Nasional

6 Lafal Niat Puasa Ramadhan dan Waktu Membacanya

Rabu, 22 Maret 2023 | 09:00 WIB

6 Lafal Niat Puasa Ramadhan dan Waktu Membacanya

6 Lafal Niat Puasa Ramadhan dan Waktu Membacanya. (Foto Ilustrasi: NU Online/Freepik)

Jakarta, NU Online

Niat puasa Ramadhan merupakan sebuah amalan yang sangat penting bagi umat Islam. Sebelum berpuasa, ada baiknya kita mengetahui bacaan niat puasa serta waktu yang tepat untuk membacanya.


Berikut 6 lafal niat puasa sehari-hari selama bulan Ramadhan, dilansir dari artikel ‘Ini Lafal Niat Puasa Ramadhan’:

Pertama:

نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَانَ هذِهِ السَّنَةِ لِلهِ تَعَالَى


Nawaitu shauma ghadin ‘an adā’i fardhi syahri Ramadhāna hādzihis sanati lillāhi ta‘ālā


Artinya, “Aku berniat puasa esok hari demi menunaikan kewajiban bulan Ramadhan tahun ini karena Allah ta’ala,”.


Kata ‘Ramadhana’ dianggap sebagai mudhaf ilaihi sehingga diakhiri dengan fathah yang menjadi tanda khafadh atau tanda jar-nya. Sedangkan kata “sanati” diakhiri dengan kasrah sebagai tanda khafadh atau tanda jarr dengan alasan lil mujawarah.


Redaksi ini merujuk pada Kitab Minhajut Thalibin dan Perukunan Melayu.

Kedua:

نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَانَ هذِهِ السَّنَةَ لِلهِ تَعَالَى


Nawaitu shauma ghadin ‘an adā’i fardhi syahri Ramadhāna hādzihis sanata lillāhi ta‘ālā


Artinya, “Aku berniat puasa esok hari demi menunaikan kewajiban bulan Ramadhan tahun ini karena Allah ta’ala,”


Kata “Ramadhana” dianggap sebagai mudhaf ilaihi sehingga diakhiri dengan fathah yang menjadi tanda khafadh atau tanda jar-nya. Sedangkan kata “sanata” diakhiri dengan fathah sebagai tanda nashab atas ke-zharaf-annya.


Lafal niat ini dinukil dari Kitab Asnal Mathalib.

Ketiga:

‎ نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَانِ هذِهِ السَّنَةِ لِلهِ تَعَالَى


Nawaitu shauma ghadin ‘an adā’i fardhi syahri Ramadhāni hādzihis sanati lillāhi ta‘ālā


Artinya, “Aku berniat puasa esok hari demi menunaikan kewajiban bulan Ramadhan tahun ini karena Allah ta’ala.”


Kata ‘Ramadhani’ dianggap sebagai mudhaf ilaihi yang juga menjadi mudhaf sehingga diakhiri dengan kasrah yang menjadi tanda khafadh atau tanda jar-nya. Sedangkan kata ‘sanati’ diakhiri dengan kasrah sebagai tanda khafadh atau tanda jar atas badal kata ‘hādzihi’ yang menjadi mudhaf ilaihi dari ‘Ramadhani’.  


Redaksi ini ikutip dari Kitab Hasyiyatul Jamal dan Kitab Irsyadul Anam.


Keempat:

نَوَيْتُ صَوْمَ رَمَضَانَ


Nawaitu shauma Ramadhāna


Artinya, “Aku berniat puasa bulan Ramadhan,”


Kelima:
 

نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ مِنْ/عَنْ رَمَضَانَ


Nawaitu shauma ghadin min/'an Ramadhāna


Artinya, “Aku berniat puasa esok hari pada bulan Ramadhan,”


Lafal niat puasa Ramadhan nomor 4 dan 5 dikutip dari Kitab I’anatut Thalibin.

Keenam:
 

نَوَيْتُ صَوْمَ الْغَدِ مِنْ هَذِهِ السَّنَةِ عَنْ فَرْضِ رَمَضَانَ


Nawaitu shaumal ghadi min hādzihis sanati ‘an fardhi Ramadhāna


Artinya, “Aku berniat puasa esok hari pada tahun ini perihal kewajiban Ramadhan,”.


Perbedaan redaksi pelafalan ini tidak mengubah substansi lafal niat puasa Ramadhan. Sama dengan lafal niat puasa Ramadhan nomor 2, lafal niat ini dinukil dari Kitab Asnal Mathalib.


Waktu untuk membaca niat puasa Ramadhan
 

Adapun waktu yang tepat untuk membaca niat puasa Ramadhan agar sah, yaitu dikerjakan di malam hari.


Keabsahan membaca niat puasa Ramadhan di malam hari ini merujuk pada Mazhab Syafi’i. Demikian diterangkan oleh Syekh Sulaiman Al-Bujairimi dalam Hasyiyatul Iqna’-nya sebagai berikut, dikutip dari artikel Hukum Puasa Ramadhan dengan Niat di Siang Hari.


‎ويشترط لفرض الصوم من رمضان أو غيره كقضاء أو نذر التبييت وهو إيقاع النية ليلا لقوله صلى الله عليه وسلم: من لم يبيت النية قبل الفجر فلا صيام له. ولا بد من التبييت لكل يوم لظاهر الخبر.


Artinya, “Disyaratkan memasang niat di malam hari bagi puasa wajib seperti puasa Ramadhan, puasa qadha, atau puasa nadzar. Syarat ini berdasar pada hadits Rasulullah SAW, ‘Siapa yang tidak memalamkan niat sebelum fajar, maka tiada puasa baginya.’ Karenanya, tidak ada jalan lain kecuali berniat puasa setiap hari berdasar pada redaksi zahir hadits,” demikian ditulis Syekh Sulaiman Al-Bujairimi dalam kitab Hasyiyatul Iqna’, Juz II.


Pewarta: Syifa Arrahmah
Editor: Muhammad Faizin