Nasional

Kaleidoskop 2022: 135 Orang Suporter Meninggal di Stadion Kanjuruhan, Tragedi Sepak Bola Terbesar di RI

Kamis, 29 Desember 2022 | 20:15 WIB

Kaleidoskop 2022: 135 Orang Suporter Meninggal di Stadion Kanjuruhan, Tragedi Sepak Bola Terbesar di RI

Suasana ricuh di Stadion Kanjuruhan Malang. Aparat keamanan terlihat menembakkan gas air mata di beberapa sudut termasuk ke tribun penonton. (Foto: Dok. Aremania)

Jakarta, NU Online

Tragedi Kanjuruhan menjadi sejarah kelam sepak bola tanah air yang terjadi pada 1 Oktober 2022 sekaligus menjadi tragedi sepak bola terbesar di Indonesia. Peristiwa yang menewaskan 135 jiwa ini bermula saat sejumlah pendukung tuan rumah, Arema, merangsek masuk ke lapangan untuk memberi semangat kepada tim tuan rumah, setelah kalah dari Persebaya Surabaya dalam pertandingan Liga 1 Indonesia.


Pasukan polisi kemudian merangsek ke para pendukung Arema dan menembakkan gas air mata ke arah tribun penonton. Setelah gas air mata ditembakkan, tribun pendukung Aremania itu berubah jadi neraka. Asap pekat membumbung, membuat dada sesak dan mata perih. Ribuan orang berlarian, menghindari gas air mata itu untuk menuju pintu keluar. 


Di pintu keluar yang kecil dan sempit itu, mereka berdesakan menyelamatkan diri. Di sinilah tragedi kematian itu terjadi. Para penonton bertumpuk di sana dan membuat mereka akhirnya saling injak. Korban tewas tak terhindarkan. 


Sehari setelah kejadian itu, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menyampaikan duka cita dan sekaligus menyerukan kepada warga NU untuk melaksanakan shalat gaib bagi korban jiwa kerusuhan di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur.


Tak hanya itu, PBNU langsung melakukan gerakan kemanusiaan dengan mendirikan posko terpadu NU untuk membantu para korban. Posko tersebut terletak di Jalan KH Hasyim Asy’ari Nomor 21, Kauman, Krajan, Kota Malang. 


Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) kemudian langsung bertolak ke Malang, pada 4 Oktober 2022. Ia menyebut tragedi Kanjuruhan adalah musibah besar, bahkan berskala internasional. Menurut Gus Yahya, tragedi ini terjadi karena kekeliruan dan kesalahan sehingga harus ada pertanggungjawaban. 


Atas kejadian itu, kinerja polisi langsung disorot publik karena melanggar kode etik Polri yang menembakkan gas air mata ke arah tribun saat terjadi kerusuhan di Stadion Kanjuruhan Malang. Kemudian ditetapkanlah enam tersangka yang tiga di antaranya dari pihak kepolisian.


Ketiga polisi yang menjadi tersangka itu adalah Kabag Ops Polres Malang Kompol Wahyu Setyo Pranoto, Kasat Samapta Polres Malang AKP Bambang Sidik Achmad, dan Komandan Kompi Brimob Polda Jawa Timur AKP Haasdarman. Mereka dijerat pasal 359, Pasal 360 KUHP atau Pasal 103 ayat 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 dengan penjara paling lama lima tahun. 


Hasil Investigasi Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) menyebutkan jatuhnya ratusan korban jiwa dalam tragedi Kanjuruhan disebabkan tembakan gas air mata. 


Para korban tragedi Kanjuruhan kemudian mendapatkan pelayanan yang diberikan melalui Posko Terpadu NU yang berdiri sejak awal kejadian. Ratusan korban peristiwa berdarah itu mendapatkan layanan berupa informasi, pelaporan serta pendataan korban yang belum ditemukan, pendampingan hukum, trauma healing, bantuan kesehatan dan santunan. 


Sebab berdasarkan temuan Komnas HAM, kericuhan yang terjadi di Kanjuruhan bukan lantaran pendukung Arema yang masuk ke lapangan tetapi karena ada gas air mata yang ditembakkan arah Aremania.


Sebenarnya, situasi sempat terkendali. Tetapi situasi itu berubah menjadi ricuh saat polisi menembakkan gas air mata. Kericuhan timbul karena rasa panik pendukung. Inilah yang menjadi penyebab terjadinya konsentrasi massa berdesakan di pintu keluar stadion. 


Kepada korban luka-luka dalam tragedi Kanjuruhan itu, PBNU melalui NU Care-LAZISNU memberikan santunan berupa Rp100 juta kepada 100 penerima manfaat, yang berarti 1 orang mendapatkan Rp1 juta. Santunan ini disalurkan pada 6 Desember 2022. 


Kamis (29/12/2022) hari ini, Komnas HAM menyatakan bahwa tragedi Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur yang menewaskan 135 orang itu bukan termasuk kategori pelanggaran HAM berat. Hal ini merujuk pada laporan pemantauan dan penyelidikan yang dikeluarkan Komnas HAM pada 2 November 2022. Kini, Komnas HAM tengah memantau rekomendasi dari laporan pemantauan yang dilakukan.


Laporan Komnas HAM tertanggal 2 November 2022 menyatakan tragedi Kanjuruhan merupakan peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi akibat tata kelola sepakbola yang diselenggarakan dengan cara tidak menjalankan, menghormati, dan memastikan prinsip dan norma keselamatan serta keamanan penyelenggaraan sepakbola. 


Pewarta: Aru Lego Triono

Editor: Fathoni Ahmad