Nasional

Belajar dari KH Maimoen Zubair dalam Mendidik Santri 

Senin, 9 September 2019 | 04:00 WIB

Belajar dari KH Maimoen Zubair dalam Mendidik Santri 

KH M Irfan Sholeh saat dihubungi NU Online di kediamannya. (Foto: NU Online/istimewa)

Jombang, NU Online
Wafatnya Pengasuh Pengasuh Pondok Pesantren Al-Anwar Sarang, Rembang Jawa Tengah, KH Maimoen Zubair meninggalkan kesedihan mendalam bagi santri dan pengikutnya. Di antara begitu banyak yang merasa terpukul adalah KH M Irfan Sholeh atau Gus Irfan.
 
Kiai Maimoen atau akrab disapa Mbah Maimoen wafat Selasa (6/8) saat melakukan ibadah haji. Dan langsung dimakamkan di pekuburan Ma'la Makkah, Arab Saudi. 
 
Menurut penuturan Gus Irfan, dirinya mondok di Pondok Pesantren Al-Anwar Sarang, Rembang sejak 1983. Di sana, belajar langsung dari sang murabbi KH Maimoen Zubair. 
 
Pengasuh Pondok Pesantren Al-Hamidiyyah Bahrul Ulum Tambakberas, Jombang, Jawa Timur ini dikirim oleh sang ayah KH Sholeh Hamid ke Sarang usai lulus dari Madrasah Muallimin Muallimat 6 Tahun Bahrul Ulum. Gus Irfan termasuk salah satu kesayangan karena saat itu bertempat tinggal di ndalem kesepuhan Mbah Maimoen.
 
Gus Irfan mondok di Sarang hampir enam tahun sejak 1983 hingga 1989. Ia mengabdi selama 24 jam, melayani Mbah Moen setiap hari dan bahkan mempersiapkan kebutuhan untuk ngaji dan kebutuhan keseharian lain.
 
Saat itu, Gus Irfan melayani Mbah Moen mulai dari mengangkat pasir untuk bangunan pondok hingga mengantarkan dari lokasi pengajian satu ke pengajian lainnya.
 
"Saya termasuk santri tua. Karena saya mondok di sana sekitar usia 28 tahun. Namun memang Pondok Sarang dari dulu dikenal dengan santri yang mondok tua-tua,'' jelasnya, Ahad (8/9)
 
Gus Irfan menambahkan, Mbah Moen adalah sosok panutan alim ulama. Ilmu agama yang dimiliki oleh Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) itu sudah di atas rata-rata kiai sepuh pada umumnya. 
 
Setiap hari, saat itu Gus Irfan ngaji kepada Mbah Moen mulai setelah shalat Ashar dengan mengkaji kitab klasik bernama Alfiyah ibnu Malik. Kitab ini memuat gramatika bahasa Arab yang dikarang oleh Imam Malik asal Spanyol.
 
Selain itu, Mbah Moen juga membuka pengajian tasawuf dengan pegangan utama kitab karya Imam Ghozali yaitu Ihya' Ulumuddin setelah shalat Isya. Kitab Ihya terdiri dari empat juz dan dikaji secara bersama-sama dengan satu orang kiai. Di pesantren-pesantren nusantara kegiatan umumnya dilakukan setelah jamaah shalat lima waktu.
 
Gus Irfan sendiri merupakan putra ketiga Kiai Sholeh dan Nyai Fatimah yang lahir di Jombang 6 Juni 1960. Besar di lingkungan  pondok, Gus Irfan sudah belajar ilmu agama dari sang ayah sejak kecil. Gus Irfan merupakan keponakan dari KH Abdul Wahab Hasbullah, pendiri sekaligus penggerak Nahdlatul Ulama.
 
Saat di Sarang, Gus Irfan mengaku sempat mengkhatamkan kitab besar lainnya seperti kitab yang membahas hadits yaitu Shahih Bukhari karya Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih Muslim karangan Abul Husain bin al-Hajjaj an-Naisaburi dan kitab fikih karya Syaikh Syamsuddin Muhammad bin Muhammad al-Khatib as-Syarbiniy bernama al-Iqna'.
 
Cara Mendidik Santri
Namun hal yang paling berkesan bagi Gus Irfan dari Mbah Moen adalah cara mendidik santrinya yang penuh cinta dan kasih sayang. Sehingga banyak santri yang merasa Mbah Moen sudah sebagai ayah sendiri. Saat Mbah Moen wafat banyak santrinya yang terpukul berat hingga menginap berhari-hari di Sarang tanpa kejelasan.
 
"Kemarin banyak yang linglung saat Mbah Moen wafat. Saya minta mereka pulang, karena sudah berhari-hari tinggal di Sarang dalam kondisi tidak jelas," ceritanya.
Lanjutnya, Moen berpesan khusus ke Gus Irfan untuk tidak mudah memarahi murid, tidak dendam, dan tidak menolak murid yang datang untuk mencari ilmu. Murid harus dirawat dengan penuh ketulusan dan kesabaran seraya berharap mereka mendapat inayah dari Allah.
 
Seorang guru, pesan Mbah Moen juga harus bangun di tengah malam untuk shalat tahajud dan mendoakan para muridnya. Dan bangun malam ini membuat santri Mbah Moen memiliki ilmu yang bermanfaat di masyarakat.
 
Bahkan saking dekatnya dengan Mbah Moen, Gus Irfan sudah dianggap anaknya sendiri."Mbah Moen segala-galanya bagi saya, Mbah menganggap saya anaknya. Dan dari dulu memang dekat dengan santri,'' beber mantan politikus PPP ini.
 
Hebatnya, hubungan santri dan guru yang dikembangkan oleh Mbah Moen adalah hubungan abadi selama hayat. Hal ini diakui Gus Irfan saat setelah boyong dari Sarang namun Mbah Moen masih sering mengunjunginya. Kadangan berkunjung ke rumah Gus Irfan karena alasan kangen semata.
 
"Saat mau menikah, saya ajukan beberapa nama dan Mbah memilih istri saya saat ini. Begitu juga saat mau bangun rumah, Mbah datang ke sini dan meminta pintu rumah saya menghadap ke selatan. Selain itu, setiap ke Jombang bisa dikatakan Mbah selalu mampir ke sini. Katanya kurang lengkap kalau tidak mampir," bebernya.
 
Ayah empat orang anak ini menceritakan, saat ia memilih terjun ke dunia politik tak lebih juga sebagai bentuk pengabdian dirinya kepada masyarakat dan Mbah Moen. Santri Sarang rata-rata memang memanggil Kiai Maimoen dengan panggilan Mbah.
 
Bahkan, ia pernah menjabat sebagai anggota DPRD Jawa Timur pada 2012 silam menggantikan Hj Mundjidah Wahab yang terpilih sebagai Wakil Bupati Jombang periode 2013-2018. Selama aktif di PPP, ia pernah menjabat sebagai pengurus DPW PPP Jawa Timur. 
 
"Saya dua kali disuruh nyaleg dan belum berhasil. Akhirnya saya sowan ke Mbah dan Mbah berkata tidak apa-apa, Mbah meminta untuk membantu saja. Saya masuk PPP karena di baiat sama Mbah Mun. Apapun perintah beliau kami laksanakan,'' paparnya.
 
Layaknya orang tua, meskipun sudah pergi untuk selamanya, Mbah Moen masih terasa hidup bagi Gus Irfan. Hubungan Gus Irfan dengan putra-putri Mbah Maimoen masih terus bersambung.
 
"Tiga hari setelah Mbah Maimoen wafat, saya mimpi didatangi Mbah dan saat itu saya diminta mengisi pengajian karena pematerinya tidak datang," tandas suami dari Nyai Fatihah ini.
 
 
Pewarta: Syarif Abdurrahman 
Editor: Ibnu Nawawi