Gus Yahya Dorong Kiai Muda dan Alumni Pesantren Aktif di Organisasi NU
NU Online · Jumat, 18 Juli 2025 | 09:30 WIB

Ketum PBNU Gus Yahya saat menyampaikan pidato sambutan dalam pembukaan Pendidikan Pengembangan Wawasan Keulamaan (PPWK) NU di Yayasan Pondok Pesantren Islam Miftachussunnah, Surabaya, Jawa Timur, Kamis (17/07/2025). (Foto: TVNU/Junaedin Ghufron)
Syarif Abdurrahman
Kontributor
Surabaya, NU Online
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf mendorong para kiai muda, putra kiai (gus), santri senior, dan alumni pesantren untuk terlibat aktif dalam struktur organisasi Nahdlatul Ulama (NU) dari tingkat bawah hingga pusat.
Dorongan ini didasarkan pada prinsip dasar organisasi NU sebagaimana tertuang dalam Qanun Asasi Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari, bahwa yang pertama kali dipanggil untuk bergabung ke dalam NU adalah para ulama. Oleh karena itu, jam’iyah ini dinamakan Nahdlatul Ulama, kebangkitan para ulama.
Gus Yahya menjelaskan bahwa yang dimaksud ulama oleh KH Hasyim Asy'ari adalah ulamauddin atau ahli agama, bukan ulama dalam pengertian umum.
Pernyataan tersebut disampaikan Gus Yahya saat menyampaikan pidato dalam pembukaan Pendidikan Pengembangan Wawasan Keulamaan (PPWK) NU di Yayasan Pondok Pesantren Islam Miftachussunnah, Surabaya, Jawa Timur, Kamis (17/07/2025).
"Sebenarnya, sejak 2010 saya mendorong GP Ansor mengajak gus-gus dan santri senior ke dalam Ansor. Masuklah saat itu generasi Gus Ghofur, Gus Latif, dan kiai muda. Agar paham cara main organisasi sehingga dalam mengambil keputusan tahu jalur yang pas," jelasnya.
Gus Yahya menekankan pentingnya proses kaderisasi struktural agar para alumni pesantren yang kelak duduk dalam kepemimpinan NU memiliki pengalaman berorganisasi yang matang. Dengan begitu, mereka dapat mengambil keputusan secara bijaksana dan proporsional.
Apalagi, menurutnya, alumni pesantren yang dicetak sebagai ahli ilmu agama memiliki potensi besar untuk menempati posisi Syuriyah sebagai penentu arah jam’iyah NU. Dalam pandangan Gus Yahya, pemilik sejati organisasi NU adalah para ulama.
"Pesantren sebagai tempat mendidik calon ulama, santrinya malah sedikit berkecimpung di organisasi NU. Makanya kita perlu melakukan PPWK ini. Ini baru soal wawasan, padahal pemimpin bukan hanya soal itu, pemimpin harus melewati proses tempaan pergulatan. Kalau kiai yang ada di Syuriyah tidak terlalu tertempa dalam pergulatan organisasi maka secara alami akan tertinggal dengan kader-kader yang lebih tertempa," tegasnya.
Ia menjelaskan, NU sudah memiliki struktur organisasi yang paralel dengan pemerintahan: dari tingkat pusat, provinsi, hingga kabupaten/kota. Namun, timbul masalah baru karena kader NU yang memiliki kapasitas keilmuan agama tidak merata tersebar di seluruh daerah di Indonesia.
"Kalau di Jawa seperti Pati, mencari sosok kiai yang alim mudah, begitu juga di Kediri, Cirebon, dan lain-lain. Hanya saja hal serupa tidak terjadi di luar Pulau Jawa dan daerah pinggiran. Tidak semua daerah punya ulama yang memiliki kapasitas tinggi, sehingga layak menjadi Syuriyah. Ini problem sistemik," ungkapnya.
Gus Yahya mencontohkan sosok KH Miftachul Ahyar sebagai ulama yang tidak hanya mendalam secara keilmuan agama, tetapi juga ditempa pengalaman panjang dalam organisasi NU. Hal ini menjadi modal penting dalam kepemimpinan.
"Kita punya Rais Aam yang tidak ada tandingannya dalam soal tempaan, karena memulai jenjang organisasi dari bawah. Karena agar ketika Syuriyah berbicara tentang organisasi dan kebijakan, bukan hanya memahami secara wawasan, tapi juga punya penghayatan," imbuhnya.
Diketahui, KH Miftachul Ahyar pernah menjabat sebagai Wakil Rais Syuriyah PCNU Surabaya pada 1978, 1980, dan 1985. Kiai Miftach kemudian menjadi Wakil Rais Syuriyah PWNU Jawa Timur pada 1990-an, lalu Rais Syuriyah PWNU Jawa Timur periode 2007–2013 dan 2013–2015. Setelah itu, Kiai Miftach melanjutkan kiprah di PBNU sebagai Wakil Rais Aam (2015–2018) dan Rais Aam PBNU (2018–2021) menggantikan KH Ma’ruf Amin.
Ke depan, lanjut Gus Yahya, PBNU akan menyelenggarakan pelatihan bersama antara Syuriyah dan Tanfidziyah agar keduanya mengalami proses bersama dalam memahami dinamika organisasi NU. Hal ini untuk memastikan Syuriyah memiliki kemampuan mengevaluasi kerja Tanfidziyah secara lebih proporsional dari sudut pandang syar’i maupun organisasional.
"Saya menghadap ke Rais Aam dan mengusulkan ada pelatihan di mana Syuriyah dan Tanfidziyah mengikuti bersama sehingga mengalami pengalaman bersama. Alhamdulillah di periode ini, punya pemimpin ulama yang bukan hanya kuat dalam wawasan, tapi juga menerima tempaan pergulatan organisasi yang kuat," tutupnya.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Larangan Pamer dan Bangga dengan Dosa-dosa
2
Khutbah Jumat: Membumikan Akhlak Nabi di Tengah Krisis Keteladanan
3
Pastikan Arah Kiblat Tepat Mengarah ke Ka'bah Sore ini
4
Khutbah Jumat: Sesuatu yang Berlebihan itu Tidak Baik, Termasuk Polusi Suara
5
Trump Turunkan Tarif Impor Jadi 19 Persen, Ini Syarat yang Harus Indonesia Penuhi
6
Khutbah Jumat: Meneguhkan Qanaah dan Syukur di Tengah Arus Hedonisme
Terkini
Lihat Semua