Nasional

Duduk Perkara PSN Pulau Rempang yang Picu Bentrok Aparat dan Warga

Sabtu, 9 September 2023 | 09:00 WIB

Duduk Perkara PSN Pulau Rempang yang Picu Bentrok Aparat dan Warga

Pulau Rempang, Kota Batam, Kepulauan Riau. (Foto: Dok. NU Online Kepri)

Jakarta, NU Online

Pembebasan lahan untuk pengembangan proyek startegis nasional (PSN) di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau mendapat penolakan dari warga setempat hingga memicu bentrokan dengan aparat gabungan pada Kamis (7/9/2023) lalu. Penyebabnya karena aparat memaksa masuk wilayah Rempang untuk memasang patok tata batas lahan pembangunan Rempang Eco-City. 


Masyarakat adat yang menolak kehadiran aparat gabungan memblokir jalan dengan menebang pohon hingga meletakkan blok kontainer di tengah jalan. Aksi pemblokiran jalan tersebut terkait pembangunan Pulau Rempang yang akan dijadikan kawasan ekonomi baru. Pemerintah berencana merelokasi masyarakat ke wilayah lain, namun masyarakat menolak.


Rencana pengembangan Pulau Rempang punya riwayat panjang. NU Online Kepri mencatat, pengembangan masuknya investor ke pulau tersebut sudah ada sejak 2004 sampai 2008, namun tidak ada kelanjutan.


Bermula dari Surat DPRD Kota Batam bertanggal 17 Mei 2004, membuka masuknya investasi ke kawasan Pulau Rempang. Diteken Ketua DPRD Batam saat itu, Taba Iskandar, surat ini menyetujui investasi PT Makmur Elok Graha atau MEG. Isi surat itu adalah rekomendasi enam fraksi di DPRD Batam.


Secara garis besar, DPRD Batam ketika itu menyetujui langkah Pemkot Batam mengembangkan Pulau Rempang menjadi kawasan perdagangan, jasa, industri, dan pariwisata dengan konsep Kawasan Wisata Terpadu Eksekutif atau KWTE.


Pada 26 Agustus 2004, pengusaha Tommy Winata, pemilik PT MEG meneken kerja sama dalam bentuk nota kesepahaman dengan Pemkot Batam. Walikota Batam ketika itu adalah Nyat Kadir. Ismeth Abdullah ketika itu menjabat penjabat Gubernur Provinsi Kepulauan Riau ikut menyaksikan langsung penandatangan perjanjian kerja sama di lantai empat Kantor Pemkot Batam. Kerja sama juga mencakup membuat studi pengembangan Pulau Rempang.


“Sebenarnya mulai diajak bicara pada 2002. Pada 2003, dipanggil lagi, ditawarin untuk menggarapnya. Lalu kami diminta melakukan public expose. Setelah satu tahun selesai studi, kami presentasikan dan 2004 nota kesepahaman diteken,” kata Tommy, dikutip Tempo, 6 Juli 2007.


Dia menjelaskan, setelah nota kesepahaman diteken, pihaknya tidak pernah lagi diminta menindaklanjuti kerja sama tersebut. Sejak penandatanganan, kata Tommy, tidak ada pembicaraan lanjutan hingga Batam dijadikan kawasan perdagangan bebas atau free trade zone. 


“Saya nggak tahu dan udah kelamaan, terserah deh (Batam) mau jadi apa. Dan saya tidak pernah bolak-balik ke sana, ngoyo benar,” ujarnya dalam artikel tersebut.


Tahun 2001, Pemerintah Kota Batam awalnya datang ke Jakarta untuk menawarkan prospek pengembangan di Kawasan Rempang berdasarkan Perda Kota Batam Nomor 17 Tahun 2001 tentang Kepariwisataan Kota Batam.


Lalu, Pemerintah Kota Batam pun berupaya mengundang beberapa pengusaha nasional termasuk Artha Graha Group (induk PT MEG) serta sejumlah investor dari Malaysia dan Singapura untuk berperan aktif dalam pembangunan proyek Kawasan Rempang.


Pada akhirnya, PT MEG terpilih untuk mengelola dan mengembangkan Kawasan Rempang seluas kurang lebih 17 ribu hektare dan kawasan penyangga yaitu Pulau Setokok (kurang lebih 300 hektare) dan Pulau Galang (kurang lebih 300 hektare).


Berdasarkan butir kesepakatan atau perjanjian pada tahun 2004 tersebut, Pemerintah Kota Batam dan BP Batam pun bertugas menyediakan tanah dan menerbitkan semua perizinan yang diperlukan PT MEG.


PT MEG, adalah anak perusahaan Grup Artha Graha milik Tommy Winata. Dalam perjanjian pemberian hak guna bangunan di Pulau Rempang antara Pemkot Batam, Otorita Batam, dan Makmur Elok Graha, MEG mendapat konsesi selama 30 tahun, yang bisa diperjang 20 tahun dan 30 tahun sehingga berpotensi selama 80 tahun. Luas lahan yang dikerjasamakan seluas 16.583 hektare.


Tempo ketika itu melaporkan, perjanjian itu dinilai merugikan negara. Kerja sama dilakukan tanpa pemberian ganti rugi kepada negara.


Dalam perjanjian itu, MEG mendapat hak-hak ekslusif atas pengelolaan dan pengembangan proyek KWTE. Dalam Perda Kota Batam No 17 tahun 2001 tentang Kepariwisataan Kota Batam dan diperbarui dengan Perda No 3 tahun 2003 dinyatakan izin usaha dalam KWTE meliputi gelanggang bola ketangkasan dan gelanggan permainan mekanik/elektronik.


Pada tahun 2007, rencana investasi tersebut sempat mengalami kendala, karena adanya aduan dari masyarakat yang mengaku telah merugikan negara Rp3,6 triliun dalam kerja sama tersebut.


Pada 2008, Tommy Winata pun sempat diperiksa di Mabes Polri terkait hal tersebut. Proyek tersebut juga tak terwujud karena adanya masalah pembebasan lahan.


Hak penggunaan tanah diberikan pada Xinyi Group

19 tahun berlalu. Kerja sama pengembangan Pulau Rempang kembali lahir. Pada Juli 2023, pemerintah meneken kerja sama dalam bentuk nota kesepahaman dengan Xinyi Group, perusahaan asal China. Perjanjian baru ini ditandatangani Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia di Chengdu, China dan disaksikan Presiden Joko Widodo.


Xinyi akan berinvestasi USD11,5 miliar atau setara Rp172 triliun. Xinyi akan membangun pabrik kaca dan solar panel. Investasi disebut akan melahirkan 30.000 lapangan kerja. Proyeknya dijadwalkan dimulai September 2023.


Investasi ini bagian dari pengembangan Pulau Rempang di bawah bendera MEG. Konsepnya kawasan industri hijau dan diberi nama Rempang Eco-City. Pulau Rempang dibangun kawasan industri, jasa, dan pariwisata. Proyek ini ditargetkan bisa menarik investasi hingga Rp318 triliun hingga 2080.


Namun rencana ini mendapat penolakan. Warga Rempang menolak direlokasi dan menolak 16 kampung tua digusur. Warga memohon kepada pemerintah agar pembangunan dilakukan tanpa menggusur permukiman warga asli dan 16 kampung tua.


Di Pulau Rempang terdapat 16 kampung adat atau kampung tua yang menjadi permukiman warga asli. Warga asli diyakini telah bermukim di Pulau Rempang setidaknya sejak 1834.


Rencana pembangunan pabrik kaca

Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia mengunjungi secara langsung kawasan yang akan menjadi lokasi pembangunan pabrik kaca terintegrasi, Ahad siang di Kawasan Rempang, Batam (13/8/2023) lalu. 


Kunjungan ini merupakan tindak lanjut arahan Presiden Joko Widodo untuk segera melaksanakan pengembangan Kawasan Rempang sejak dilakukan penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) antara Pemerintah Indonesia dengan Xinyi Group terkait pembangunan industri kaca terintegrasi di Rempang, pada bulan Juli lalu.


“Bulan lalu di Chengdu, Tiongkok, saya sendiri yang mewakili Pemerintah Indonesia disaksikan oleh Bapak Presiden Jokowi, menandatangani komitmen kerja sama untuk proses investasi di Kawasan Rempang ini. Kita hanya diberikan waktu dua bulan untuk segera melakukan implementasi investasinya. Ini bukan hal yang mudah. Tapi investasi adalah instrumen untuk dapat menggenjot lapangan pekerjaan dan perekonomian negara kita,” ungkap Bahlil.


Xinyi Group merupakan perusahaan asal Tiongkok yang bergerak di bidang pembuatan kaca dan panel surya. Perusahaan ini sebelumnya telah memiliki pabrik kaca terintegrasi terbesar di dunia yang ada di Tiongkok, dan Indonesia akan menjadi titik lokasi pabrik terbesar kedua. Total investasi yang akan digelondorkan dari proyek di Kawasan Rempang ini sekitar USD11,5 Miliar dengan total penyerapan tenaga kerja sebanyak 35 ribu orang.


Selain meninjau kesiapan Kawasan Rempang, Menteri Investasi juga melakukan konsolidasi dengan masyarakat terdampak di kawasan tersebut untuk memberikan pengertian bahwa proyek pembangunan industri kaca ini harus tetap berjalan, tentunya dengan pemenuhan hak-hak bagi masyarakat terdampak.


“Tadi saya sudah berdiskusi dengan Pak Gubernur Kepulauan Riau, Pak Walikota Batam, Kepala BP (Badan Pengusahaan) Batam, aparat setempat, dan juga perwakilan masyarakat, bahwa untuk makam akan kami pagari, namun tempat tinggal masyarakat akan tetap kami relokasi karena wilayah tersebut masuk ke dalam master plan pembangunan industri ini. Lokasi relokasi juga sudah disediakan oleh pihak BP Batam, dan akan kami sediakan sarana dan prasarana yang layak bagi masyarakat seperti jalan menuju ke pantai serta pelabuhan nelayannya juga,” ujar Bahlil.


Bahlil juga menambahkan bahwa setiap masyarakat terdampak akan memperoleh hunian tipe 45 di atas tanah seluas 200 meter persegi. Sebagai bentuk dukungan dari pemerintah bagi masyarakat di Kawasan Rempang di masa yang akan mendatang, putra-putri masyarakat terdampak akan diberikan beasiswa sekolah kejuruan yang sesuai. Selain itu, bagi putra-putri yang memiliki potensi lebih, pemerintah akan mendorong perusahaan BP Batam untuk memfasilitasi beasiswa hingga ke luar negeri.


Walikota Batam Muhammad Rudi berterima kasih kepada Menteri Bahlil yang telah menyelesaikan persoalan Kawasan Rempang ini dengan memberikan solusi yang baik bagi semua pihak.


“Pak Menteri telah menyampaikan akan membantu menyelesaikan pada keputusan lebih tinggi dari Pak Presiden. Asal Keppres (Keputusan Presiden) ini sudah keluar, maka kami sudah bisa mulai kerja,” jelas Rudi.


Serap aspirasi dan rencana ganti rugi

Rencana pengembangan Pulau Rempang sebagai kawasan ekonomi baru atau The New Engine of Indonesian’s Economic Growth masih menjadi perbincangan hangat masyarakat Kota Batam. Pemerintah Pusat memproyeksikan Pulau Rempang sebagai kota baru dengan industri yang berkonsep “Green and Sustainable City”.


Menyikapi wacana tersebut, Wali Kota Batam-Kepala BP Batam, Muhammad Rudi menyampaikan langsung rencana strategis pengembangan Pulau Rempang ke perwakilan masyarakat Kelurahan Sembulang dan Rempang Cate, Selasa (22/8/2023).


“Hari ini, saya datang dan bertemu dengan perwakilan masyarakat. Alhamdulillah, kegiatan sosialisasi kali ini berjalan lancar. Terkait rencana pengembangan Rempang, saya juga sudah menyampaikan kepada pemerintah pusat agar tetap memperhatikan hak-hak masyarakat,” ujar Rudi di hadapan masyarakat.


Dalam pertemuan tersebut, Rudi juga memaparkan perihal rencana relokasi terhadap masyarakat yang terdampak pembangunan. Sesuai arahan Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia, Rudi menyebut jika pihaknya telah menyiapkan kaveling seluas 500 meter persegi untuk masyarakat yang memiliki rumah di atas Areal Penggunaan Lain (APL) dan bersedia direlokasi ke areal yang telah ditetapkan. Di kaveling tersebut, akan dibangun pula rumah dengan tipe 45.


Di mana, luas kaveling tersebut bertambah dari luasan sebelumnya yang hanya 200 meter persegi. Tidak hanya itu saja, masyarakat juga akan diberikan Hak Guna Bangunan (HGB) terhadap tanah dan rumah yang berdiri serta gratis biaya Uang Wajib Tahunan (UWT/UWTO) selama 30 tahun. Pemerintah juga memberikan bantuan bagi nelayan dan membangun pelabuhan atau dermaga guna mempermudah aktivitas masyarakat ke depan.