Nasional

3 Alasan Dewan Pers Tegas Tolak Draf RUU Penyiaran

Selasa, 14 Mei 2024 | 22:46 WIB

3 Alasan Dewan Pers Tegas Tolak Draf RUU Penyiaran

Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu saat konferensi pers di Gedung Dewan Pers Lantai Tujuh, Jl Kebon Sirih Nomor 32-34, Gambir, Jakarta. (Foto: NU Online/Suwitno).

Jakarta, NU Online

 

Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu menegaskan, pihaknya menolak draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang saat ini sedang dibahas di Badan Legislasi (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI. Terdapat 3 alasan atau argumentasi Dewan Pers untuk menolak RUU Penyiaran itu.

 


1. Larang media investigatif

Ninik mengatakan, di dalam draf RUU Penyiaran saat ini ada pasal yang melarang media investigatif. Hal ini sangat bertentangan dengan mandat yang ada dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.


"Kita sebetulnya dengan Undang-Undang 40 tidak lagi mengenal penyensoran, pembredelan, dan pelarangan penyiaran terhadap karya jurnalistik berkualitas. Nah, penyiaran media investigatif itu adalah satu modalitas kuat dalam karya jurnalistik profesional," ujar Ninik kepada wartawan dalam Jumpa Pers di Gedung Dewan Pers, Jakarta, Selasa (14/5/2024).


2. Soal penyelesaian sengketa jurnalistik

Selanjutnya, soal penyelesaian sengketa jurnalistik. Ninik mengatakan bahwa penyelesaian di dalam RUU Penyiaran dilakukan oleh lembaga yang tidak memiliki mandat untuk menyelesaikan masalah etik terhadap karya jurnalistik.


"Mandat etik penyelesaian karya jurnalistik ada di Dewan Pers dan hal ini sudah diatur dalam undang-undang," tegas Ninik.


3. Terjadi tumpang tindih regulasi

Ninik menyoroti soal potensi terjadinya tumpang tindih regulasi. Menurutnya, perlu ada harmonisasi saat menyusun peraturan perundang-undangan agar tidak terjadi tumpang tindih regulasi antara satu undang-undang dengan undang-undang lainnya.


"Pengaturan ini juga diatur di dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 32 Tahun 2024 yang baru saja disahkan oleh Presiden. Pemerintah saja mengakui begitu kira-kira, tetapi kenapa di dalam draf ini penyelesaian terhadap sengketa jurnalistik justru diserahkan kepada penyiaran? Ini betul-betul akan menyebabkan cara penyelesaian yang tidak sesuai dengan norma undang-undang yang ada," jelasnya.


Dewan Pers hormati DPR dan pemerintah

Ninik menuturkan bahwa Dewan Pers menghormati DPR maupun pemerintah yang memiliki kewenangan secara konstitusional untuk menyusun regulasi, terutama yang berkaitan dengan persoalan pemberitaan pers, baik melalui cetak maupun elektronik.


Meski demikian, Dewan Pers menolak draf RUU Penyiaran versi Oktober 2023 karena dianggap tidak mencerminkan pemenuhan hak konstitusional warga negara untuk mendapatkan informasi sebagaimana dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945.


"Argumentasi penolakan ini adalah dalam konteks politik hukum tidak dimasukkannya UU Nomor 40 Tahun 1999 dalam konsideran di dalam RUU. Ini mencerminkan tidak mengintegrasikan kepentingan lahirnya jurnalistik yang berkualitas sebagai salah satu produk penyiaran, termasuk distorsi yang akan dilakukan melalui saluran platform," ujarnya.


Ia menjelaskan, RUU Penyiaran ini menjadi salah satu sebab pers di Indonesia tidak merdeka, tidak independen, dan tidak akan melahirkan karya jurnalistik berkualitas. Menurut Dewan Pers, jika perubahan ini diteruskan dengan sebagian-sebagian aturannya, pers di Indonesia akan menjadi produk pers yang buruk, tidak profesional, dan tidak independen.


Selain itu, dari sisi proses, RUU ini menyalahi putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91 PUU 18 Tahun 2020 yang mengharuskan penyusunan sebuah regulasi dengan partisipasi bermakna. Artinya, harus ada keterlibatan masyarakat, hak masyarakat untuk didengarkan pendapatnya, dan hak masyarakat untuk dipertimbangkan pendapatnya.


"Nanti kalau masukan-masukan masyarakat itu tidak diintegrasikan, bahkan para penyusun kebijakan diminta untuk menjelaskan kenapa masukan-masukan itu tidak diintegrasikan. Dan dalam konteks RUU Penyiaran ini, Dewan Pers dan konstituen selaku penegak Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tidak dilibatkan dalam proses penyusunan RUU ini," pungkasnya.