Nasional SOSOK

H Imam, 63 Tahun Jihad Lewat Alat Hadrah

Rabu, 4 Februari 2015 | 00:30 WIB

Orang sering memanggilnya H. Imam. Fisiknya tampak masih kuat meski usianya menginjak 75 tahun. Ia tampil memakai peci dan baju koko, ketika kami menemuinya, akhir pekan lalu (1/2). Imam masih mampu mengangkat alat hadrah berupa bas, bukan untuk memainkannya, melainkan untuk menunjukkan bahwa alat musik itu hasil dari kelihaian tangannya.
<>
Lelaki bernama lengkap H. Muhammad Imam Sudja'i ini menekuni usaha alat hadrah sejak ia berumur 12 tahun, pada saat masih menjadi santri di Pasundan, Banten.  Baginya, memproduksi alat hadrah adalah sebagian dari mensyiarkan agama Islam.

"Ini (memproduksi alat hadrah-red.) termasuk meneruskan jihad fi sabilillah, pada saat perang Badar menang, Rasulullah disambut dengan shalawat thala’al badru alaina dan menggunakan hadrah," tutur H. Imam.

Sejak saat itulah, menurut H. Imam, hadrah mulai berkembang dan dilestarikan oleh nenek moyang kita. Hingga akhirnya tradisi tersebut dilestarikan di pesantren. Sebagai seorang santri, ia menikmati usaha alat musik ini. Pada awal merintis usahanya tersebut, H. Imam bersama warga pesantren memproduksi alat hadrah dengan tangan sendiri, termasuk dalam hal pemasaran.

Merangkap Anggota ABRI

Lelaki kelahiran Bumiayu, Jawa Tengah, pada tanggal 15 April 1940 ini ternyata juga mempunyai kesibukan lain sebagai anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) atau TNI. Perjalanannya sebagai seorang tentara merupakan motivasi dari H Anas, pegawai kecamatan pada saat itu. "Coba-coba saja Mam, siapa tahu jadi rais, syukur jadi kiai," tutur H. Anas seperti yang dicertitakan oleh H. Imam.

Sebelum menjadi tentara, ia lebih dulu menjadi mubaligh atau praktik dakwah di kampung Bumiayu. Pada saat itu, ia sempat juga kursus ngetik. Tepatnya pada tahun 1961 akhir, di daerah Bumiayu dan Brebes ada pendaftaran militer. Atas rekomendasi H. Anas, akhirnya ia ikut seleksi.

"Saya mendapatkan nomor urut 7 dari seleksi sekitar 50 orang. Selang sebulan kemudian, saya mendapatkan panggilan untuk mengikuti tes di Purwokerto. Akhirnya keterima dan didik untuk menjadi militer," ceritanya saat ditemui di kediamannya.

Tugas pertamanya sebagai ABRI dijalaninya di Timor-timor. Selang 8 bulan, ia kembali lagi ke Jawa, tepatnya pada tahun 1963. "Terus saya ikut penumpasan G30S/PKI," ujarnya.

Walaupun menjadi tentara, ia tetap melanjutkan usahanya membuat alat hadrah, tepatnya di Dlanggu, Klaten, Jawa Tengah. Seraya menjalankan tugasnya mengabdi pada negara, tanpa mengganggu dinasnya, ia melanjutkan usaha membuat alat hadrah. Usahanya tersebut berlanjut sampai ia ditugaskan di Batalion 403 kentungan, dan hingga ia purnawirawan.

Untuk memperlancar usahanya, ia bekerja sama dengan toko-toko pelanggan, terutama pesantren. Bahkan ia mempunyai gudang sendiri di stasiun tugu Yogyakarta, sebagai sarana untuk mengirim barang. "Pada zaman dulu, ngirim barang biasanya lewat kereta pai. Sehingga saya sempat mempunyai gudang di sana, hingga saat ini," jelasnya.

Barang produksinya dipasarkan di berbagai daerah yang ada di Indonesia. Bahkan hingga ke mancanegara ia mengirim produk alat hadrah. "Sampai sekarang, walaupun saya sudah purnawirawan, saya tetap menjalankan usaha saya. Bahkan ngirim barang sampai ke Amerika dan Australia.”

Selain sebagai pengusaha, H. Imam selalu mengisi pengajian di berbagai daerah di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), seperti Sleman, Bantul dan wates. "Sedangkan rutinnya tiap Ahad Kliwon, Wage itu sudah penuh, yaitu ngaji tartil kitab ala pondok pesantren," tandasnya. (Nur Sholikhin/Mahbib)