Nasional

Empat Pesan Alissa Wahid untuk Pengelola Sekolah Negeri

Senin, 8 Februari 2021 | 12:55 WIB

Empat Pesan Alissa Wahid untuk Pengelola Sekolah Negeri

Alissa Wahid. (Foto: dok. istimewa)

Jakarta, NU Online

Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian Alissa Wahid memberikan empat pesan kepada para pengelola sekolah negeri agar dapat membangun ekosistem pendidikan yang sesuai dengan nilai-nilai kebangsaan Indonesia.


“Penting bagi pengelola sekolah negeri untuk menerima atau menginternalisasi empat hal ini dan negara harus memastikannya,” ungkap Alissa dalam Diskusi Publik virtual bertajuk Sekolah sebagai Penyemai Toleransi: Respons Terhadap SKB 3 Menteri pada Senin (8/2) siang. 


Pertama, tentu soal regulasi. SKB (Surat Keputusan Bersama) 3 Menteri terkait dengan seragam sekolah menurut saya adalah regulasi yang paling tepat untuk menjamin kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan tentu saja ketuhanan yang Maha Esa. Regulasi itu penting sekali,” imbuhnya.


Namun, menurut Alissa, masih terdapat hal lain yang juga harus dipastikan oleh negara. Yakni pesan yang kedua, para pengelola sekolah negeri harus memiliki perspektif sebagai wakil negara, bukan individu. Karena itu, harus selalu menggunakan kacamata negara dalam mengelola institusi. 


Berkenaan dengan poin kedua itu, Alissa melanjutkan bahwa pengelola sekolah negeri juga harus menginternalisasi pesan yang ketiga, yakni memiliki pandangan soal hak konstitusi warga negara. Kedua hal tersebut, wakil negara dan hak konstitusi, sangat penting untuk diperhatikan oleh para pengelola sekolah negeri. 


“Sebab kalau para pengelola sekolah negeri, termasuk guru-gurunya tidak memiliki dua hal ini, persoalannya menjadi sangat besar,” tegas putri sulung Presiden keempat RI KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur ini.


Keempat, Alissa berpesan kepada para pengelola sekolah negeri agar mampu mengembangkan paham keagamaan yang inklusif dan moderat. Hal ini juga harus dipastikan oleh negara atau pemerintah agar jangan sampai paham keagamaan yang berkembang di sekolah bersifat eksklusif, terlebih ekstrem. 


Moderasi beragama


Oleh karena itu, lanjutnya, peran Kementerian Agama menjadi sangat penting yang diberi tugas untuk memperkuat praktik beragama yang substansif-inklusif. Praktik keagamaan yang seperti itulah, menurut Alissa, merupakan ciri dari keberagamaan di Indonesia. 


“Dalam wacana yang dinarasikan Kemenag itulah yang disebut sebagai konsep moderasi beragama. Artinya, cara pandang, sikap, dan praktik beragama dalam kehidupan bersama dengan cara mengejawantahkan esensi ajaran agama,” terang perempuan bernama lengkap Alissa Qotrunnada Munawaroh Wahida ini.


Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa esensi ajaran agama adalah melindungi martabat kemanusiaan, membangun kemaslahatan umum, dan menaati konstitusi sebagai kesepakatan berbangsa dengan prinsip adil dan berimbang.


“Nah moderasi beragama itu dicirikan dalam empat indikator. Komitmen kebangsaan, toleransi, anti-kekerasan, dan penerimaan terhadap tradisi. Keempat indikator ini harus dipastikan pengelola sekolah negeri memiliki pemahaman ini (moderasi beragama), sehingga tidak terjebak dalam praktik beragama yang eksklusif dan bahkan melakukan diskriminasi,” jelasnya.


Alissa kemudian mengutip ungkapan Gus Dur, bahwa tidak boleh ada pembedaan kepada setiap warga negara Indonesia berdasarkan agama, bahasa ibu, kebudayaan, serta ideologi. Pandangan Gus Dur yang seperti ini, kata Alissa, harus disemai di dalam ekosistem pendidikan. 


Di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), ujar Alissa, segala hal bertautan dengan ekosistem pendidikan. Di antaranya tentang pembentukan kualitas manusia, penguatan integritas sebagai bagian dari revolusi mental, kemajuan pendidikan, dan bahkan moderasi beragama. 


“Semua itu berarti berkenaan dengan dunia pendidikan. Saat ini, dunia pendidikan sudah sangat penting dan genting untuk dikembalikan kepada fungsinya dalam membangun dan menyiapkan warga negara Indonesia yang berbineka tunggal ika,” ujar Alissa.


Sebelumnya, pada Rabu (3/2) lalu, Mendikbud Nadiem Makarim, Mendagri Tito Karnavian, dan Menag Yaqut Cholil Qoumas telah menerbitkan SKB soal penggunaan seragam dan atribut di lingkungan sekolah. 


SKB 3 Menteri tersebut bernomor 02/KB/2021, Nomor 025-199 Tahun 2021, dan Nomor 219 Tahun 2021 Tentang Penggunaan Pakaian Seragam dan Atribut Bagi Peserta Didik, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan di Lingkungan Sekolah yang Diselenggarakan Pemerintah Daerah Pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah.


Di dalamnya disebutkan bahwa peserta didik, pendidik, dan tenaga pendidikan di lingkungan sekolah berhak untuk memilih menggunakan pakaian seragam dan atribut tanpa kekhasan agama tertentu atau dengan kekhasan tertentu sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.


Selain itu, SKB 3 Menteri memuat sanksi bagi pimpinan pemerintah daerah atau kepala sekolah yang tidak melaksanakan keputusan ini. Pemda bisa memberikan sanksi disiplin bagi kepala sekolah pendidik, atau tenaga kependidikan yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Sementara itu, Kemendagri pun bisa memberi sanksi kepada gubernur berupa teguran tertulis dan atau sanksi lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dengan adanya SKB 3 Menteri ini, Mendikbud Nadiem menyampaikan, pemda dan kepala sekolah diberi waktu 30 hari untuk mencabut aturan yang mewajibkan atau melarang seragam dan atribut dengan atau tanpa kekhususan agama. 


"Karena ada peraturan bahwa itu haknya individu. Berarti konsekuensinya adalah pemda dan kepala sekolah wajib mencabut aturan-aturan yang mewajibkan ataupun melarang atribut tersebut paling lama 30 hari sejak keputusan bersama ini ditetapkan," kata Nadiem.


Namun, SKB 3 Menteri ini dikecualikan untuk Provinsi Aceh. Dimaktubkan di dalamnya bahwa peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan beragama Islam di Provinsi Aceh dikecualikan dari ketentuan keputusan bersama ini sesuai kekhususan Aceh berdasarkan peraturan perundang-undangan.


Pewarta: Aru Lego Triono

Editor: Fathoni Ahmad