Nasional

Akademisi UGM: Kebisingan di Ruang Publik Harus Diatur Negara

Kamis, 3 Maret 2022 | 15:00 WIB

Akademisi UGM: Kebisingan di Ruang Publik Harus Diatur Negara

Akademisi UGM mengungkapkan bahwa kebisingan di ruang publik harus diatur negara.

Jakarta, NU Online

Akademisi dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Abdul Gaffar Karim menegaskan bahwa semua urusan publik harus diatur oleh negara. Hal itu berlaku dalam kesepakatan di negara modern. 


“Pada prinsipnya, semua urusan publik, termasuk soal noise (kebisingan) di ruang publik, dalam kesepakatan negara modern itu memang harus diatur oleh negara. Jadi, bukan perkara azannya saja,” kata Gaffar ketika membahas Surat Edaran (SE) Menteri Agama Nomor 5 Tahun 2022 Tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Mushala, dalam diskusi yang digelar Jaringan Gusdurian di platform Space Twitter, pada Rabu (2/3/2022) malam. 


Ia menjelaskan, ketika seluruh aktivitas individu atau lembaga memiliki efek kepada publik maka harus benar-benar diatur oleh negara. Di beberapa negara, seperti Australia, Inggris, dan Amerika saat ini telah memiliki aturan soal kontrol kebisingan. 

 


Aturan-aturan yang dibuat itu, sambung Gaffar, bertujuan untuk memberikan petunjuk agar ada batasan dari kebisingan-kebisingan tertentu yang mendapatkan izin untuk diperdengarkan di ruang publik.


Dosen di Jurusan Ilmu Pemerintahan UGM Yogyakarta ini menjelaskan, peraturan merupakan kesepakatan yang bisa mengikat semua pihak. Dengan demikian, soal pengaturan kebisingan suara pun dinilai penting untuk diatur oleh pemegang otoritas dan disepakati.
 

Gaffar pun menanggapi pernyataan sebagian kelompok yang meminta agar peraturan soal pengeras suara di masjid dan mushala tidak diatur negara atau diserahkan kepada kelompok masyarakat di daerah. 


“Itu silakan saja. Kalau mau pengaturannya diserahkan kepada kesepakatan lokal maka idealnya kesepakatan itu harus rutin ditinjau. Karena kesepakatan itu dibuat tidak dengan statement yang konkret. Jadi harus sering ditinjau ulang. Jangan sampai ada sedikit warga yang sebenarnya keberatan, tapi dianggap sepakat karena tidak komplain,” jelas Gaffar.

 


Menurutnya, jika aturan mengenai pengeras suara di masjid dan mushala itu mau diserahkan pada kesepakatan lokal maka harus ada mekanisme untuk dilakukan peninjauan, secara terus-menerus.


“(Kalau ada) komplain masyarakat harus diperlakukan secara terhormat, bukan dengan cara melecehkan. Jadi itu kenapa idealnya tidak diserahkan kepada kesepakatan lokal yang sumir (ringkas), tetapi memang harus ada aturan yang tegas dan punya konsekuensi dari otoritas,” tegasnya. 


Diskusi yang digelar Jaringan Gusdurian ini di Space Twitter ini merupakan kali kedua dari sesi membaca tulisan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Kali ini tulisan Gus Dur yang dibaca berjudul ‘Islam Kaset dan Kebisingannya’ (https://gusdur.net/islam-kaset-dan-kebisingannya/). Tulisan itu dimuat di Majalah Tempo, pada Februari 1982. 


“Persoalan mengenai ramainya suara toa atau bunyi-bunyian dari tempat ibadah itu sudah pernah disinggung Gus Dur. Pada tahun itu sudah mulai banyak masjid-masjid yang menggunakan kaset untuk memutar qiraah (bacaan Al-Qur’an) dan shalawatan,” kata Pemandu Diskusi dari Jaringan Gusdurian, Heru Prasetia. 


Di dalam tulisan itu, Gus Dur melakukan kritik terhadap penggunaan pengeras suara masjid yang berlebihan di waktu sebelum subuh. Lebih-lebih, Gus Dur mengkritik penggunaan pengeras suara yang bersumber dari kaset, sedangkan takmir masjidnya malah tidur. 


“Apalagi, kalau teknologi seruan bersuara lantang di alam buta itu hanya menggunakan kaset! Sedang pengurus masjidnya sendiri tenteram tidur di rumah,” demikian kalimat terakhir Gus Dur dalam tulisan ‘Islam Kaset dan Kebisingannya’. 


Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Syakir NF