Nasional RISET DIKTIS

Cara-cara Kiai Desa di Tegal Menjaga Pancasila

Selasa, 8 Oktober 2019 | 11:00 WIB

Cara-cara Kiai Desa di Tegal Menjaga Pancasila

Pimpinan Pondok Pesantren Ribat Nurul Hidayah Habib Sholeh Al-Athos, salah satu kiai desa di Tegal (Foto: cropp video ceramah Habib Sholeh Al-Athos)

Pancasila adalah dasar ideologi negara Indonesia yang telah disepakati oleh para pendiri bangsa dan seluruh masyarakat Indonesia. Pancasila terbukti mampu mempertahankan Indonesia dari ideologi lain yang ingin menggerus dan menghancurkan negara Indonesia. Terbukti Pancasila mampu menjaga Indonesia yang majemuk dari ancaman pembentukan negara Islam atau khilafah seperti yang dilakukan oleh DI/NII di masa lalu dan HTI di zaman reformasi. Pancasila juga mampu mempertahankan Indonesia untuk diubah menjadi negara sosialis seperti yang digaungkan oleh PKI.
 
Tanggal 1 Oktober ditetapkan sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Karena, Pancasila tebukti mampu menjaga eksistensi Indonesia dari ancaman ideologi asing yang hendak merongrong.
 
Mempertahankan ideologi Pancasila menjadi tugas bersama. Pemerintah mempertahankan Pancasila dengan membentuk BPIP (Badan Pembinaan Idologi Pancasila) dan mewajibkan pelajaran pancasila untuk setiap jenjeng pendidikan serta membubarkan organisasi-organisasi yang bertentengan dengan pancasila seperti HTI.

Upaya mempertahankan pancasila juga dilakukan oleh para kiai desa yang peduli terhadap keutuhan NKRI. Zaki Mubarok dan Muhammad Koidin dalam penelitiannya yang berjudul Kiai Desa Menjaga Pancasila: Moderasi Melalui Pertahanan Kultural Pada Masyarakat Tradisional mengungkapkan bahwa moderasi yang dilakukan kiai-kiai di desa khusunya di daerah Tegal, Jawa Tengah, memiliki peran signifikan dalam menjaga Pancasila dari ancaman gerakan anti-Pancasila. Peneltian ini sangat baik dalam menerangkan kiai desa dalam menjaga Indonesia.
 
Hasil penelitian tersebut juga menyebutkan bahwa sebagian besar para kiai di daerah Tegal menyatakan bahwa menjaga negara berdasarkan pancasila merupakan implementasi keimanan yang harus dinyatakan dalam perbuatan ditengah masyarakat tradisional dan tidak hanya doktrinal.
 
Penelitian yang dilakukan berkat dukungan bantuan Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam (Dit PTKI) Direktorat Jenderal Pendidikan Islam (Ditjen Pendis) Kementerian Agama RI tahun anggaran 2018 itu menyatakan bahwa masyoritas penduduk Tegal adalah Muslim. Akan tetapi para kiai-kiai desa mulai khawatir karena ada beberapa peristiwa radikalisme dan terorisme yang terjadi di daerah Tegal yang mayoritasnya adalah beragama Islam. Seperti, tertangkapnya terorisme di daerah Balomoa dan Talang; penggrebekan kantor HTI oleh Ansor Kabupaten Tegal; tindakan pemboman bunuh diri di Thamrin Jakarta yang dilakukan warga Tegal; serta penyebaran selebaran khilafah yang dilakukan oleh Ustadz Syafrudin.

Untuk menanggulangi hal tersebut dan untuk mempertahankan Pancasila dari rongrongan ideologi asing maka para kiai desa di Kabupaten Tegal melakukan moderasi beragama dengan dua model, yaitu delegasi dan mediatisasi. Melalui model delegasi, para kiai desa menyuplai nilai moderatisme kepada santri atau orang-orang terdekatnya melalui jalur politik, baik DPRD maupun Bupati untuk menjaga Pancasila.
 
Itu artinya para kiai mendelegasikan para santrinya untuk terjun dalam dunia politik, dan menduduki jabatan struktural-formal dalam politik seperti Bupati dan DPRD. Tujuannya agar mereka membuat kebijakan yang mendukung moderasi agama dan menjaga Pancasila. Contoh nyata dari model delegasi ini adalah terlibatnya kiai-kiai desa dalam pemenangan Umi-Ardi pada pemilihan Bupati Tegal periode 2018-2023.

Melalui model mediatisasi, para kiai desa berusaha menyebarkan ajaran moderasi agama melalui media sosial dan radio serta teknologi. Seperti yang dilakukan di Pondok Pesantren Darussalam, Kalibakung yang menyebarkan moderasi agama melalui Pengajian Almaqoshid yang disiarkan melalui Radio Darussalam FM gelombang 88,1 Mgz. 
 
Habib Sholeh Al-Athos pimpinan Pondok Pesantren Ribat Nurul Hidayah juga melakukan hal yang sama, yaitu menyiarkan secara langsung seluruh kegiatan-kegiatan pengajian yang diselenggarakan pesantrennya.
 
Namun demikian, para kiai desa ini dalam menyebarkan moderasi agama dan mempertahankan Pancasila mendapatkan tantangan. Zaki Mubarok dan Muhammad Koidin dalam penelitiannya, menyebutkan ada dua tantangan kiai desa dalam mempertahankan pancasila yaitu otoritarianisme dan populisme.

Otoritarianisme dilakukan oleh 'santri baru' yang berusaha mendelegitimasi keilmuan kiai desa dalam menjaga Pancasila. Santri baru adalah santri yang belajar agama secara instan dan dengan dalil seadanya menyalahkan para kiai desa yang telah mumpuni ilmunya.

Sedangkan populisme berusaha mempopulerkan kiai desa sebagai musuh karena menjaga Pancasila yang tidak Islam. Sementara yang memperjuangkan negara syariat adalah tokoh yang harus dibela. Ketokohan inilah yang dibangun oleh para politisi dengan menggunakan idiom-idiom agama di tengah-tengah negara demokrasi elektoral.
 
Penulis: Akhmad Khalwani
Editor: Kendi Setiawan