Nasional

Kata Kades soal Jabatan 9 Tahun dan Dana Desa 2 Miliar hingga Potensi Korupsi

Jumat, 14 Juli 2023 | 19:30 WIB

Kata Kades soal Jabatan 9 Tahun dan Dana Desa 2 Miliar hingga Potensi Korupsi

Ilustrasi demo kades dan perangkat desa di DPR RI. (Foto: dpr.go.id)

Jakarta, NU Online 

Tuntutan Kepala Desa (Kades) beberapa waktu lalu akhirnya diwujudkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah. Kepala Desa kini bisa menjabat selama 9 tahun dalam satu periode dari yang sebelumnya cuma 6 tahun serta anggaran desa naik dari 8 persen menjadi 20 persen yang nantinya bisa naik dari Rp1 miliar ke Rp2 miliar.


Hal ini tertuang dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Perubahan Kedua UU Nomor 6 Tahun 2014 yang bakal disahkan menjadi undang-undang dalam waktu dekat. Asosiasi kepala desa meminta RUU Desa disahkan sebelum akhir masa jabatan anggota dewan pada 2024 mendatang.


Kepala Desa (Kades) Lengkong, Kecamatan Bojongsoang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat Agus Salam Rahmat menilai masa jabatan kepala desa yang diusulkan hingga 9 tahun terlalu lama. 


"Urusan pemilihan kades itu bukan persoalan demokrasi memilih dan tidak memilih. Konon pilkades ini konfliknya lebih tajam dibanding pemilu. Tidak salah sih, tapi kalau 9 tahun menurutku terlalu lama kalau bahasanya untuk rekonsiliasi ya cukup," kata Rahmat.


Soal anggaran dana desa yang naik 20 persen menurut Rahmat hal ini dinilai tepat. Apdesi telah menyuarakan anggaran naik 10 persen setelah dipotong pajak. Tidak hanya APBN 10 persen meminta juga kebijakan pusat jangan digeneralisir artinya jangan dikunci secara prosentase dan itu sangat memaksa desa untuk melakukan sesuatu yang tidak baik.


"Selama ini dana desa harus dioptimalisasikan di dalam pembangunan desa. Namun yang menjadi persoalan hari ini kurang diakuinya hak rekomisi. Misalnya soal ketahanan pangan di anggaran desa tertulis wajib di angka 20 persen dan itu digeneralisir semua daerah wajib sisihkan anggaran 20 persen untuk itu," tutur Rahmat.


Maraknya kades yang terjerat kasus namun minim pendampingan hukum juga menjadi tuntutan Apdesi kepada pemerintah untuk merevisi UU Nomor 6 Tahun 2014 ini.


"Terkait pendampingan hukum desa ini penting. Di desa banyak persoalan baik itu maladministrasi atau apa pun begitu mudah dikriminalisasi," tandasnya.


Sementara itu, Kepala Desa Kluwut, Kecamatan Bulakamba, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah Zainal Arifin mengatakan perpanjangan masa jabatan kepala desa dari 6 tahun menjadi 9 tahun dapat mengurangi cost atau biaya dalam pilkades. Sebab, pesta demokrasi tingkat desa, calon harus merogoh kocek dalam-dalam untuk kebutuhan kampanye.


Kata Arifin, konflik di tengah masyarakat terkait pilkades juga akan berkurang. Sebab, bukan rahasia lagi bahwa pilkades rawan menimbulkan gesekan di tengah masyarakat. Berkurangnya periodisasi pemilihan itu tentu akan mengurangi risiko konflik di tengah masyarakat.


"Rentan gesekan antar-pendukung akan hilang karena jarak pemilihan waktunya lama. Selama ini masih banyak gesekan-gesekan antar-rival di desa yang telah melaksanakan pilkades," ungkap Arifin.


"Selain itu dengan jabatan 9 tahun, kepala desa jauh lebih paham bagaimana menjalankan roda pemerintah," imbuhnya.


"Kalau negara bisa mencukupi itu jauh lebih baik karena secara langsung itu kembalinya lagi untuk masyarakat," jelas Arifin menanggapi kenaikan dana desa.


Potensi korupsi

Pakar otonomi daerah (otda) Djohermansyah Djohan menilai perpanjangan masa jabatan kepala desa dari 6 tahun menjadi 9 tahun rawan menimbulkan penyimpangan. Potensi korupsi juga semakin terbuka lebar jika kepala desa diberi kekuasaan dalam kurun waktu yang panjang. 


“Menyebabkan tata kelola governance dengan uang yang besar itu akan tidak efisien dan efektif, bahkan berpotensi ke penyimpangan, korupsilah,” kata Djohan dilansir Kompas.


Menurut Djohan, revisi UU Desa hanya mengutamakan kepentingan kades, bukan warga desa. Sebab, tampak jelas bahwa poin-poin yang direvisi dalam undang-undang ini bakal memperluas sekaligus memperkuat kekuasaan kades. 


“Jadi ini adalah betul-betul undang-undang yang saya bilang untuk kepala desa, bukan untuk rakyat desa,” ujarnya. 


Menyikapi potensi bahaya tersebut, Djohan menilai, tata kelola pemerintahan desa perlu dibenahi terlebih dahulu sebelum merealisasikan perpanjangan masa jabatan kades.


Penguatan pengawasan itu misalnya, menempatkan pegawai negeri sipil (PNS) sebagai sekretaris desa (sekdes). Biasanya, sekdes dipilih dari orang dekat yang membantu kepala desa saat pemilihan. 


Menurut Djohan, hal demikian menutup celah pengawasan, utamanya dalam hal penggunaan anggaran. Sekdes umumnya tak kuasa menolak perintah kades, sekalipun hal itu menyalahi aturan. Sebab, menolak perintah kades bisa berujung pada pencopotan jabatan sekdes. “Jadi harus kasih sekdes yang profesional, kompeten, yaitu PNS,” ujar Djohan.

 

Kontributor: Suci Amaliyah