Nasional

Guru Besar UIN Jakarta: Jadikan Moderasi Beragama sebagai Cara Pandang

Jumat, 8 November 2019 | 10:15 WIB

Guru Besar UIN Jakarta: Jadikan Moderasi Beragama sebagai Cara Pandang

Prof Oman Fathurahman (kedua dari kiri) berbicara dalam seminar hasil penelitian. (Foto: NU Online/Penda, Fuad)

Bogor, NU Online
Dalam penelitian, Moderasi Beragama idealnya dijadikan dan dipahami sebagai cara pandang. Jika moderasi beragama diposisikan sebagai kata benda, bukan kata sifat, maka hasil penelitian itu tidak akan menemukan sesuatu yang dicari oleh peneliti itu sendiri. 
 
"Kesannya seolah terjadi pemaksaan ada atau tidaknya moderasi beragama pada objek yang diteliti," ujar Guru Besar Filologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Prof Oman Fathurrahman saat didaulat berbicara dalam diskusi hasil penelitian Moderasi Beragama di Lembaga Pendidikan Keagamaan yang dihelat di Hotel Salak Padjadjaran Bogor, Jawa Barat, Kamis (7/11).
 
Dirinya berharap moderasi beragama dalam penelitian ini dijadikan sebagai cara pandang. Dijadikan sebagai kata sifat, bukan kata benda.
 
"Padahal, perilaku dan ajaran yang tanpa menyebut tentang itu mengajarkan secara substansi moderasi beragama justru di situ ada. Jadi, harus memahami indikatornya apa. Kemudian karakteristiknya apa. Kapan sih seseorang itu bisa dianggap moderat dan tidak moderat,” tegasnya.
 
Menurut Prof Oman, para peneliti seolah memaksakan harus ada moderasi beragama. “Kesimpulannya, di sini ada moderasi beragama. Sebaliknya, yang di sini tidak ada. Ini terjadi karena moderasi beragama dipahami sebagai kata benda,” jelasnya.
 
Dalam penelitian, kata dia, biasanya ada tiga komponen yang harus dimiliki. Pertama, korpus penelitian. Korpus-nya apa, objeknya apa, studi kasusnya apa. Setelah laporan penelitian tersebut dibaca, dinilainya sudah memenuhi standar, misalnya, kasus seminari di NTT. Kemudian, ada lagi fokus seminari di Malang.
 
“Kedua, perspektif. Semua penelitian ini saya pahami mengggunakan perspektif moderasi beragama. Bukan metodenya. Tapi cara pandangnya. Jadi, perspektif ketika meneliti pesantren, misalnya, yang kita gunakan adalah moderasi beragama. Nah, perspektif ini akan menggiring para peneliti untuk fokus pada cara pandang moderasi beragama,” terangnya. 
 
Dalam hal kedua ini, Prof Oman punya catatan. Ternyata moderasi beragama di sini masih diperlakukan sebagai kata benda, bukan sebagai cata pandang. Misalnya, ada orang yang meneliti literatur pesantren seperti Uqudul Lujain, kitab yang isinya tentang relasi suami istri.
“Kalau saya meneliti kitab ini dengan perpektif saya sebagai seorang filolog, maka yang akan saya lakukan adalah mengoprek-oprek manuskrip Uqudul Lujain itu kata atau kalimatnya keliru atau tidak. Kemudian, nama pengarangnya apa betul Syekh Nawawi al-Bantani. Atau ada kalimat yang terlewat tidak, misalnya. Ini karena saya gunakan perspektif filologi” paparnya.
 
Beda lagi misalnya ketika seseorang meneliti kitab tersebut menggunakan perspektif gender. 
 
“Maka lain lagi cara kerjanya. Sebetulnya mana bagian dalam kitab itu yang berbicara pada sifat-sifat patriarkhis yang mensubordinasi perempuan, yang tidak kita temukan pada perspektif filologi. Inilah kekuatan sebuah perspektif. Jadi, akan mengubah cara meneliti meski objeknya sama,” tandas Oman.
 
Oleh karena itu, sambungnya, keluarannya akan beda. Jika filologi maka keluarannya tahqiq atau suntingan teks. “Nah, jika sudah memahami substansi moderasi beragama dalam berbagai ajaran, maka kita bisa mengukur sebenarnya di sini sudah ada, sudah moderat. Dalam Islam ada wasathiyah. Nah, dalam agama lainnya juga ada istilah tersendiri seperti tertulis dalam buku saku Moderasi Beragama ini,” ujarnya sambil mengangkat buku kecil terbitan Balitbang Diklat tersebut.
 
Dalam seminar tersebut, Oman tampil tampil bareng Koordinator Seknas Gusdurian Alissa Wahid. Seminar hasil penelitian yang dihadiri para guru, penyuluh, dan perwakilan ASN Kemenag Kota Bogor dan Kabupaten Bogor, serta delegasi ormas keagamaan tersebut dijadwalkan tiga hari, Rabu-Jumat, 6-9 November 2019. 
 
Pewarta: Musthofa Asrori
Editor: Abdul Muiz