Nasional SOSOK

Hendro Wicaksono, Dosen Terbaik di Universitas Jacobs Jerman Berbagi Tips Mengajar

Selasa, 15 September 2020 | 10:45 WIB

Hendro Wicaksono, Dosen Terbaik di Universitas Jacobs Jerman Berbagi Tips Mengajar

Hendro Wicaksono mendapat penghargaan Teacher of The Year dari kampus tempat dia mengajar, Universitas Jacobs, Bremen, Jerman. (Foto: Facebook Hendro Wicaksono)

Jakarta, NU Online

Wakil Katib Syuriyah Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Jerman Hendro Wicaksono mendapat penghargaan Teacher of The Year dari kampus tempat dia mengajar, Universitas Jacobs, Bremen, Jerman.


Penghargaan tersebut diberikan pada September 2020, berdasarkan penilaian para mahasiswanya yang berasal dari mancanegara lintas benua sejak September 2019 lalu, hingga Juni 2020.


Pendekatan dan kenyamanan interaksi menjadi kunci proses pembelajaran yang ia berikan. Sebab, menurutnya, mahasiswa tidak saja belajar dari materi yang diberikannya. Kemauannya untuk lebih mendalami tema pelajarannya itu juga perlu dipupuk melalui motivasi dan inspirasi yang dibungkus dengan kedekatan dan kenyamanan dalam berkomunikasi.


“Orang belajar tidak hanya dari konten, tetapi juga dari pengajarnya. Harus didekati dan lebih nyaman dengan pengajarnya. Saya berusaha sebisa mungkin dekat dan menginspirasi mahasiswa. Mereka mau mendalami ilmu dan melakukan lebih dari apa yang saya ajarkan hingga memilih karir di bidang yang relevan berhubungan dengan saya ajar,” katanya kepada NU Online pada Ahad (13/9).

 

Latar belakang mahasiswanya yang beragam menjadikannya harus menerapkan konsep Nahdlatul Ulama, yakni memosisikan diri di tengah perbedaan karakter dan budaya tersebut. Ia menyadari, satu model pembelajaran saja yang diterapkan rasanya tidak adil.


Sebab, akademisi dan praktisi teknik industri itu melihat banyak cara agar lebih maksimal menggali potensi peserta didiknya. Cara-cara tersebut harus dipilih secara proporsional dengan menyesuaikan kondisi dan kemampuan mereka.


Hendro memperhatikan banyak mahasiswa dari Asia Timur yang introvert, menutup diri. Saking pendiamnya mereka, ia kadang-kadang tidak mengetahui apakah mereka memahami penjelasannya atau tidak.

 

“Biasanya saya kasih kuis online dengan orang introvert. Mereka jawab pertanyaan tanpa harus ngomong,” jelasnya.


Sementara itu, orang Jerman dan orang Eropa Tengah seperti Belanda dalam pandangannya tampak kritis. Jika dirasa dalam dirinya terdapat salah atau sekadar kurang pas, mereka tak segan akan langsung melayangkan kritik. Di lain pihak, ada yang gemar menjilat seperti masyarakat Asia Selatan.

 

Ada juga yang terlihat sangat pelan mengikuti pembelajarannya, bahkan tampak dari caranya makan dan berjalan, seperti Rwanda, Kenya, Subsahara Afrika. “Semua harus terakomodasi dengan kemampuan masing-masing,” katanya.


Pengajar juga harus beradab


Penempatan posisi di tengah-tengah peserta didiknya, menurutnya, menjadi adab seorang pengajar. Ia harus menyesuaikan dengan murid-muridnya.


“Jadi kalau di Nahdliyin ada adab menuntut ilmu. Dosennya harus punya adab juga. Yang saya terapkan itu prinsip adab secara umum, menempatkan sesuatu pada tempatnya. Dengan beda-beda kultur saya setting customize supaya masing-masing mendapat porsinya,” terang dosen terbang Universitas Airlangga, Surabaya itu.


Penempatan posisi di tengah ini juga saat mulai pembelajaran daring berlangsung. Ia harus memperhatikan waktu setiap mahasiswanya, karena di antara mereka ada yang pulang ke negara masing-masing, seperti Jepang, Ekuador, Argentina. Perbedaan jam di antara mahasiswanya ini juga harus ia siasati agar tidak memberatkan salah satunya.


“Saya ngadain kuliah random karena perbedaan waktu. Saya coba mix, ngasih kuliah yang live berinteraksi langsung. Di konten tertentu, saya rekam 10 sampai 15 menit setiap bagian supaya mahasiswa tidak bosen. Mereka bisa mengulang-ulang,” terangnya.

 

Ia secara bergantian melangsungkan pertemuan atau merekamnya lebih dahulu, tergantung materi yang hendak disampaikannya. Pada penyampaiannya, ia juga menyertakan kuis dan permainan.


Hal yang terpenting, menurutnya, adalah memberikan motivasi bagi peserta didiknya dengan memberikan penjelasan mengenai pentingnya materi tersebut baik secara teoritis maupun aplikatif. Hendro menghubungkan konteks Indonesia dan Jerman dalam penyampaiannya. Mereka juga harus mampu melakukan kontekstualisasi dengan negaranya masing-masing.


“Saya ngajar Smart City, saya tanya di India bagaimana, China gimana, Afrika gimana. Mereka akhirnya berpikir untuk mengkoneksikan antara materi kuliah dan negara masing-masing. Buat saya, itu keuntungan sendiri karena bisa belajar dari mereka,” jelas pria asal Sidoarjo, Jawa Timur itu.


Kemudian, Hendro juga mengupayakan untuk membentuk struktur berpikir mahasiswa. Misalnya, ketika mengajar ABCD, bukan berarti mahasiswa menelannya secara mentah-mentah pelajaran tersebut.


Menurutnya, ada kemungkinan mereka akan mengetahui A secara mendalam darinya. Tetapi, mereka juga mungkin memami B dari internet, sedang C diperoleh dari diskusi. Kalau sekadar menghafal, lanjutnya, kurang baik.


“Yang bentuk kita. Yang mengisi kontennya itu mahasiswanya sendiri,” ujar Kepala Grup Penelitian Manajemen Data Intelijen untuk Industri 4.0 (INDEED) itu.


Hal serupa, jelasnya, mestinya juga bisa diterapkan di Indonesia. Cara mengajar tidak saklek karena tidak ada yang paling benar untuk semua situasi. Sebagai pengajar, ia harus bisa melihat profil mahasiswa seperti apa, menempatkannya dengan sesuai, serta memanusiakannya.


Baginya, mahasiswa adalah teman, bukan bawahan. Dengan begitu, mereka merasa nyaman dan kerap memintanya untuk membimbing tugas akhirnya atau sekadar konsultasi lebih jauh.


Mengajar di Universitas Jacobs memberikannya kesan tersendiri mengingat mahasiswanya yang berasal dari lebih dari 100 negara di dunia. Artinya, di saat yang bersamaan, sebetulnya Hendro merasa bangga dapat memberikan sentuhan kepada para calon manajer di negerinya masing-masing.


“Mahasiswa-mahasiswi kami datang dari hampir seluruh empat penjuru dunia. Pada beberapa titik, mereka akan menjadi manajer di negara masing-masing. Itu membuat saya bangga untuk berpikir, bahwa saya berkontribusi untuk karir mereka,” katanya sebagaimana dikutip dari situs web resmi Universitas Jacobs pada Januari 2018 lalu.


Pewarta: Syakir NF

Editor: Fathoni Ahmad