Daerah

New Normal, Tantangan Berat bagi Pesantren

Senin, 8 Juni 2020 | 11:15 WIB

New Normal, Tantangan Berat bagi Pesantren

Ketua IKA (Ikatan Keluarga Alumni) PMII Cabang Jember, Akhmad Taufiq. (Foto: NU Online/Aryudi AR)

Jember, NU Online
Rencana pemerintah untuk menerapkan kenormalan baru (new normal) menghadapi pandemi Covid-19 yang tak kunjung berakhir, merupakan tantangan tersendiri bagi kalangan pesantren. Pasalnya, sebagai lembaga pendidikan keagamaan yang memiliki karakteristik khusus, pesantren harus melakukan serangkaian penyesuaian yang tidak mudah untuk mengikuti protokol medis.

 

Menurut Ketua IKA (Ikatan Keluarga Alumni)  Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Jember, Jawa Timur, Akhmad Taufiq, sejatinya pesantren tak asing dengan beragam ujian atau tantangan, dan selalu berhasil dilalui, namun wabah Covid-19 sungguh merupakan ujian yang sulit.

 

“Pesantren selama bertahun-tahun telah melewati berbagai jenis ujian. Dan saat ini, pesantren menghadapi sebuah tantangan baru yang benar-benar tidak mudah, yakni pandemi Covid-19,” ujarnya saat menjadi narasumber dalam  diskusi daring (webinar) yang digelar Pengurus Cabang Lembaga Ta’lif wan Nasyir Nahdlatul Ulama (PC LTNNU) Jember, Ahad (7/6) malam.

 

Dosen Universitas Jember itu menambahkan, tantangan tersebut antara lain terkait dengan pengaturan jarak atau physical distancing. Kondisi ini tak pelak menuntut pengasuh pesantren bisa  menyediakan ruang yang lebih luas, mulai dari bilik pesantren hingga tempat belajar.

 

Dikatakannya, physical distancing tentu merupakan hal baru bagi santri dan pesantren. Sebab, semua pondok pesantren biasanya menyediakan bilik dengan ukuran seadanya yang diisi oleh 2 hingga 10 orang bahkan lebih. Sehingga saat santri di bilik tidak mungkin menerapkan physical distancing.

 

“Ini ‘kan juga sulit bagi santri, sudah biasa membaur satu dengan yang lainnya,” sergahnya.

 

Tantangan lainnya adalah santri terlalu lama libur menyusul imbauan pemerintah terkait pencegahan Covid-19. Santri tidak biasa libur hingga dua bulan. Sebab, semangat santri cukup tinggi untuk belajar dan kembali ke pondok, berinteraksi dengan ustadz dan rekan-rekannya. Maka jika saat ini harus kembali ke pondok dengan pola hidup yang beda dalam skema kenormalan baru,  tentu juga tak mudah bagi santri.

 

“Ini juga tak mudah bagi santri, meskipun saya yakin santri bisa karena mereka biasa hidup dalam kondisi apapun,” ungkap Taufiq.

 

Karena itu, doktor bidang sastra ini berharap agar LTNNU bisa ikut berperan dalam menyuarakan aspirasi pesantren, termasuk kepada pengambil kebijakan. Dikatakannya, sejak dua bulan lalu, santri ‘dimobilisasi’ untuk pulang kampung, dan sekarang juga ‘dimobilisasi’ untuk kembali ke pesanren.

 

“Di sinilah LTNNU bisa berperan untuk mencatat semua kegelisahan santri dan pengasuh pesantren,” paparnya.

 

Pada kesempatan tersebut, Taufiq memberikan apresiasi kepada para kiai dan pengasuh pesantren yang sudah mengambil keputusan yang tepat bagi kondisi dan konteks pesantrennya masing-masing atas kebijakan di masa wabah Covid-19  ini, termasuk dalam menyambut kenormalan baru nanti.

 

“Frase proses mobilisasi ini patut kita kritisi,” lanjut Taufiq yang juga Wakil Ketua PCNU Jember ini.

 

Sementara itu, narasumber lain, Adam Mushi menegaskan bahwa secara konstitusional, negara mempunyai kewajiban atas pemenuhan hak-hak terhadap warga negaranya. Salah satunya di bidang pendidikan. Hal ini dihubungkan dengan kesiapan pesantren dalam menghadapi kenormalan baru.

 

Dikatakannya, untuk konteks Jawa Timur misalnya, ada empat opsi yang ditawarkan Kemenag terhadap pesantren. Pertama, santri tetap kembali ke pesantren secara bersama. Kedua, santri kembali ke pesantren secara bertahap. Ketiga, santri kembali ke pesantren setelah pesantren disterilkan. Dan yang keempat adalah santri baru kembali ke pesantren setelah pandemi benar-benar selesai.

 

Adam menegaskan, dari empat opsi tersebut, idealnya negara harus memberi ruang kepada pengasuh pesantren untuk memilih sendiri, opsi mana yang akan diambil. Sebab, dia yang lebih memahami kondisi pesantren yang diasuhnya.

 

“Titik tekannya adalah, apapun opsi yang dipilih oleh masing-masing pesantren, negara tetap harus hadir dan tidak bisa lepas dari tanggung jawabnya. Ini terkait dengan kewajiban negara untuk memberikan pemenuhan hak atas kesehatan terhadap warganya,” jelas dia.


Pewarta: Aryudi AR
Editor: Ibnu Nawawi​​​​​​