Nasional

Bertemu Rais Aam PBNU, Habib Umar bin Hafidz Apresiasi Kiprah NU

Kamis, 24 Agustus 2023 | 16:45 WIB

Bertemu Rais Aam PBNU, Habib Umar bin Hafidz Apresiasi Kiprah NU

Habib Umar bin Hafidz, Rais Aam PBNU KH Miftachul Akhyar, bersama para ulama. (Foto: istimewa)

Surabaya, NU Online

Habib Umar bin Hafidz beserta rombongan bertemu dengan Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Miftachul Akhyar beserta sejumlah jajaran pengurus syuriyah dan tanfidziyah PBNU. Pertemuan tersebut berlangsung di kediaman KH Miftachul Akhyar, di Pondok Pesantren Miftachus Sunnah, Kedung Tarukan, Surabaya, Jawa Timur pada Rabu (23/8/2033) siang.


Dalam kesempatan tersebut, Habib Umar bin Hafidz mengungkapkan rasa syukurnya atas majelis tersebut. Ia menyampaikan terima kasih kepada KH Miftachul Akhyar selaku tuan rumah dan para ulama dari NU atas sambutannya yang baik. 


Pengasuh Ma’had Darul Musthafa, Tarim, Yaman itu mengungkapkan, bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah adalah ajaran Islam yang benar yang telah terwariskan selama berabad-abad lamanya dari generasi ke generasi. Manhaj tersebut juga yang menjadi pegangan al-sawâd al-a’zham bagi umat Muslim selama berkurun-kurun lamanya. 


Habib Umar juga menegaskan jika dakwah Wali Songo, juga dakwah KH Hasyim Asy’ari dan NU, serta dakwah para Alawiyyin (habaib) di Nusantara yang telah berlangsung selama sekian lamanya adalah representasi dari manhaj Ahlussunnah wal Jamaah yang harus dipegang teguh. Karenanya, ia berwasiat kepada umat Muslim di Indonesia untuk selalu berpegang teguh pada tiga poros dakwah tersebut. 


Selain itu, ulama yang genap berusia 60 tahun itu memuji kiprah internasional yang dilakukan NU untuk perdamaian dunia. Hal ini merupakan amanat ajaran dan risalah dakwah Islam yang memang secara prinsip hendak menebarkan perdamaian, membangun kemanusiaan, mengukuhkan persaudaraan, dan menjadi rahmat bagi semesta alam. Namun demikian, Habib Umar juga memberikan catatan agar kita harus pandai-pandai dalam memilih partner dalam bekerja sama. Jangan sampai kemudian pekerjaan besar kita dilakukan dengan bekerjasama dengan pihak yang tidak tepat.


Pertemuan tersebut dibuka dengan sambutan yang dibawakan oleh KH Zulfa Musthofa, Wakil Ketua Umum PBNU. Dalam sambutannya, Kiai Zulfa atas nama PBNU mengungkapkan rasa syukur dan kegembiraan atas kedatangan Habib Umar bin Hafidz. Pertemuan antara Habib Umar dan KH Miftachul Akhyar serta jajaran pengurus harian PBNU merupakan keberkahan yang luar biasa, serta membawa kemaslahatan dan kebahagiaan bagi warga Nahdliyyin khususnya, dan bagi umat Muslim Indonesia serta Dunia Islam pada umumnya. 


Kiai Zulfa menjelaskan tentang perjalanan sejarah, kiprah dan peran Nahdlatul Ulama, baik dalam kancah nasional ataupun internasional, juga dalam ranah keagamaan, sosial, atau pun kebangsaan. 


Dijelaskan olehnya, bahwa NU adalah organisasi sosial keagamaan terbesar di Indonesia, bahkan organisasi keislaman yang berhaluan Ahlussunnah wal Jama’ah terbesar di dunia, dengan jumlah warga yang terafiliasi lebih dari 100 juta orang. NU merupakan organisasi keislaman yang berlandaskan pada manhaj Ahlussunnah wal Jama’ah, yang dalam aqidah mengikuti manhaj imam al-Asy’ari dan al-Maturidi; dalam syariah mengikuti manhaj para imam mujtahid empat, khususnya Imam Syafi’i’; dan dalam akhlaq mengikuti manhaj para ulama sufi yang muktabar, seperti Imam Junaid, Imam Ghazali dan lain-lain. 


NU juga berpegang teguh pada prinsip tawassuth, i’tidal, tawazun, tasamuh dalam menjalankan nilai-nilai keagamaan Islam. 


Lebih lanjut, Kiai Zulfa juga menjelaskan, bahwa NU didirikan satu abad silam, tepatnya pada 16 Rajab 1344 Hijriah di Kota Surabaya, kota yang menjadi tempat pertemuan antara Habib Umar bin Hafidz dengan para pengurus harian PBNU. NU didirikan untuk meneruskan risalah dakwah Islam Ahlussunnah wal Jama’ah yang telah berlangsung sejak masa kenabian, sahabat, tabi’in, para salafus sholih, hingga abad ke-20 M. Risalah dakwah tersebut telah berlangsung dari generasi ke generasi tanpa putus, yang kemudian terestafetkan tonggak risalahnya oleh NU. 


Selanjutnya, kiprah internasional NU telah dimulai sejak tahun-tahun awal mula berdirinya. Hal ini termanifestasikan dalam gerakan Komite Hijaz di tahun 1926-1928. Komite Hijaz adalah inisiatif besar yang dilakukan oleh NU untuk merespons berubahnya tatanan global dunia Islam pada saat itu, pasca runtunya kekhalifahan Turki Ottoman di tahun 1924, disusul dengan jatuhnya kota suci Makkah ke pihak penguasa Nejd (al-Saud) yang memiliki ideologi "tersendiri". 


Melalui Komite Hijaz, NU menginisiasi gerakan internasional agar tradisi intelektual dan spiritual Islam yang telah berkembang selama berabad-abad lamanya di kota suci Makkah tetap dipertahankan, juga agar monumen dan situs-situs bersejarah tetap dilestarikan. Dengan Komite Hijaz, NU hendak mengkampanyekan agar ideologi tradisional Ahlussunnah wal Jama'ah terus berjalan dan berkembang. 


Peran NU juga, katanya, tampak sangat signifikan dalam sejarah perjalanan negara-bangsa Indonesia, baik pada masa pra-kemerdekaan, masa kemerdekaan, masa mempertahankan kemerdekaan hingga masa sekarang ini. NU senantiasa menunjukkan komitmen dan kontribusinya bagi terus tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).


Pada masa kemerdekaan, Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari, Pendiri sekaligus Rais Akbar NU pada masa itu, mengeluarkan fatwa Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945 yang berisi seruan kewajiban umat Muslim untuk turut serta turun ke medan perang guna mempertahankan kedaulatan dan kemerdekaan Indonesia, agar tidak lagi jatuh ke pihak penjajah. Fatwa tersebut yang kemudian meledakkan perang semesta 10 November 1945 di Surabaya, yang menjadi benteng pertahanan eksistensi NKRI sehingga tetap tegak dan merdeka sampai hari ini. 


Di masa sekarang, kiprah NU di dunia internasional terus menguat. Beberapa bulan silam, NU menginisiasi pertemuan para pemuka agama dunia dalam forum R20, yang merupakan bagian dari rangkaian G20 Summit, di mana Indonesia memegang presidensi atasnya. Pun, pada awal Agustus 2023 lalu, NU kembali menginisiasi pertemuan para pemuka agama negara-negara ASEAN. Tujuan dari inisiatif tersebut, adalah NU hendak mendorong terciptanya perdamaian dunia dan masa depan peradaban umat manusia yang lebih damai, penuh dialog, persaudaraan, dan kerjasama. 


Hadir dalam majelis tersebut, di antaranya Habib Salim bin Umar bin Hafidz, Habib Jindan bin Nauval bin Salim bin Jindan, Habib Sholeh bin Muhammad al-Jufri, Habib Hasan Ismail al-Muhdlor, dan beberapa ulama dari berbagai negara. 


Sementara itu, dari pihak pengurus syuriah dan tanfidziah PBNU, di antara yang hadir adalah KH Miftachul Akhyar (Rais Aam PBNU), KH Afifuddin Muhajir (Wakil Rais Aam PBNU), KH Mudatsir (Rais Syuriah), Habib Ahmad bin Edrus Al-Habsyi (A’wan), KH Zulfa Musthofa (Wakil Ketua Umum), H Saifullah Yusuf (Sekjen), Gus Gudhfan Arif (Bendahara Umum), H Umarsyah (Ketua), KH Fakhrurrozi (Ketua), dan Ahmad Ginanjar Sya'ban (Wakil Sekjen). 


Turut hadir beberapa ulama Jawa Timur seperti KH. Abdurrahman Abdulloh Faqih (pengasuh PP. Langitan), KH Mas Achmad Sa'dulloh (pengasuh Sidogiri), Pengurus Majelis al-Muwasholah Pusat dan Korda Jawa Timur, serta pengurus PCNU Kota Surabaya.