Daerah

Sejarah Gelar Aceng bagi Putera Ajengan di Garut

Selasa, 18 Mei 2021 | 04:00 WIB

Sejarah Gelar Aceng bagi Putera Ajengan di Garut

Seorang anak sedang belajar ngaji kepada ayahnya. (Ilustrasi: Freepik)

Garut, NU Online

Di berbagai daerah di Indonesia , tentunya sudah tidak asing dengan berbagai macam gelar yang disematkan kepada orang-orang tertentu yang mempunyai silsilah keluarga bangsawan dari kalangan darah biru, aneka gelar tersebut memiliki nilai historis dan makna tertentu bagi setiap pemiliknya.

 

Beberapa gelar bangsawan yang sudah banyak dikenal masyarakat Indonesia diantaranya adalah untuk laki-laki ada gelar raden, tubagus dan sebagainya sementara untuk perempuan misalnya ada gelar ajeng, ayu, ratu dan sebagainya.

 

Khusus di Kabupaten Garut, ada gelar Aceng dan Nyimas, yaitu sebuah gelar yang disematkan kepada putera dan puteri ajengan atau kiai. Mengenai hal ini, sesepuh sekaligus pimpinan Pesantren Fauzan, Garut, KH Aceng Aam Umar A’lam menuturkan bahwa gelar aceng dan nyimas ini lahir sejak tahun 1700-an tepatnya pada zaman Syekh Nuryayi bin Raden Puspadirana, silsilah Raden Puspadirana ini masih memiliki nasab dengan Syekh Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) Cirebon.

 

“Syekh Nuryayi adalah murid dari Syekh Abdul Muhyi Pamijahan, Tasikmalaya, murid Syekh Jafar Sidik, Garut dan murid Syekh Maulana Mansur Pandeglang, Banten,” tutur Ajengan Aceng Aam Umar kepada NU Online di komplek Pesantren Fauzan, Garut beberapa waktu yang lalu.

 

Beberapa keturunan Syekh Nuryayi yang berpengaruh diantaranya adalah Syekh Hasan Basori, Syekh Muhammad atau Syekh Jabal Qubais (Mekkah), Syekh Muhammad Adzro’i (Bojong Garut),  Syekh Muhammad Umar Bashri (Pesantren Fauzan, Garut), Syekh Siroj (Pengarang Kitab Futuh Ilahiyah) dan Syekh Salim.

 

Jual Beli Gelar Raden oleh Belanda

Pada zaman Syekh Nuryayi, kata Ajengan Aceng Aam, penjajah Belanja sering melakukan praktek jual beli gelar raden kepada masyarakat, khususnya kepada mereka yang dekat dan mendukung Belanda, hal ini kemudian membuat Syekh Nuryayi merasa khawatir karena jika dibiarkan akan merusak terhadap keturunan asli raden.

 

Akibat banyaknya orang yang menyandang gelar raden, tidak sedikit masyarakat yang merasa kesulitan untuk membedakan antara raden asli dan raden palsu karangan Belanda itu. Akhirnya untuk menjaga nasab yang jelas, Syekh Nuryayi membuat gelar khusus bagi keturunannya dengan nama Aceng dan Nyimas sebagai pembeda dengan gelar raden.

 

Seiring berjalannya waktu gelar aceng ini semakin terbuka, artinya tidak hanya dikhususkan kepada keturunan Syekh Nuryayi saja, sebab masyarakat Garut biasa menyebut aceng kepada siapa saja yang bisa ngaji atau dianggap sudah menjadi ajengan, bahkan orang yang hanya pakai kopiah saja kadang dianggap Aceng

 

Mengenai hal ini, Ajengan Aceng Aam yang masih keturunan dari Syekh Nuryayi sudah memakluminya, sebab ia menganggap hal itu terjadi karena terbatasnya pengetahuan masyarakat terhadap sejarah nama aceng itu sendiri.

 

Aceng Harus Mengikuti Akhlak Rasulullah

Menurut penuturan Ajengan Aceng Aam, seorang aceng harus mampu mengikuti jejak langkah Nabi Muhammad yang selalu menjadi panutan dalam kelemahlembutan dan akhlak, terutama dalam mendidik. Setidaknya seorang aceng harus mengedepankan akhlakul karimah yang dikuti dengan ilmu yang luhur.

 

Bagi orang yang asli keturunan aceng, biasanya mereka menyembunyikan gelar acengnya agar masyarakat tidak sungkan untuk dekat dan berkomunikasi langsung dengannya. Selain itu mereka juga merasa belum layak memiliki gelar Aceng karena takut menodai gelar Aceng tersebut dengan kekurangan yang dimiliki.

 

Ajengan Aceng Aam mencontohkan adiknya sendiri, Ajengan Aceng Abun yang punya penampilan nyeleneh, bagi orang yang baru mengenalnya mungkin tidak akan tahu bahwa Ajengan Abun ini adalah putera kiai yang punya pengaruh besar.

 

KH Aceng Aam berpesan agar gelar aceng  ini tidak digunakan secara sembarangan, apalagi jika orang yang bukan keturunan Syekh Nuryayi, hal ini sebagai bentuk ihtiyat (hati-hati) untuk meminimalisir potensi tumbuhnya rasa sombong hati.

 

Kontributor: Muhammad Salim

Editor: Aiz Luthfi