Nasional

Gus Nadir: Penting Memahami Al-Qur'an ala Pesantren

Senin, 30 September 2019 | 02:45 WIB

Gus Nadir: Penting Memahami Al-Qur'an ala Pesantren

Rais Syuriyah PCI Australia dan Selandia Baru Kiai Nadirsyah Hosen (kanan)

Jakarta, NU Online
Rais Syuriyah Pengurus Cabang Istimewa (PCI) Australia dan Selandia Baru Kiai Nadirsyah Hosen dalam muktamar pemikiran santri nusantara 2019 memaparkan tentang penting memahami Al-Qur'an ala pesantren.
 
Pernyataan ini disampaikan untuk menyikapi maraknya kelompok Islam yang menamakan diri mereka dengan golongan hijrah. Kelompok ini menafsirkan kata "Islam Kaffah" berdasarkan kemauan sendiri dan hanya memakai Al-Qur'an terjemahan.
 
Bagaimana tafsir dari "Islam secara Kaffah yang benar?
 
Menjawab pertanyaan ini, pria yang akrab disapa Gus Nadir mengutip Kitab Tafsir Ar-Razi. Dalam kitab tersebut, ayat ini memiliki tiga khitab atau tiga sasaran hukum.
 
Pertama, ayat ini diserukan kepada orang munafik yang berpura-pura masuk Islam tapi sebenarnya hanya ingin merusak. Kedua, untuk orang yang sudah masuk Islam tapi masih membawa tradisi Yahudi. Lewat ayat ini, Allah menegur kelompok ini. Dan terakhir, menurut Ar-Razi ayat ini diarahkan untuk ahli kitab yang tidak beriman kepada Nabi Muhammad SAW.
 
Lebih ringkasnya, Ar-Razi tidak menawarkan khitab ayat yang menjelaskan tentang Islam Kaffah ini untuk orang yang sudah Islam sejak kecil dan menjalankan ajaran Islam.
 
"Ayat ini (Islam Kaffah) sering dipakai oleh kelompok hijrah. Mereka kadang mengatakan seseorang harus masuk Islam secara mendalam harus meninggalkan kerja di bank karena riba, wajib pakai jilbab, gerakan sunnah. Kadang juga masuk keranah komersial, seperti tutorial memakai jilbab syar'i, rumah syar'i, dan kelompok syar'i," jelasnya di Pesantren Asshiddiqiyah Jakarta, Ahad (29/9).
 
Dalam menyelesaikan masalah ini, Gus Nadir meminta kelompok santri mulai mengkaji dan membuat karangan dalam bentuk tulisan dengan membahas tema perang dan damai. Dalam bahasa lain yaitu fiqih perdamaian. Pengkajian secara serius dalam hal ini akan memberikan bekal bagus untuk generasi Islam.
 
"Kita kurang bagus dalam mengadministrasikan strategi damai ala Islam. Ini tugas santri. Mari kita memahami Al-Qur'an dengan cara pesantren yang sempurna tidak hanya memahami dari terjemahan Al-Qur'an saja," jelasnya.
 
Banyak Ulama hebat dulu yang sudah terlibat dalam penyelesaian konflik. Namun kurang dalam wujud teorisasinya sehingga belum bisa digunakan oleh umat manusia dunia.
 
Para ulama ini berangkat dari pemahaman bahwa menyerukan perdamaian kepada ahlu harbi (ahli perang) diperbolehkan ketika ada kebaikan bagi umat Islam. Anehnya, kelompok hijrah itu malah ingin perang terus.
 
"Para kiai itu sering menjadi penyelesai konflik di masyarakat. Mulai dari hilang motor sampai hilang istri. Namun tidak diteorisasi sehingga hilang saat kiai wafat. Dan yang tampil kelompok hijrah, yang membawa konsep kaku perang terus," ujar Gus Nadir.
 
Staf Kementrian Luar Negeri RI Tengku Faishal menambahkan bahwa konstitusi yang berlaku di Indonesia mengamanatkan untuk terlibat dalam perdamaian dunia.
Namun perlu dipahami bahwa peran pemerintah terbatas, karena nanti hanya berkaitan dengan pemerintah saja. Sehingga pemerintah hanyalah bagian kecil dari usaha mewujudkan perdamaian.
 
"Indonesia itu punya modal sebagai negara, sekaligus berdemokrasi, dan menawarkan kemajuan. Ini membantah pendapat orang yang mengatakan bahwa negara Islam tidak bisa mengembangkan nilai demokrasi," ujarnya.
 
Indonesia telah menawarkan ke Afganistan cara menyelesaikan konflik dengan cara pandang Nahdlatul Ulama (NU) yang modern. Indonesia mengajak negara-negara sahabat untuk mendahulukan pendekatan dialog, yang ditawarkan citra Islam yang modern.
 
Alhasil, saat ini di Afganistan punya beberapa komunitas NU karena dirasakan bisa menyelesaikan konflik. "NU punya modal besar dalam hal ini, dengan memiliki santri yang begitu banyak. Tugas santri ke depan yaitu bagaimana bisa membangun network yang kuat," tandasnya.
 
Kontributor: Syarif Abdurrahman
Editor: Abdul Muiz