Nasional

AHY Jadi Menteri Agraria, Berikut Setumpuk Problem Agraria di Indonesia

Rabu, 21 Februari 2024 | 18:45 WIB

AHY Jadi Menteri Agraria, Berikut Setumpuk Problem Agraria di Indonesia

Presiden Joko Widodo mengangkat Hadi Tjahjanto sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) dan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR) atau Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN), Rabu (21/2/2024) di Istana Negara Jakarta. (Foto: tangkapan layar Youtube Sekretariat Presiden)

Jakarta, NU Online

Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, secara resmi menunjuk Agus Harimurti Yudhoyono sebagai Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), menggantikan Hadi Tjahjanto yang dipindahkan untuk menjabat Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam).


Sebagai Menteri ATR, AHY dihadapkan pada beberapa tugas yang menantinya, salah satunya adalah pelaksanaan Reforma Agraria yang bertumpu pada penyelesaian konflik agraria, koreksi ketimpangan penguasaan tanah, dan redistribusi tanah kepada petani.


Reforma Agraria adalah upaya untuk menyusun kembali struktur kepemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah agar lebih adil, dengan mengatur aset dan akses untuk kesejahteraan rakyat, sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2023 tentang Percepatan Pelaksanaan Reforma Agraria.


Reforma Agraria merupakan salah satu Program Prioritas Nasional yang ditingkatkan oleh Pemerintahan Jokowi dalam upaya membangun Indonesia dari pinggir serta meningkatkan kualitas hidup, sebagaimana terkandung dalam Nawa Cita Jokowi. Adapun bentuknya terdiri dari legalisasi aset, redistribusi tanah, dan perhutanan sosial, dengan target pelaksanaan seluas 9 juta hektare.


Konflik agraria merupakan salah satu persoalan yang masih menjadi pekerjaan besar (PR) besar pemerintah untuk dituntaskan. Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika mengatakan sepanjang tahun 2022 organisasinya mencatat ada 212 ‘letusan’ konflik agraria, mencakup 1.035.613 hektar lahan dan 346.402 KK terdampak. Jumlah itu meningkat dibandingkan tahun 2021 dimana luas lahan terdampak 500.062 hektar dan 198.895 KK menjadi korban.


"Meski tidak signifikan dari sisi jumlah, namun dari sisi luasan wilayah terdampak naik drastis hingga 100 persen. Begitu pula dari sisi jumlah korban yang terdampak mengalami kenaikan hampir 50 persen dibandingkan tahun 2021,” kata Dewi dalam peluncuran Catahu KPA Tahun 2022 di Jakarta beberapa waktu lalu.


Konflik paling banyak terjadi di sektor perkebunan 99 kasus, infrastruktur 32 kasus, properti 26 kasus, pertambangan 21 kasus, kehutanan 20 kasus, fasilitas militer 6 kasus, pertanian/agribisnis 4 kasus, dan pesisir dan pulau-pulau kecil 4 kasus. 


Dewi menyebut investasi dan praktik bisnis di sektor perkebunan kembali mendominasi sebagai penyebab konflik agraria, terutama pada perkebunan komoditi global kelapa sawit (palm oil). 


Dari total 212 ‘letusan’ konflik yang terjadi, 99 kasus disumbangkan oleh sektor perkebunan dengan luasan wilayah konflik mencapai 377.197 hektar dan mengakibatkan korban terdampak sebanyak 141.001 KK. Sebanyak 80 dari 99 kasus konflik agraria terjadi di sektor sawit. 


“Tingginya ‘letusan’ konflik agraria di sektor perkebunan dan bisnis sawit merupakan persoalan klasik yang tidak kunjung terpecahkan oleh pemerintah,” ujar Dewi.


Dewi melihat bisnis sawit dijalankan dengan prosedur dan praktik yang lekat dengan pelanggaran. Lahan-lahan raksasa perkebunan monokultur berbasis sawit banyak berasal dari praktik perampasan tanah dan penggusuran masyarakat. Termasuk masalah pengadaan lahannya yang berasal dari tukar-guling kawasan hutan.


Ada juga perusahaan yang baru mengantongi izin lokasi, tanpa sosialisasi dan persetujuan (free prior informed consent/FPIC) lalu beroperasi begitu saja. Masyarakat tak jarang juga dikagetkan dengan HGU yang tiba-tiba dinyatakan terbit di atas perkampungan dan wilayah masyarakat hukum adat. Kemudian masalah kemitraan yang tidak berkeadilan dirasakan petani/pekebun plasma.


Seperti kasus di Seruyan, Kalimantan Tengah. Warga meminta kewajiban perusahaan memberikan kebun plasma seluas 20 persen kepada masyarakat yang belum dipenuhi oleh pihak perusahaan. Sayangnya, aksi itu berakhir kisruh. Ratusan massa di Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah terjadi bentrokan dengan polisi saat unjuk rasa di areal kebun sawit PT Bangun Jaya Alam Permai (BJAP).


Kasus lain di Rempang, Pembangunan kawasan industri Pulau Rempang, Kota Batam menimbulkan konflik sengketa tanah antara masyarakat, pemerintah, dan PT. Makmur Elok Graha. Program pembangunan yang bertujuan untuk meningkatkan daya saing Indonesia terhadap Singapura tersebut justru berujung bentrok akibat ketidakpastian hukum atas tanah. 


Masyarakat menganggap, tanah tersebut merupakan warisan leluhur yang telah ada sebelum kemerdekaan. Sedangkan di sisi lain, adanya Hak Guna Usaha (HGU) yang diberikan pada sebuah perusahaan, membuat tanah tersebut dianggap tidak lagi milik masyarakat. 


Selain perkebunan, konflik juga terjadi di sektor infrastruktur, pertambangan, kehutanan, dan lainnya. Misalnya, pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur, yang dapat mengakibatkan konflik agraria karena membutuhkan lahan yang luas, potensial memengaruhi masyarakat lokal dan masyarakat adat.


Megaproyek ini membutuhkan kebutuhan lahan mencapai 256.142 hektare di Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar), Kaltim. Sedangkan kawasan inti di Kecamatan Sepaku seluas 6.671 hektar. Biaya pembangunan IKN ditaksir Rp 466 triliun.


Keputusan Munas dan Konbes NU soal agraria

Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama (Munas dan Konbes NU) 2023 yang digelar di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta pada 18-19 September 2023 melahirkan sejumlah rekomendasi. Salah satunya pengelolaan sumberdaya alam (SDA) yang masih mengabaikan aspirasi publik.


"Bahwa ada masalah serius dalam pengelolaan SDA kita. Pengelolaan SDA kita dikelola dilakukan dilaksanakan dengan cara yang mengabaikan aspirasi-aspirasi publik dan masyarakat," kata Ketua Komisi Rekomendasi Ulil Abshar Abdalla, dalam sidang pleno terakhir bertugas membacakan butir-butir rekomendasi.


Sebab itu, NU mendorong pemerintah untuk mencapai konsensus nasional yang melibatkan semua pihak. Pengelolaan SDA tak boleh didikte oleh satu kelompok saja.


"Semua pihak mesti didengar aspirasinya dalam pengelolaan SDA. Tidak boleh pengelolaan SDA hanya berpihak kepada kepentingan sepihak saja, misalnya korporasi atau kartel tertentu," ujar Gus Ulil.


Sebagaimana pelajaran yang terjadi dalam pelbagai pengalaman bangsa-bangsa lain yang memiliki sumber daya alam yang kaya namun mengalami ketertinggalan, korupsi, kerusakan lingkungan dan hancurnya keragaman hayati. "Indonesia tentu saja tidak boleh jatuh ke dalam kutukan semacam ini," kata Ketua PBNU itu.


Ketua PBNU Mohammad Syafi' Alielha atau Savic Ali menambahkan keputusan Munas-Konbes NU 2023 memberikan pertimbangan kepada pemerintah ketika punya program atau agenda pembangunan harus dipersiapkan secara matang dan menggunakan pendekatan yang persuasif kepada warga.


"Saya kira dengan keputusan kemarin di Munas-Konbes NU dan sejumlah pernyataan Ketum PBNU Gus Yahya memberikan pertimbangan kepada pemerintah jangan sampai rakyat justru menjadi korban. Kita merdeka tujuannya untuk memakmurkan rakyat bukan semata tujuannya membuat proyek terkesan mewah," tutur Savic.


Secara prinsipal, kata Savic, Nahdlatul Ulama akan selalu bersama warga yang lemah karena pendekatan kemanusiaan ini penting dan jadi spirit NU. Ini sesuai dengan kaidah fiqih, dar'ul mafasid muqaddamun 'ala jalbil mashalih (Menghindari kerusakan didahulukan daripada melakukan kebaikan).


"NU punya figur seperti Gus Dur yang selalu mencontohkan keberpihakan kepada mereka yang lebih lemah dan itu akan menjadi pijakan NU,” tandasnya.