Nasional

Ini Kajian Pesantren Situbondo Terkait Alokasi Dana Kurban untuk Warga Terdampak Covid-19 

Selasa, 13 Juli 2021 | 06:00 WIB

Ini Kajian Pesantren Situbondo Terkait Alokasi Dana Kurban untuk Warga Terdampak Covid-19 

"Jadi, saya ingin mengatakan bahwa pada dasarnya kurban itu identik dengan penyembelihan," kata KH Afifuddin dalam acara Bahtsul Masail Virtual Dana Kurban untuk Korban Covid-19, Senin (12/7).

Jakarta, NU Online

Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo Asembagus Situbondo menggelar bahtsul masail terkait pengalihan dana kurban untuk penanganan pandemi Covid-19 terutama membantu mereka yang terdampak secara ekonomi. Forum yang diikuti oleh alumni dan juga santri dari pondok pesantren lainnya mencoba membahas masalah ini dari sudut pandang hukum Islam.


Forum ini diadakan dalam rangka merespons diskusi publik terkait penanganan Covid-19 bagi mereka yang terdampak secara ekonomi menjelang Hari Raya Idul Adha.


Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo Asembagus Situbondo, KH Afifuddin Muhajir, menjelaskan bahwa terdapat dua opsi dalam masalah dana kurban ini. 


Pertama, dalam keadaan normal maka berkurban lebih prioritas ketimbang sedekah.


Kedua, bilamana keadaan kritis (seperti pandemi) kemungkinan besar sedekah lebih utama daripada berkurban.


"Jadi, saya ingin mengatakan bahwa pada dasarnya kurban itu identik dengan penyembelihan," kata KH Afifuddin dalam acara Bahtsul Masail Virtual Dana Kurban untuk Korban Covid-19, Senin (12/7).


Hal itu, kata Kiai Afif, tertuang dalam Surat Al-Kautsar ayat 2 bahwa berkurban hanya dianjurkan menggunakan hewan sembelihan. Oleh karena itu, ia menerangkan, meskipun dalam keadaan darurat uang yang dipergunakan untuk membantu pendanaan korban Covid-19 tidak bisa diklaim sebagai pengganti kurban karena sifatnya sedekah.


"Di masa-masa Covid-19 seperti ini lebih dianjurkan bersedekah menggunakan qimah udhiyah (biaya kurban) daripada udhiyah (kurban) itu sendiri. Tapi karena menggunakan uang itu berarti bukan udhiyah melainkan sedekah," terang Rais Syuriyah PBNU periode 2015-2020 ini.


Pembahasan lebih lanjut adalah soal bagaimana hukumnya menyalurkan uang hasil dari menjual hewan kurban yang belum disembelih untuk penanganan Covid-19. Kiai Afif menjawab, dalam hal ini bilamana penjual adalah pemilik kurban itu sendiri, maka hukumnya boleh karena ia mempunyai hak. Tetapi jika yang menjual adalah panitia kurban, maka praktik itu tidak diperbolehkan.


"Jadi, ada yang berpendapat bahwa boleh hukumnya menjual udhiyah sebelum disembelih, akan tetapi tsamanuha (uang)-nya itu harus kembali menjadi udhiyah lagi," jelas Kiai yang juga Dosen Ma’had Aly Situbondo Konsentrasi Studi Fiqih dan Ushul Fiqih ini.


Menurut penegasan Kiai Afif, maksud dari tsamanuha dalam hal ini adalah uang hasil penjualan binatang udhiyah, bukan uang yang dipersiapkan untuk membeli binatang tersebut. Namun, lanjut dia, bilamana mengutip pendapat dari dua ulama mazhab Maliki, udhiyah baru menjadi “wajib” ketika sudah disembelih, yakni sebelum disembelih orang yang punya kebebasan untuk menyalurkan orang yang berkurban. 


"Itu pendapat dari Imam Ahmad Ad-Dardir dan Imam Ad-Dasuki mazhab Malikiyah," tegasnya.


Sebagai informasi, dalam bahtsul masail yang dilaksanakan secara virtual pada Ahad (11/7) tersebut, hadir Pengasuh Pesantren Sukorejo KH Afifuddin Muhajir sebagai Musahih dan empat kiai perumus, yaitu, Kiai Imam Nahe'i, Kiai Muhyiddin Khatib, Ustadz Khairuddin Habzis, dan Ustadz Nurudholam.


Hasil Bahtsul Masail Dana Kurban untuk Korban Covid-19

Menurut mayoritas ulama, udhiyah lebih utama dari sedekah tathawwu' (sunah) karena di dalam udhiyah terdapat sedekah wa ziyadah, yaitu di samping untuk tujuan ith'am (makan) juga untuk syi'ar Islam. Pendapat ini berbeda dengan pendapat Sya'bi dan Malik yang menyatakan bahwa sedekah tathawwu' lebih afdhal dari udhiyah. Pendapat Imam Malik dan Sya'bi bisa dijadikan pijakan khususnya dalam kondisi darurat.


Bahkan, sebagian pendapat ulama mengatakan, udhiyah dapat dijual sebelum disembelih dan tsaman (nilai)-nya bisa digunakan untuk kepentingan yang lebih besar karena belum menjadi kewajiban. Namun demikian, sedekah tathawwu' tidak dapat menggantikan udhiyah sebab di dalam udhiyah meniscayakan adanya iraqatud dam (penyembelihan).


Kontributor: Syifa Arrahmah

Editor: Alhafiz Kurniawan