Nasional

Gus Kautsar: Bersikap Baik pada Siapapun adalah Keharusan

Senin, 1 November 2021 | 14:30 WIB

Gus Kautsar: Bersikap Baik pada Siapapun adalah Keharusan

KH Abdurrahman Al-Kautsar (Gus Kautsar). (Foto: Tangkapan layar YouTube)

Jakarta, NU Online
Kiai muda dari Pesantren Al Falah Ploso Kediri, Jawa Timur, KH Abdurrahman Al-Kautsar (Gus Kautsar) menjelaskan bahwa seseorang wajib bersikap baik kepada siapapun, bahkan kepada mereka yang ateis.


“Jangankan orang paling kiri, orang yang tidak punya agama pun kita harus tetap baik, tetap duduk di sebelahnya,” paparnya pada tayangan Sowan Gus Kautsar Ploso di YouTube NU Online, Sabtu (30/10/2021).


Berteman dan bersikap baik dengan siapa pun, kata Gus Kautsar, adalah sebuah keharusan. Kendati demikian, seseorang harus tetap memegang teguh prinsip dan keyakinannya.


“Jangan kemudian kita ini tercabut dari akar kita. Kehilangan dasar kita,” ujar Gus Kautsar.


Menukil definisi dari KH Hasani Nawawi Sidogiri, ia menyebutkan bahwa menjadi seorang yang mempelajari ilmu agama atau santri, harus mampu menempatkan diri pada posisi tengah. Tidak galak, namun tidak pula gampangan.


“Galak banget nggak mungkin, gampangan banget nggak mungkin. Kalau kamu terlalu gampangan banget, masalah. Kamu akan melanggar banyak aturan,” katanya.


Oleh karena itu, Gus Kautsar menuturkan bahwa untuk bisa bergaul baik dengan siapa pun tanpa khawatir prinsipnya akan terganggu, seseorang harus memiliki pondasi. Salah satunya dengan mengaji.


“Sebelum kamu bermain, mengaji dulu. Ketika kamu bermain, sudah aman dirimu. Kamu bisa ‘mewarnai’, tapi cukup sulit untuk kemudian ‘diwarnai’. Karena, kamu sudah punya pedoman,” terang Gus Kautsar.


Hal tersebut ditegaskannya dengan mengutip perkataan Imam Al-Ghazali. Gus Kautsar menyebut jika tidak diciptakannya manusia oleh Allah swt kecuali untuk ilmu, untuk mengaji, untuk mengerti keesaan Allah.


A’maaluhu mardudatun laa tuqbalu. Ilmu itu segala-galanya,” tegas putra KH Nurul Huda Djazuli itu.


Mengaji, sambungnya, tidak bisa asal. Ilmu yang diperoleh harus bersumber dari guru dan kiai yang menguasai di bidangnya. “Tidak usah ikutan kiai, langsung dibuka Al-Qur’annya, cara pahamnya bagaimana? Perkataan ulama saja masih butuh ulama lain untuk menjelaskan sesuatu,” ungkapnya.


Hal yang kemudian perlu diperhatikan ketika sudah mengaji, sambungnya, adalah terus meningkatkan kualitas diri. Tidak menjadi pribadi anti kritik yang enggan diingatkan.


“Jangan terus merasa puas dan harus selalu siap untuk diingatkan. Ketika diingatkan, seorang santri, dinasehati, maka dia akan mudah. Untuk kemudian ingat, untuk kemudian sadar,” pungkasnya.


Kontributor: Nuriel Shiami Indiraphasa
Editor: Muhammad Faizin