Nasional

Hasil Temuan Sementara TGIPF dan Koalisi Masyarakat Terkait Tragedi Kanjuruhan

Senin, 10 Oktober 2022 | 21:15 WIB

Hasil Temuan Sementara TGIPF dan Koalisi Masyarakat Terkait Tragedi Kanjuruhan

Suasana di Lapangan Kanjuruhan. (Foto: Istimewa)

Jakarta, NU Online

Penyelidikan terhadap insiden maut kericuhan berujung kepanikan penonton pertandingan Arema FC melawan Persebaya Surabaya pada 1 Oktober 2022 lalu terus dilakukan.


Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) yang dibentuk pemerintah di bawah Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD terus bekerja menelusuri rangkaian peristiwa yang menyebabkan kejadian memilukan itu.


Anggota Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF), Nugroho Setiawan membeberkan sejumlah temuan terbaru investigasi tragedi Kanjuruhan yang menewaskan 131 korban jiwa.


Pertama, Kanjuruhan tak layak untuk pertandingan risiko tinggi


TGIPF menyimpulkan bahwa Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, tidak layak menggelar pertandingan dengan risiko tinggi (high risk). Laga Arema FC melawan Persebaya pada Sabtu (1/10/2022) salah satu pertandingan dengan high risk match.


"Kesimpulannya sementara bahwa Stadion ini tidak layak untuk menggelar pertandingan high risk match. Mungkin kalau itu medium atau low risk masih bisa," kata Nugroho dalam tayangan di YouTube Kemenko Polhukam dilihat NU Online, Senin (10/10/2022).


Nugroho mengatakan pertandingan dengan risiko tinggi membutuhkan kalkulasi yang sangat konkret. Misalnya, bagaimana cara mengeluarkan penonton pada saat keadaan darurat.


"Sementara yang saya lihat adalah pintu masuk berfungsi sebagai pintu keluar, tapi itu tidak memadai. Kemudian tidak ada pintu darurat. Jadi mungkin ke depan perbaikannya adalah mengubah struktur pintu itu," ungkapnya.


Kedua, akses tangga tak ideal


TGIPF menemukan akses anak tangga di Stadion Kanjuruhan tidak ideal untuk kondisi ramai serta kondisi railing tangga yang tidak terawat. Merujuk safety discipline, ada ukuran tertentu yang menjadi standar pembuatan anak tangga di stadion.


"Kemudian juga mempertimbangkan aspek akses seperti anak tangga. Anak tangga ini kalau secara normatif di dalam safety discipline, ketinggian 18 cm lebar tapak 30 cm ini tadi antara lebar tapak dan ketinggian sama rata-rata mendekati 30 cm. Jadi intinya gini, kalau dengan ketinggian normal tadi tinggi 18 dan lebar tapak 30 ini kita berlari turun, berlari naik itu tidak ada kemungkinan jatuh," tutur Nugroho.


"Kemudian lebar dari anak tangga itu juga tidak terlalu ideal untuk kondisi crowd (ramai), karena harus ada railing. Railing untuk pegangan. Railing ini juga sangat tidak terawat dengan desakan yang luar biasa akhirnya railing-nya patah dan itu juga termasuk yang melukai korban," lanjutnya.


Ketiga, tidak ada pintu darurat


Nugroho menyoroti ketiadaan pintu darurat di Stadion Kanjuruhan. Diduga faktor ketiadaan pintu darurat itu yang membuat korban jiwa dalam peristiwa desak-desakan pada 1 Oktober 2022 lalu cukup tinggi.


"Jadi sementara yang saya lihat adalah pintu masuk berfungsi sebagai pintu keluar, tapi itu tidak memadai. Kemudian tidak ada pintu darurat," kata Nugroho.


Nugroho juga mengungkap hasil pemantauan dari rekaman CCTV di pintu 13 Stadion Kanjuruhan. Dia mengatakan detik-detik korban tertumpuk dan tewas di pintu tersebut terekam kamera CCTV.


"Sempat melihat rekaman CCTV kejadian khususnya di pintu 13. Mengerikan sekali. Jadi situasinya adalah pintu terbuka tapi sangat kecil yang itu seharusnya pintu untuk masuk, tapi terpaksa menjadi pintu keluar. Situasinya adalah orang itu berebut keluar, sementara sebagian sudah jatuh pingsan, terhimpit, terinjak karena efek dari gas air mata. Jadi ya miris sekali. Saya melihat detik-detik beberapa penonton yang tertumpuk dan meregang nyawa terekam sekali di CCTV," ungkap Nugroho.


Keempat, efek gas air mata


Nugroho juga menyarankan supaya aparat keamanan mempertimbangkan kembali penggunaan gas air mata di stadion. Hal itu disampaikan Nugroho dari hasil temuan sementara TGIPF setelah bertemu sejumlah korban selamat dari tragedi stadion Kanjuruhan.


Dia mengatakan bahwa efek dari zat yang terkandung dalam gas air mata yang ditembakkan polisi, luka para korban memerlukan waktu paling cepat satu bulan untuk sembuh.


"Tim juga menghubungi korban, melihat korban, bahkan sempat menyaksikan perubahan fenomena trauma lukanya dari menghitam, kemudian memerah dan menurut dokter itu recovery-nya paling cepat adalah satu bulan. Jadi efek dari zat yang terkandung di gas air mata itu sangat luar biasa. Ini juga patut dipertimbangkan untuk crowd control di masa depan," jelas Nugroho.


Kelima, infrastruktur mesti dirombak


Nugroho menilai Stadion Kanjuruhan harus dibenahi supaya sesuai standar keselamatan guna mencegah insiden maut seperti 1 Oktober 2022 tidak terulang. "Pembenahan yang perlu dilakukan adalah perbaikan akses pintu keluar dan masuk bagi penonton serta membuat pintu darurat," tandasnya.


Sebelumnya, Tim Pencari Fakta Koalisi Masyarakat Sipil telah melakukan investigasi selama kurang lebih 7 (tujuh) hari terkait peristiwa kekerasan yang terjadi di Stadion Kanjuruhan. Adapun tim terdiri dari LBH Pos Malang, LBH Surabaya, YLBHI, Lokataru, IM 57+ Institute dan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS).


Berdasarkan hasil investigasi, mereka mendapatkan temuan awal bahwa peristiwa kekerasan yang terjadi di Stadion Kanjuruhan merupakan dugaan kejahatan yang terjadi secara sistematis yang tidak hanya melibatkan pelaku lapangan.


Selain itu, tim menduga timbulnya korban jiwa merupakan akibat dari efek gas air mata yang digunakan oleh aparat kepolisian. Berikut 12 poin temuan awal selama proses investigasi yang dilakukan oleh Tim Pencari Fakta Koalisi Masyarakat Sipil:

 
  1. Tim menemukan fakta pada saat pertengahan babak kedua, terdapat mobilisasi sejumlah pasukan yang membawa gas air mata, padahal diketahui tidak ada ancaman atau potensi gangguan keamanan saat itu.
  2. Saat pertandingan antara Arema FC dan Persebaya selesai, didasari pada keterangan saksi-saksi, sejumlah suporter yang masuk ke dalam lapangan hanya ingin memberikan dorongan motivasi dan memberikan dukungan moril kepada seluruh pemain.
  3. Sebelum tindakan penembakan gas air mata, tidak ada upaya dari aparat untuk menggunakan kekuatan lain seperti kekuatan yang memiliki dampak pencegahan, perintah lisan atau suara peringatan hingga kendali tangan kosong lunak.
  4. Tindak kekerasan yang dialami para suporter, tidak hanya dilakukan oleh anggota Polri tetapi juga dilakukan oleh prajurit TNI dengan berbagai bentuk seperti menyeret, memukul, dan menendang.
  5. Menurut kesaksian para suporter, penembakan gas air mata tidak hanya ditujukan ke bagian lapangan, tetapi juga mengarah ke bagian Tribun sisi Selatan, Timur, dan Utara sehingga hal tersebut menimbulkan kepanikan yang luar biasa bagi suporter yang berada di tribun.
  6. Saat hendak keluar dengan kondisi akses evakuasi yang sempit, terjadi penumpukan di sejumlah pintu yang terkunci.
  7. Setelah mengalami rentetan peristiwa kekerasan, para suporter yang keluar dengan kondisi berdesak-desakan, minim mengalami pertolongan dengan segera dari pihak aparat kepolisian, para korban dengan caranya sendiri berusaha untuk keluar.
  8. Peristiwa kekerasan dan penderitaan tidak hanya terjadi di dalam Stadion Kanjuruhan, tetapi juga terjadi di luar Stadion. Diketahui, aparat kepolisian juga ikut melakukan penembakan gas air mata kepada para suporter yang berada di luar stadion. Selain itu, diduga kuat kondisi pascapenembakan gas air mata di tribun adalah momen ketika banyak penonton yang meregang nyawa. Di saat itu pula tidak ada kondisi medis yang optimal untuk merespons kondisi kritis penonton yang terpapar asap gas air mata.
  9. Pasca peristiwa, ada pihak-pihak tertentu yang melakukan tindakan intimidasi baik melalui sarana komunikasi maupun secara langsung. Tim menduga hal ini dilakukan agar menimbulkan suatu ketakutan kepada para saksi dan korban agar tidak memberikan suatu kesaksian.
  10. Tim menemukan fakta bahwa hingga Ahad (9/10/2022) tidak ada informasi yang mendetail dari pemerintah berkaitan dengan data korban jiwa dan luka yang dapat diakses oleh publik, termasuk informasi perkembangan penanganan kasus yang saat ini ditangani oleh pihak kepolisian.
  11. Tim masih melakukan pendalaman fakta, mereka sudah berkomunikasi dengan Komnas HAM dan LPSK lalu menyampaikan sejumlah laporan. Tetapi tim belum melihat kerja riil dari Tim Gabungan Independen Pencari Fakta untuk menemui sejumlah saksi dan korban.
  12. Tim menilai narasi temuan minuman alkohol dan terminologi “kerusuhan” adalah penyampaian informasi yang menyesatkan.Yang terjadi justru ialah serangan atau pembunuhan secara sistematis terhadap para warga sipil.


Kontributor: Suci Amaliyah
Editor: Muhammad Faizin