Nasional

Buka Syawirnas 2 AIS Nusantara, Cak Mad Ungkap 3 Kriteria Kepemimpinan 

Ahad, 3 Maret 2024 | 17:00 WIB

Buka Syawirnas 2 AIS Nusantara, Cak Mad Ungkap 3 Kriteria Kepemimpinan 

Pembukaan Syawirnas 2 Arus Informasi Santri (AISNU) di Pondok Pesantren Al-Anwar Jawar, Wonosobo pada Sabtu (2/3/2024)

Wonosobo, NU Online 
Gus Ahmad Kafabihi Mahrus (akrab disapa Cak Mad) menghadiri pembukaan Syawirnas 2 Arus Informasi Santri (AISNU) di Pondok Pesantren Al-Anwar Jawar, Wonosobo pada Sabtu (2/3/2024). Ia membuka secara resmi forum tertinggi AISNU setelah menyampaikan beberapa pesan kepada hadirin, diawali dengan berbagi pengalamannya membersamai proses yang dilalui oleh AISNU beberapa tahun belakang. 


“Jadi, saya dengan teman-teman AISNU itu bukan yang perdana. Bahkan awal-awal pembentukan, satu dua tahun setelahnya saya ikut nimbrung (perkembangan AIS) seperti saya turut hadir event AISNU di Jakarta (termasuk Kopdarnas 6 di Kajen Pati). Jadi, saya mengikuti perkembangan mereka,” buka Cak Mad.


Menurutnya, AISNU merupakan komunitas yang penting dan memang harus hadir di tengah dinamika pandangan masyarakat tentang pesantren. Apalagi, tempo hari viral berita kekerasan yang terjadi di lingkungan pesantren.


“AISNU ini hajat besar yang harus diagendakan secara baik dan hadir sebagai komunitas santri yang ramah di tengah dinamika pesantren. Digitalisasi dan syiar Islam sekaligus mempertahankan citra pesantren yang menebar rahmah penting untuk digalakkan secara masif,” tegas Cak Mad.


Tiga Kriteria Pemimpin
Cak Mad juga turut memberikan pesan khusus untuk forum Syawirnas yang di dalamnya terdapat agenda pemilihan Koordinator Nasional (Kornas) yang akan menakhodai organisasi selama satu periode. 


Menurutnya, setidaknya ada tiga kriteria yang cukup ideal untuk memimpin organisasi, termasuk bagi AISNU.


“Para guru kita (seperti di Lirboyo) biasanya memberikan pesan kalau memilih pemimpin, setidaknya ada tiga kriteria,” ungkap Cak Mad munculkan kepo seluruh peserta.


Bagi Cak mad, seorang pemimpin setidaknya menjiwai tiga karakter. Pertama, memikul rasa sakit (kuat menerima tanggung jawab). Salah satu risiko menjadi pemimpin adalah banyak dicecar, dicaci, atau tidak disukai banyak orang. 


Oleh karenanya, modal awal pemimpin adalah memiliki jiwa yang besar dan hati yang lapang. Pemimpin yang mampu mengelola kondisi mental dan spiritualnya.


Kedua, menjadi pemimpin yang melayani kaumnya. Tanggung jawab pemimpin selain secara tertulis dalam program kerja, lebih dari itu, bagi Cak Mad adalah bagaimana ia mampu berkhidmah tanpa pamrih. Anggota yang di bawah kepemimpinannya justru menjadi tuan yang dilayani oleh pemimpin.


“Kriteria kedua itu sayyidul qaum fahuwa khādimuhum (pemimpin kaum -anggota- yang ia menjadi pelayan anggotanya. Maksudnya, ia mampu memberikan daya upayanya secara tulus. Kalau di AIS maka ya khidmah untuk AIS, untuk pesantren, untuk Indonesia,” Papar Cak Mad.


Ketiga, tafaqquh qabla an tufawwidha (memahami sebelum menjalankan roda kepemimpinan). Menurut Cak Mad, seorang pemimpin terlebih dulu belajar dan memahami secara baik ekosistem organisasi, termasuk berbagai teori kepemimpinan, membangun jaringan dan pengembangan organisasi sebelum menjalankan amanahnya. 


“Ketiga, di antara kriteria pemimpin yang ideal adalah ia belajar lebih dulu, memahami lebih dulu segala hal yang berkaitan dengan organisasi sebelum memimpin, menjalankan Amanah,” pesan Cak Mad.


Oleh karenya, AISNU yang basisnya lahir dari Rahim pesantren, sebenarnya memiliki peluang yang besar. Potensi yang dimiliki AISNU berpeluang terhadap tren media digital yang sudah saatnya berorientasi pada nilai-nilai rahmatan lil ‘alamin.


Ning Sheila: Santri layaknya paku
Menyambung sambutan dari Cak Mad, Ning Sheila Hasina yang juga hadir menyampaikan satu pesan yang menjadi bahan refleksi sekaligus motivasi bagi anggota AISNU. 


Menurut Ning Sheila, santri itu seperti paku, yang ada di setiap bangunan, merekatkan dan menyatukan, meskipun tidak terlihat.


“Satu pesan yang ingin saya sampaikan, jadilah santri seperti paku. Paku itu pasti ada di setiap bangunan. Paku itu kan fungsinya menyatukan, merekatkan, menghubungkan. Meskipun ditancapkan dan tidak kelihatan,” papar Ning Sheila.


Bagi Ning Sheila, filosofi paku yang lekat dalam pribadi santri tidak boleh luntur. Santri memiliki karakter yang mampu menyatukan umat, merekatkan ukhuwah, dan menyambung silaturahmi. Maksud tidak terlihat adalah khidmahnya yang tanpa pamrih, tidak memiliki tendensi dan kepentingan selain untuk untuk ridha Allah dan para masyayikh. 


Pada konteks tanggung jawab AISNU, media digital justru harus diperlihatkan, diseminasi universal Islam dan pesantren yang genuine.


Lebih lanjut, paku itu diketok, dibenturkan dengan palu yang bermakna, santri itu siap terhadap tantangan zaman dan beradaptasi secara baik dengan karakter al-muhāfadzatu ‘alal qadīmis shālih wal akhzu bil jadīdil ashlāh (merawat nilai tradisi yang baik bersamaan dengan melakukan inovasi dan kreasi dengan nilai-nilai yang lebih baik).