Ekonom INDEF Buka Fakta di Balik Fenomena Rojali dan Rohana di Mal
NU Online · Selasa, 29 Juli 2025 | 18:00 WIB
Haekal Attar
Penulis
Jakarta, NU Online
Belakangan ini, fenomena jalan-jalan tapi tidak belanja makin sering terlihat di pusat perbelanjaan kota besar. Orang-orang datang ke mal hanya untuk melihat-lihat atau sekadar bertanya-tanya, tanpa benar-benar membeli. Fenomena ini dikenal dengan sebutan Rombongan Jarang Beli (Rojali) dan Rombongan Hanya Nanya (Rohana).
Peneliti Institute For Development of Economics and Finance (INDEF) Abra Talattov menyebut bahwa fenomena ini bukan sekadar soal gaya belanja, melainkan cerminan dari tekanan ekonomi yang semakin nyata di wilayah perkotaan.
"Yang mengkhawatirkan adalah penurunan tingkat kemiskinan di perkotaan, dari dari 6,66 di September tahun lalu menjadi 6,73 persen di Maret tahun ini," katanya dalam diskusi publik Angka Kemiskinan Turun, Kesejahteraan Naik? dikutip NU Online pada Selasa (29/7/2025).
Abra menjelaskan, ada beberapa faktor utama yang mendorong kenaikan angka kemiskinan ini, terutama di kawasan kota yang sangat sensitif terhadap gejala naik-turunnya harga kebutuhan pokok, transportasi, hingga perumahan.
"Memang beberapa hal yang memang menjadi faktor penyebab terjadinya kenaikan tingkat kemiskinan di perkotaan karena wilayah perkotaan ini memang sangat sensitif terhadap terjadinya kenaikan harga-harga khususnya harga kebutuhan pokok, kemudian juga transportasi, dan juga harga untuk kebutuhan perumahan," jelasnya.
Kondisi ini makin diperparah oleh pendapatan masyarakat perkotaan yang cenderung stagnan bahkan menurun terutama karena sebagian besar bekerja di sektor informal.
"Sehingga ini memberikan tekanan yang cukup signifikan terhadap kelompok rentan miskin di wilayah perkotaan di tengah pendapatan masyarakat di perkotaan relatif stagnan atau bahkan cenderung menurun karena mayoritas kan bekerja di sektor informal," kata dia.
Dampaknya, kata Abra, pola konsumsi masyarakat pun bergeser sehingga kini lebih mengutamakan kebutuhan dasar dibandingkan dengan belanja barang-barang sekunder atau tersier, yang selama ini menjadi andalan pusat perbelanjaan.
"Karena adanya tekanan-tekanan tadi, tekanan terhadap daya beli masyarakat di wilayah perkotaan ya muncul kaya fenomena Rojali atau Rohana. Lagi-lagi disebabkan karena mereka lebih memprioritaskan untuk kebutuhan dasar dibandingkan dengan kebutuhan sekunder ataupun kebutuhan tersier," katanya.
"Jadi memang ada shifting prioritas masyarakat di wilayah perkotaan," pungkas Abra.
Di sisi lain, Deputi Bidang Statistik Sosial BPS, Ateng Hartono, menyampaikan bahwa hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2025 menunjukkan kelompok masyarakat kelas atas cenderung mulai menahan pengeluaran konsumsinya.
"Namun ini tentu tidak serta-merta berpengaruh ke angka kemiskinan karena kan itu kelompok atas saja. Fenomena Rojali memang belum tentu ya teman-teman mencerminkan tentang kemiskinan," katanya dalam rilis yang dikeluarkan oleh BPS pada Jumat (25/7/2025).
Ateng menekankan bahwa Rojali adalah tanda penting bagi pemerintah, bukan cuma soal menurunkan kemiskinan, tapi juga menjaga konsumsi dan kestabilan ekonomi rumah tangga kelas menengah bawah.
"Rojali itu ada pada kelas atas kelas menengah atau rentan atau bahkan yang di kelas miskinnya. Kami belum sampai survei ke ala Rojali kami surveinya hanya berbasis ke rumah tangga sampel di Susenas kita," katanya.
“Kalau ditambah satu juta guru berwakaf dengan nominal yang sama, kita bisa mengumpulkan Rp10 triliun. Itu baru dari guru, belum dari anak-anak didiknya,” jelasnya.
Terpopuler
1
Kemenag Tetapkan Gelar Akademik Baru untuk Lulusan Ma’had Aly
2
LKKNU Jakarta Perkuat Kesehatan Mental Keluarga
3
Mahasiswa Gelar Aksi Indonesia Cemas, Menyoal Politisasi Sejarah hingga RUU Perampasan Aset
4
3 Alasan Bulan Kedua Hijriah Dinamakan Safar
5
Kopri PB PMII Luncurkan Beasiswa Pendidikan Khusus Profesi Advokat untuk 2.000 Kader Perempuan
6
Pentingnya Kelola Keinginan dengan Ukur Kemampuan demi Kebahagiaan
Terkini
Lihat Semua