukowono. Sejumlah kiai dan tokoh masyarakat terus diintai, bahkan banyak yang ditangkap. Kiai Umar yang bernama kecil Mushawwir itu mengungsi bukan karena ingin lari dari perjuangan. Ia pergi untuk menang.

 

“Mungkin pertimbangannya, tidak semua konfrontasi dengan Belanda harus dilawan dengan cara berhadap-hadapan. Sebab, sarana dan  kemampuan perang rakyat sangat terbatas. Jauh bila dibandingkan dengan mesin perang yang dimiliki musuh,” pungkas  alumnus Pesantren Raudlatul Ulum, Desa Sumberwringin, Kecamatan Sukowono, Kabupaten Jember tersebut.

 

Pewarta: Aryudi AR
Editor: Abdul Muiz