Nasional RAKORNAS LPBINU

Kepala BNPB: Perubahan Iklim, Hal Paling Ditakuti Dunia Saat Ini

Sabtu, 3 Juni 2023 | 17:00 WIB

Kepala BNPB: Perubahan Iklim, Hal Paling Ditakuti Dunia Saat Ini

Kepala BNPB Letjen TNI Suharyanto pada pembukaan Rakornas LPBINU di Pesantren Al-Hamidiyah Depok, Jawa Barat, Sabtu (3/6/2023). (Foto: NU Online/Suwitno)

Depok, NU Online
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Letjen TNI Suharyanto menyampaikan bahwa apa yang ditakuti saat ini bukan pandemi dan perang. Tetapi, yang paling ditakuti dunia saat ini adalah perubahan iklim.


“Perubahan iklim terbukti meningkatkan terjadinya bencana dengan sangat drastis dan lebih ekstrem,” ujarnya pada pembukaan Rakornas LPBINU di Pesantren Al-Hamidiyah Depok, Jawa Barat, Sabtu (3/6/2023).


Lebih lanjut, ia menerangkan jika melihat data bencana terkait iklim yang berdampak signifikan di tingkat global, khususnya sejak tahun 1961, terlihat bahwa kenaikan anomali suhu rata-rata global berbanding lurus dengan frekuensi kejadian bencana.


“Hal yang sama juga terlihat data bencana di Indonesia, tren kenaikannya mulai tahun 2010 sampai 2022 artinya dalam kurun waktu 12 tahun ini 82 persen, sehingga benar adanya peningkatan anomali suhu rata-rata baik di tingkat nasional maupun global menyebabkan  meningkatnya frekuensi kejadian bencana terutama bencana hidrometeorologi,” paparnya.


Suharyanto mengungkapkan, berdasarkan data yang dihimpun BNPB dari 1 Januari sampai 31 Mei 2023 sudah 1675, sehingga dalam 1 hari di Indonesia akan terjadi 9 atau 10 kali bencana. “Suatu jumlah yang tentu kita sepakat bukan jumlah yang kecil.”


“Nah, rinciannya 99.1 % itu bencana hidrometeorologi, 92.5 % adalah bencana hidrometeorologi basah, dan 6,6 persen merupakan bencana hidrometeorologi kering. Sisanya merupakan bencana hidrologi dan vulkanologi.”


Ia menjelaskan bahwa bencana hidrometeorologi basah, akar permasalahannya adalah urbanisasi yang memberikan tekanan pada lingkungan di hilir dan alih fungsi lahan secara sistematis legal yang mengurangi daya serap baik karbon maupun air mulai dari hulu hingga hilir.


“Urbanisasi meningkatkan emisi gas rumah kaca dalam bentuk buangan asap kendaraan, pabrik, dan asap lainnya. Hasil dari IQ-Air dari Swiss menunjukkan bahwa kualitas udara Jakarta dan sebagian besar Jabodetabek selalu pada kondisi yang tidak sehat,” ujarnya.


“Berikutnya alih fungsi lahan, perubahan bentang alam secara masif menyebabkan pengurangan vegetasi di kawasan resapan air yang mengurangi kemampuan alam dalam menyerap karbon secara umum. Meningkatnya kerentanan tanah air dan longsor karena tidak terserap secara optimal, sehingga menyebabkan longsor,” sambungnya. 

Suharyanto menyebut kejadian longsor secara masif pada umumnya terjadi di kawasan yang sudah mengalami alih fungsi lahan, seperti kejadian longsor di Sumedang pada awal tahun 2021 dengan memakan korban hingga 40 jiwa meninggal dunia.


“Peningkatan suhu global memicu kenaikan tinggi muka laut yang menyebabkan peningkatan frekuensi banjir di laut atau yang lebih dikenal dengan rob, diperparah oleh kerusakan ekosistem pesisir. Catatan BNPB dalam 3 tahun terakhir saja meningkat 46% dari 35% kejadian di tahun 2020, menjadi 75% kejadian di tahun 2022,” paparnya.


“Sementara dengan bencana Hidrometeorologi kering, saat ini kita juga sudah mulai mendengar dan melihat bahwa frekuensi kejadian kebakaran hutan dari minggu ke minggu selalu meningkat sehingga beberapa daerah,” pungkasnya.


Kontributor: Malik Ibnu Zaman
Editor: Musthofa Asrori