Zaki dan Irham, 2 Santri Berbagi Cerita Berhasil Tembus Kuliah di Jerman dan Inggris
NU Online · Rabu, 23 Juli 2025 | 21:00 WIB
Ahmad Solkan
Kontributor
Jakarta, NU Online
Meskipun menyandang identitas santri, bukan berarti tidak bisa mewujudkan asa setinggi langit. Dua tokoh santri di bawah ini meskipun sejak kecil mengenyam pendidikan di lingkungan pesantren, namun kini mampu mengenyam pendidikan Barat, yakni di Eropa.Â
Berlatar belakang pendidikan pesantren tulen yakni Pesantren Raudlatul Ulum Guyangan Pati Jawa Tengah sejak Madrasah Tsanawiyah (MTs) hingga Madrasah Aliyah (MA), tidak menjadi halangan bagi Zaki Fahmi untuk melanjutkan pendidikan di Eropa.Â
Zaki mengatakan, sejak lulus dari Madrasah Aliyah, dirinya pernah ditolak masuk universitas impian. Kemudian ia kembali belajar dengan giat mempersiapkan diri, untuk menghadapi ujian seleksi masuk salah satu kampus terbaik nasional yakni Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. "Akhirnya diterima di UGM," ungkapnya saat diwawancarai NU Online pada Rabu (23/7/2025).
Ia menambahkan, selepas lulus dari UGM, dirinya tidak langsung melanjutkan pendidikan ke jenjang magister, melainkan menjalani pengabdian di pesantren terlebih dulu.
Pemuda alumni Pesantren Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta ini mengaku, setelah mengabdi beberapa tahun di pesantren, akhirnya ia berpikir untuk melanjutkan pendidikan Strata Dua (S2). Ia punya ambisi untuk menempuh jenjang S2 di luar negeri. "Yang lebih baik dari UGM," katanya.
Menurut Zaki, untuk menempuh kuliah di luar negeri, yang harus dipersiapkan penguasaan bahasa Inggris yang baik. Ia pun mengikuti kursus bahasa Inggris di Pare, Kediri, Jawa Timur.
Ia menceritakan, setelah kemampuan bahasa Inggrisnya dirasa mumpuni, kemudian ia mendaftar beasiswa di Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) Santri atas rekomendasi Pesantren Al-Munawwir Krapyak.
"Setelah itu melamar ke beberapa kampus dan alhamdulillah yang lolos di universitas di Jerman yaitu di Universität Bonn," kisahnya.
Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Jerman ini berpesan, untuk para santri yang ingin melanjutkan studi ke luar negeri apalagi jalur beasiswa, harus mencari tahu terlebih dulu terkait informasi beasiswa yang diambil. Ia memberi contoh beasiswa itu bisa berupa LPDP, Indonesia Bangkit, Indonesia Maju dan masih banyak lagi.
"Yang jelas teman-teman harus sering-sering riset. Istilahnya di internet banyak sekali. Jangan minder, harus mencari dan melamar," terangnya.
"Tapi, selain melamar, teman-teman harus mempersiapkan diri dengan baik. Biasanya persyaratan pertama beasiswa itu terkait bahasa, bisa pakai TOEFL atau IELTS. Kemudian juga yang harus dipersiapkan terkait motivation letter. Sering latihan dan minta mentoring ke teman-teman santri atau yang lain untuk minta bimbingan," tambahnya.
Ia menyarankan, bagi para santri yang ingin berkuliah di luar negeri agar mencari tahu terkait syarat-syarat yang lain. Lalu melihat diri sendiri, bidang apa yang hendak didalami di kampus tujuan. Kemudian mencermati kapan pembukaan pendaftaran kampus tersebut.
Zaki menilai, meski santri mempunyai latar belakang pendidikan agama yang kental, bukan berarti tidak bisa mempelajari ilmu umum. Ia memberi contoh, bahwa dirinya sejak MTs hingga jenjang S1 mondok di pesantren. Sehingga ia sangat mendalami sekali ilmu agama. Namun, ia berani mengambil keputusan yang tidak populer yakni kuliah S1 dan S2 jurusan Kimia.
"Tetapi hal itu tidak menjadi hambatan, justru bisa saling melengkapi. Bisa untuk akselerasi. Contoh saya (kuliah) Kimia, tetapi ingin konsentrasi untuk analisis halal. Tapi dalam bidang kimia bagaimana untuk bisa menganalisis halal tapi biar lebih saintifik," jelasnya.
"Jadi latar belakang agama tidak menghalangi teman-teman terutama (masuk) jurusan umum untuk meraih kesempatan. Karena banyak teman-teman santri baik di Jerman, Belanda, Inggris, Prancis, di Eropa banyak sekali yang bisa. Kalau kita bisa, kenapa teman-teman santri (lain) tidak bisa? Pasti bisa. Kalau ada kemauan pasti ada jalan," tandasnya.
Sementara itu, Mahasiswa University College (UCL) London Inggris jurusan Engineering with Innovation and Entrepreneurship, Muhammad Ali Irham menegaskan, sebelum kuliah di UGM, ia pernah ditolak berbagai kampus saat ingin melanjutkan kuliah di jenjang S1.
"Kemudian dapat UGM tapi jalur mandiri. Tapi itu di tahun keduanya (2015). Di tahun 2014 saya gagal semua. Jadi saya memutuskan berhenti setahun dan masuk pesantren selama satu tahun (di Demak)," kisahnya.
Ia menceritakan, selain diterima di vokasi UGM, sebenarnya ia juga diterima di jurusan Arsitektur Unnes pada tahun kedua setelah lulus dari Aliyah.
"Kemudian saya lanjut pilih UGM. Karena (alasan) beberapa hal. Termasuk salah satu kampus terbaik Indonesia, punya banyak fasilitas dan sangat kompetitif lingkungannya," terangnya.
Ia mengaku bersyukur bisa menuntaskan kuliah Diploma Tiga (D3) jurusan Instrumentation
Technology UGM. Bahkan, ia juga sering mengikuti kompetisi nasional dan beberapa kali juara. Pria yang akrab disapa Irham ini juga pernah mengikuti pertukaran mahasiswa ke Jepang saat menempuh program D4 di UGM.
Setelah lulus UGM, ia memutuskan untuk melanjutkan S2 ke luar negeri. Untuk menunjang itu, ia ambil kursus bahasa Inggris di Pare, Kediri.
Irham memaparkan bahwa ia kuliah ke luar negeri lewat jalur afirmasi LPDP, karena kebetulan keluarganya termasuk penerima bantuan dari Kemensos. Setelah lolos berbagai seleksi yang diselenggarakan LPDP dengan nilai memuaskan, ia pun diterima di University College London.Â
"Saat ini saya kuliah di University College London. Itu adalah universitas pilihan nomor satu yang saya ajukan di LPDP," ucapnya.
"Terus saya mengambil jurusan Engineering with Innovation and Entrepreneurship. Ini jurusan kombinasi (antara) jurusan Engineering dan Entrepreneurship. Saat ini UCL kampus nomor 9 di dunia dan kalau di UK nomor 4," lanjutnya.
Alumni Pesantren Raudlatul Ulum Guyangan ini menjelaskan titik balik dari pencapaiannya saat ini. Ketika pertama kali lulus dari pesantren, ia merasa tidak terlalu tertinggal dengan anak-anak lulusan SMA secara umum.Â
Namun ia menyadari, pemikirannya itu salah saat terbukti ia gagal masuk berbagai universitas lewat beberapa jalur. Menurutnya, anak-anak SMA secara umum selain karena dasar pelajaran umumnya bagus, mereka juga ikut bimbingan belajar (bimbel) yang bagus dan mahal. Berbanding terbalik dengan anak-anak pesantren yang lebih banyak belajar ilmu agama.
"Saat saya melanjutkan mondok Qur'an di Al Islah Demak, saya juga mengambil bimbel kecil rumahan. Dan alhamdulillah saya sedikit banyak mendapatkan wawasan dan berkompetisi, karena di situ juga ada anak SMAN 1 Demak," tuturnya.
"Alhamdulillah saya bisa mengukur diri dan belajar dari kesalahan saya sebelumnya," tuturnya dengan nada merenung.
Pria asli Demak, Jawa Tengah ini, mengaku, motivasi memilih jurusannya saat ini karena pengaruh dari lomba-lomba yang pernah diikutinya sewaktu D3. Selain itu, kebetulan sesuai dengan potensi ekonomi di desanya yakni bagaimana mengolah limbah cangkang rajungan.
Ia punya ambisi untuk mengembangkan sentra usaha rajungan di desanya yaitu Betahwalang, Bonang, Demak, Jawa Tengah, untuk menjadi pionir pengelolaan limbah rajungan di Indonesia.Â
"Dan aku rasa untuk engineering with innovation and entrepreneurship ini merupakan hal yang sangat tepat. Karena di sini saya bisa belajar engineering dan belajar entrepreneurship-nya. Jadi saya bermimpi bisa menyelesaikan masalah ini dari hulu ke hilir," ungkapnya.
Ia berpesan apabila para santri ingin melanjutkan studi ke luar negeri khususnya Eropa tidak boleh merasa inferior dan harus memiliki pola pikir setara dengan lulusan sekolah umum.
Ia melanjutkan, para santri harus punya mental pekerja keras bahkan harus lebih kuat dari lulusan luar pesantren.
"Jangan sampai kita hanya punya label santri aja. Jadi sebisa mungkin kita dapat bersaing dengan mereka di dunia (pelajaran) umum juga," tegasnya.
Ia memberi saran para santri yang ingin mengenyam pendidikan ke luar negeri harus belajar dan menguasai keterampilan bahasa, terutama bahasa Inggris.
"Pengalamanku saat di sini, bahasa Inggris sangat-sangat penting, jadi ketika kita memiliki bahasa yang kurang itu sangat susah untuk berkomunikasi, beradaptasi dan berinteraksi dengan orang-orang Internasional. Karena mereka yang ada di sini khususnya di Inggris, mereka punya kemampuan bahasa Inggris yang sangat bagus," paparnya.
"Bahasa merupakan hal lain di luar kompetensi yang perlu dikuasai," imbuhnya.
Terpopuler
1
Gus Yahya Sampaikan Selamat kepada Juara Kaligrafi Internasional Asal Indonesia
2
Menbud Fadli Zon Klaim Penulisan Ulang Sejarah Nasional Sedang Uji Publik
3
Guru Didenda Rp25 Juta, Ketum PBNU Soroti Minimnya Apresiasi dari Wali Murid
4
Khutbah Jumat: Menjaga Keluarga dari Konten Negatif di Era Media Sosial
5
PCNU Kota Bandung Luncurkan Business Center, Bangun Kemandirian Ekonomi Umat
6
Rezeki dari Cara yang Haram, Masihkah Disebut Pemberian Allah?
Terkini
Lihat Semua