Nasional HARI SANTRI 2019

Gus Muwafiq Jelaskan Asal Usul Kiai, Santri, dan Sarung

Senin, 21 Oktober 2019 | 15:45 WIB

Gus Muwafiq Jelaskan Asal Usul Kiai, Santri, dan Sarung

Gus Muwafiq saat mengisi ceramah agama pada Malam Santriversary di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, Senin (21/10) malam. (Foto: NU Online/AR Ahdori) 

Jakarta, NU Online
Hari Santri yang jatuh pada 22 Otober 2019 disambut meriah bangsa Indonesia terutama oleh kaum santri yang menimba ilmu di pesantren. Pada momentum hari santri ini, penceramah kondang NU KH Ahmad Muwafiq (Gus Muwafiq) menjelaskan asal mula penyebutan santri kiai dan sarung. 
 
Menurut Gus Muwafiq, kata ‘santri’ bukanlah kosa kata bahasa Arab melainkan bahasa Nusantara. Dalam Bahasa Arab, santri disebut tilmidzun, atau muridun, artinya orang belajar.
 
Setelah Islam masuk ke Indonesia, lanjut dia, penyebutan kosa kata bahasa Arab tersebut berubah dengan kata ‘santri’ yang artinya orang yang belajar kitab suci. Sehingga kosa kata santri tidak bisa ditasrif seperti menasrif kalimat-kalimat bahasa Arab dalam ilmu nahwu-shorof.  

Baca juga: Santriversary, Malam Puncak Peringatan Hari Santri Malam Ini
 
“Santri itu bahasa Nusantara, bukan bahasa Arab. Bahasa Arabnya tilmidzun, muridun. Santri artinya orang yang belajar kitab suci,” ucap Gus Muwafiq saat mengisi ceramah agama pada Malam Santriversary di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, Senin (21/10) malam. 
 
Sedangkan guru yang membimbing santri di Indonesia disebut kiai. Kata kiai, lanjut ulama asal Yogyakarta ini, juga bukanlah bahasa Arab. Kiai murni lahir dari bahasa Nusantara. Kiai adalah seseorang yang mengasuh, membimbing, dan memberikan ilmunya kepada santri di pesantren. 
 
“Kiai adalah bahasa lokal. Santri adalah bahasa lokal untuk menyebut tilmidzun atau muridun. Tempatnya di pondok pesantren,” tandasnya. 
 
Gus Muwafiq menegaskan, perbedaan penyebutan itu juga menandakan bahwa Islam telah masuk ke negara di luar jazirah Arab. Islam saat bertemu dengan bangsa di luar jazirah Arab kata dia, menghasilkan corak yang berbeda-beda. 

Baca juga: Hadiri Malam Santriversary, Ribuan Santri Padati Lapangan Banteng
 
Sementara asal mula penyebutan kata sarung, lanjut Gus Muwafiq, merupakan penyerapan dari kosa kata syar’I, yaitu sesuatu yang harus diikuti umat Islam termasuk dalam cara berpakaian. Kata syar’i kemudian memiliki masdar syar’un. Karena bangsa Indonesia tidak bisa menyebut serapan ‘n’ maka disebutlah sarung.  
 
“Baju syar'i namanya syar’un. Datang ke Indoensia  jadi sarung. Dipakai santri jadi sarungan,” paparnya di hadapan ribuan santri yang memenuhi Lapangan Banteng.
 
Ia menuturkan, masih banyak kosa kata bahasa Arab yang termodifikasi di Indonesia. Ia menilai wajar hal itu terjadi. Sebab, umat Islam di Indonesia tidak hidup zaman Rasullullah SAW dan sahabat Nabi. Juga tidak berbahasa seperti bahasa yang diucapkan orang-orang di Jazirah Arab.

Hingga berita ini ditulis, gelaran Malam Santriversary yang diinisiasi Direktorat PD Pontren Ditjen Pendis Kemenag masih berlangsung. Para santri tampak gembira mengikuti seluruh rangkaian acara.
 
Pewarta: Abdul Rahman Ahdori
Editor: Musthofa Asrori