Nasional

Cadar dan Celana Cingkrang Bukan Soal Radikalisme, ASN Harus Patuh Aturan Berpakaian

Sabtu, 2 November 2019 | 14:30 WIB

Jakarta, NU Online
Gaya berpakaian dan berpenampilan menjadi hak masing-masing individu. Akan tetapi, hal tersebut juga dibatasi dengan aturan dan norma yang berlaku di lingkungan sekitarnya. Tak terkecuali perihal cadar bagi para Aparatur Sipil Negara (ASN).
 
"Kalau dari kaitannya dengan ASN, seharusnya, setiap ASN merujuk pada aturan penggunaan pakaian, yaitu harus tunduk," kata Alamsyah M Dja’far, peneliti Wahid Foundation, kepada NU Online pada Sabtu (2/11).
 
Idealnya, kata dia, memang ASN harus merujuk pada aturan pakaian. Jika ada individu tidak sepakat dengan aturan tersebut, dia bisa mengajukan keberatan dengan alasan yang dapat dibenarkan.
 
Alamsyah melihat bahwa ramainya perbincangan mengenai penggunaan cadar ini karena dikaitkan dengan radikalisme. Padahal, seseorang bercadar tidak selalu berhubungan dengan radikalisme. Laku radikal bukan dilihat dari cara seseorang berpakaian, tetapi melalui perubahan laku seseorang kepada tindakan atau setidaknya mendukung terhadap kekerasan.
 
"Jadi, yang mau dilihat itu apakah terjadi perubahan dramatis seseorang sebelum dan sesudah dia terlibat dalam jaringan terpapar ideologi radikal," katanya.
 
Misalnya, ia mencontohkan, mulanya orang tersebut biasa-biasa saja kemudian secara dramatis penampilannya berubah lalu sering menganggap yang lain salah. Kemudian, ia sampai pada cenderung meligitimasi kekerasan. "Itu salah satu indikator mengalami radikalisasi," ujarnya.
 
Karenanya, menurut Alam, jika pembatasan penggunaan cadar karena demi membatasi ruang radikalisme itu kurang bisa dipertanggungjawabkan. "Kalau saya melihat dari sisi prinsip limitasi dalam UUD pasal 28 J bahwa pembatasan pada niqab itu kurang bisa dipertanggungjawabkan," katanya.
 
Hal itu mengingat pasal tersebut menyebutkan bahwa kebebasan dalam menjalankan haknya dapat dibatasi demi menjaga hak dasar orang lain, kemananan negara, moral, agama, dan seterusnya. Pertanyaan yang muncul kemudian, katanya, adalah apa betul hanya karena menggunakan cadar, keamanan negara dapat terancam?
 
Menurutnya, jika keamanan negara yang menjadi ancaman yang harus dilakukan adalah dengan pengetatan pemeriksaan pada akses masyarakat di ruang-ruang publik.
 
"Kalau kita merujuk pada pasal limitasi demi keamanan atau alasan hak dasar orang lain, kalau alasan radikalisme itu dalam pengertian yang dapat dibenarkan kekerasannya. Nah, jadi itu yang harus dibatasi," ujar pria yang pernah menjadi Ketua Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Ciputat itu.
 
Namun, akan berbeda jika konteksnya peran warga negara. Alam menyampaikan bahwa warga negara bisa saja mengkritik penggunaan cadar itu. Misalnya, orang lain tidak dapat membedakannya dengan orang lain karena tidak bisa melihat wajahnya. Meskipun hak orang tersebut menggunakana cadar, tetapi hak orang lain juga untuk mengkritik. Tentunya dengan santun dan wajar.
 
"Itu bagian dari proses yang baik. Katakanlah usaha untuk saling memengaruhi dalam rangka perbaikan. Cadar adalah hak bagi orang, bukan berarti membatasi hak orang lain untuk mengkritik. Dan orang boleh mengkritik tersebut," katanya.
 
Hal yang tidak boleh, jelasnya, adalah menjustifikasi orang yang menggunakan cadar adalah teroris. "Kalau mengkritik itu justru bagian penting," pungkasnya.
 
 
Pewarta: Syakir NF
Editor: Kendi Setiawan