Nasional

Kebijakan Diskriminatif Bisa Batasi Mobilitas Perempuan

Jumat, 27 Agustus 2021 | 03:30 WIB

Kebijakan Diskriminatif Bisa Batasi Mobilitas Perempuan

Ketua LKP2A Fatayat NU Riri Khariroh. (Foto: Tangkapan layar YouTube TVNU)

Jakarta, NU Online
Ketua Lembaga Konsultasi dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak (LKP2A) Fatayat NU, Riri Khariroh, mengatakan bahwa salah satu penyebab terjadinya diskriminasi adalah kebijakan diskriminatif.


Hal itu disampaikannya dalam acara Kajian Studi Kehidupan Agama Kontemporer (SKAK) bertema Kesalehan Sosial, Keadilan Gender dan Pemenuhan Hak Kelompok Minoritas yang ditayangkan channel YouTube TVNU, Kamis (26/8).


Menurut Dosen UNUSIA Jakarta tersebut, negara pada tahap tertentu ikut melegitimasi terjadinya diskriminasi perempuan maupun kelompok minoritas dengan adanya kebijakan-kebijakan diskriminatif di berbagai wilayah Indonesia.


“Catatan Komnas HAM hingga tahun 2016 menemukan 421 kebijakan diskriminatif. Salah satunya kebijakan terkait bagaimana mengatur moralitas perempuan itu sendiri,” ungkapnya.


Misalnya, kata dia, pemakaian busana yang dipaksa dengan menggunakan seragam-seragam tertentu di berbagai daerah tertentu.


“Kebanyakan terkait jilbab. Hal itu juga terjadi kepada orang-orang non muslim, yang dalam bahasanya diminta berbusana dengan menyesuaikan,” terangnya.


Riri juga menjelaskan, kebijakan diskriminatif akan membatasi mobilitas perempuan, antara lain tidak diperbolehkannya kaum hawa bekerja di arena-arena tertentu. Setidaknya ada dua lokus diskriminasi, yakni privat (terjadi di rumah tangga) dan publik (terjadi di masyarakat).


“Tapi sebenarnya yang lebih sistemik itu yang aktornya adalah negara. Dalam hal ini kebijakan-kebijakan yang dilahirkan. Misalnya, dalam konteks kaum minoritas seperti Ahmadiyah dan kelompok minoritas lainnya mengalami hambatan ketika mereka ingin mendirikan tempat ibadah,” tutur Riri.


Termarginalkan
Riri mengatakan, keputusan diskriminatif menjadikan perempuan termarginalkan serta mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap kaum minoritas.


“Kita harus tahu bahwa kelompok minoritas ini sudah lama termarginalkan secara sistematis. Seperti hak-hak dasar mereka tidak dipenuhi dalam pembuatan KTP, akte kelahiran, dan lainnya. Apalagi hak politik mereka, misal mau mencalonkan sebagai ketua RT,” terangnya.


Selain itu, lanjut dia, faktor sosial politik juga ikut melatar belakangi mencuatnya isu-isu kaum minoritas. 


“Seperti kalau mau ada pemilu atau pilkada, pasti isu kaum minoritas mencuat, lalu dibakar. Karena memang ada elit politik yang sengaja menggunakan isu kaum minoritas untuk menangguk keuntungan elektoral,” cetusnya.


Ia menambahkan, dalam hal ini yang sering menjadi korban adalah perempuan dan anak dari kaum minoritas. “Ada yang tidak bisa sekolah karena dipaksa mengikuti pelajaran agama Islam, kemudian tidak bisa beribadah sesuai kepercayaan mereka,” tuturnya.


Riri mengungkapkan, tiga pilar NU yakni ukhuwwah islamiyyah (persaudaraan sesama umat Islam), ukhuwwah wathaniyyah (persaudaraan sebangsa), ukhuwwah basyariyyah (persaudaraan sesama manusia), dapat menjadi pondasi teologis untuk meng-upgrade isu-isu kelompok minoritas.


“Kita ini bersaudara, kalau tidak bersaudara karena Islam ya sebagai sesama anak bangsa, kalau tidak ya sesama manusia. Kita punya hak sama yang dijamin konstitusi negara,” pungkasnya.


Kontributor: Afina Izzati
Editor: Musthofa Asrori