Nasional

Dosen Unusia Fariz Alnizar Berhasil Pertahankan Disertasi Doktornya di UGM

Jumat, 5 Maret 2021 | 05:30 WIB

Dosen Unusia Fariz Alnizar Berhasil Pertahankan Disertasi Doktornya di UGM

Fariz Alnizar saat menjalani ujian promosi doktornya di UGM secara daring, Jumat (5/3). (Foto: dok. istimewa)

Jakarta, NU Online

Dosen Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia), Fariz Alnizar berhasil mempertahankan disertasi program doktornya (S3) pada Fakultas Ilmu Budaya, Program Studi Ilmu-ilmu Humaniora Konsentrasi Linguistik di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta dalam sidang promosi, Jumat (5/3/2021).


Melalui ujian tertutup secara daring karena masih dalam kondisi pandemi Covid-19, Fariz berhasil mempertahankan disertasinya yang berjudul “Kuasa Fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang Ahmadiyah: Analisis Wacana Kritis” di depan para penguji. Disertasi Fariz memperoleh nilai 92.


Pria kelahiran Lamongan, 17 Maret 1988 itu mengambil topik penelitian “Kekerasan Linguistik pada Fatwa”.


Menurut Fariz, fatwa pada konteks yang lebih luas bisa dijadikan sebagai panduan dan norma pergaulan, terutama dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara.


“Maka pendekatan yang digunakan dalam menuangkan keputusan, termasuk dalam persoalan memilih kosakata, adalah dengan menggunakan pendekatan yang tidak konfrontatif,” jelas Fariz Alnizar kepada NU Online, Jumat (5/3).

 


Dia menerangkan, ujian promosi terbuka yang biasa dijalani seorang doktor setelah dinyatakan lulus ujian promosi tertutup ditiadakan karena pandemi Covid-19 masih merebak. "Karena pandemi, tidak ada ujian terbuka di FIB UGM. Langsung wisuda," tegasnya.

 

Fariz menjalani sidang promosi doktor dengan tim penguji yang terdiri dari: Prof Dr Sangidu (Ketua), Dr Amir Ma'ruf (Promotor), Dr Fadlil Munawwar Manshur (Ko Promotor), Prof Dr Syamsul Hadi, Dr Sajarwa, Dr Agus Suwignyo, Dr Suhandano, dan Dr Mohamad Masrukhi.


Berikut ringkasan singkat hasil temuan riset disertasi Fariz Alnizar:

 

Topik Penelitian: Kekerasan Linguistik pada Fatwa

 

Judul Disertasi “Kuasa Fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang Ahmadiyah: Analisis Wacana Kritis”

 

Disertasi dipertahankan dalam ujian promosi pada 5 Maret 2021 pada Program Studi Doktoral Ilmu-Ilmu Humaniora Konsentrasi Linguistik Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada. 

 

 

Penelitian ini bertujuan untuk menginvestigasi kaitan antara teks fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) dengan tindakan kekerasan yang menimpa jamaah Ahmadiyah yang selama ini terjadi. 


Dengan menggunakan analisis wacana kritis yang menganalisis teks beserta dengan konteks sosial yang meliputinya, penelitian ini menyintesiskan dua pendekatan yang selama ini digunakan untuk mengkaji fatwa: pendekatan esensi religius (religious essentialism) dan pendekatan instrumen politik (political instrument). 


Data dalam penelitian ini berasal dari teks fatwa MUI tahun 1980 dan 2005 tentang Ahmadiyah. 


Temuan Kunci:

 

(1) Terdapat ideologi dominatif dan Islamisme di balik fatwa MUI tahun 1980 dan 2005 tentang Ahmadiyah. Ideologi dominatif ini ditunjukkan antara lain oleh penggunaan kosakata fatwa yang mencerminkan praktik dominasi dari produsen teks kepada kelompok Ahmadiyah. Sementara ideologi Islamisme dapat dilihat dari pemilihan diksi keislaman yang sebetulnya secara konseptual diksi tersebut sudah tersedia dalam bahasa Indonesia. 


(2) Terdapat dua bentuk kekerasan linguistik pada fatwa MUI tentang Ahmadiyah tahun 1980 dan 2005. Pertama, kekerasan linguistik bentuk halus (pada kekerasan linguistik tipe ini, bahasa dioperasikan sebagai wahana meneguhkan dominasi). Kedua, kekerasan linguistik kasar (bahasa digunakan untuk menyakiti dan menyerang pihak lain). 

 


Contoh kalimat dalam fatwa yang mengandung unsur kekerasan linguistik bentuk halus adalah frasa “bahaya bagi ketertiban dan keamanan negara”. Narasi seperti ini bisa dijadikan sebagai legitimasi atas konsekuensi yang harus diterima oleh pihak yang dinilai telah mengganggu ketertiban dan keamanan negara.


Secara halus, produsen teks menyatakan bahwa karena keberadaan dan eksistensi Ahmadiyah (dan sangat mungkin juga yang menimpa kelompok minoritas lain) mengancam ketertiban dan keamanan negara, maka ia harus menerima konsekuensi yang dikenakan terhadap perusak ketertiban dan keamanan negara, termasuk salah satunya adalah dibubarkan organisasinya.


Sementara contoh kekerasan linguistik bentuk kasar antara lain terlihat dalam penggunaan kata sesat dan menyesatkan. Labelisasi dengan menggunakan kata sesat dan menyesatkan dari tinjauan linguistik merupakan sebuah langkah kurang arif. Ini disebabkan karena pendekatan agama murni yang digunakan dalam fatwa MUI terkait aliran yang dianggap menyimpang seperti diwujudkan dalam konsep sesat dan menyesatkan akan semakin membuat rusak tatanan kehidupan.


Fatwa pada konteks yang lebih luas bisa dijadikan sebagai panduan dan norma pergaulan, maka pendekatan yang digunakan dalam menuangkan keputusan, termasuk dalam persoalan memilih kosakata, adalah dengan menggunakan pendekatan yang tidak konfrontatif.


Pewarta: Fathoni Ahmad

Editor: Muchlishon