Nasional

Keran Impor Diperluas, UU Ciptaker Meliberalisasi Penyediaan Pangan Nasional

Jumat, 16 Oktober 2020 | 07:35 WIB

Keran Impor Diperluas, UU Ciptaker Meliberalisasi Penyediaan Pangan Nasional

Sekjen Pimpinan Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU), M. Kholid Syeirazi. (Foto: dok. istimewa)

Jakarta, NU Online

Sekretaris Jenderal Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) M. Kholid Syeirazi menyebut bahwa paradigma dari Undang-Undang (UU) Cipta Kerja adalah liberalisasi. Terutama yang berkaitan dengan penyediaan pangan.


Menurutnya, UU Cipta Kerja pada Pasal 64 telah mengubah beberapa ketentuan dalam UU Nomor 18 Tahun 2012. Perubahan itu, salah satunya adalah mengenai ketentuan sumber penyediaan pangan. 


“Kalau di dalam UU Pangan yang lama, penyediaan pangan itu yang pertama adalah cadangan pangan nasional, produksi dalam negeri, dan dalam hal belum mencukupi bisa dilakukan impor sesuai dengan kebutuhan,” jelas Kholid dalam diskusi virtual bertajuk Silang Sengkarut UU Cipta Kerja di 164 Channel, Kamis (15/10) kemarin.


Di dalam UU Nomor 18 Tahun 2012 Pasal 14 tentang sumber penyediaan pangan, pada poin pertama berbunyi bahwa sumber penyediaan pangan berasal dari produksi pangan dalam negeri dan cadangan pangan nasional.


Selanjutnya di poin kedua berbunyi, dalam hal sumber penyediaan pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum mencukupi, pangan dapat dipenuhi dengan impor pangan sesuai dengan kebutuhan. Dalam UU Cipta Kerja, penyediaan pangan dengan sistem impor diperluas.


“Tetapi UU Cipta Kerja ini merevisi pasal 14 UU Pangan ini. Menjadi sumber penyediaan pangan itu tiga yaitu produksi dalam negeri, cadangan pangan nasional, dan ketiga impor. Artinya, impor itu bukan sebagai pengecualian (seperti dalam UU Pangan), tetapi bagian dari sumber penyediaan pangan,” jelas Kholid.


Berikut bunyi pasal 64 UU Cipta Kerja poin ketujuh yang mengubah ketentuan sumber penyediaan pangan dalam UU Nomor 18 Tahun 2012, “Ketersediaan pangan adalah kondisi tersedianya pangan dari hasil produksi dalam negeri, cadangan pangan nasional, dan impor pangan.” 


“Artinya (saat ini) impor (pangan) bukan pengecualian. Tetapi bagian dari sokoguru penyediaan pangan nasional. Akibatnya, jelas kita akan semakin mengandalkan rantai pangan yang disuplai dari impor,” tuturnya.


Ia menegaskan bahwa aturan yang diubah di dalam UU Cipta Kerja itu sangat berbahaya karena akan berdampak pada kerugian para petani. Inilah yang disebutnya bahwa paradigma UU Cipta Kerja adalah liberalisasi karena bergantung pada pasar. 


“Jadi karena menggunakan paradigma liberalisasi dan bergantung pada pasar maka tidak ada affirmative action (upaya penguatan) terhadap petani dan tidak ada proteksi harga,” ungkap Kholid.


Ketahanan pangan pesantren


Sementara itu, nun jauh di Desa Sukagalih, Kecamatan Targorong, Kabupaten Garut terdapat sebuah lembaga pendidikan Islam yang bergerak pada pembelajaran pengolahan pertanian dan perkebunan, sebagai upaya ketahanan dan kemandirian pangan pesantren.


Lembaga pendidikan itu adalah Pesantren Ekologi Ath-Thariq asuhan KH Ibang Lukman Nurdin dan Ny Nissa Wargadipura. Di sana, para santri diajarkan agar fokus untuk melayani diri sendiri serta alam. Sebab keduanya adalah bagian yang tak terpisahkan dalam hidup. 


Soal pertanian dan perkebunan pun masuk ke dalam kurikulum belajar pesantren. Pengolahan pertanian dan perkebunan di sana menggunakan open pollinated organic seed (benih organik yang diserbuki secara terbuka). 


“Kami mendirikan Pesantren Ath-Thariq yang memiliki konsep pesantren ekologi. Jadi selain belajar mengaji, para santri juga diajarkan Bertani dengan model pertanian ekologi yakni memelihara berbagai habitat di dalamnya untuk menjaga ekosistem,” jelas Teh Nissa demikian sapaan akrab Ny Nissa Wargadipura kepada NU Online, Jumat (16/10).


Pesantren yang didirikan pada akhir 2009 ini telah nyata-nyata menjaga ekosistem ekologi dengan kajian ilmu agama sebagai pijakan.

 

“Kami bertani menggunakan cara yang kuno dan tradisional tetapi kami yakini bahwa model pertanian itu adalah model pertanian yang alternatif, model yang menjaga soal lingkungan, soal ekologi, soal hubungan manusia dengan alam,” ungkapnya.


Setiap Ahad, santri diajak untuk bertani dengan berbagai jenis pangan untuk kebutuhan pangan seluruh anggota keluarga pesantren. Lahan seluas 7500 meter persegi dimanfaatkan menjadi beberapa zona yakni area persawahan, kebun tanaman pangan, peternakan, dan pembenihan.


“Keluarga pesantren mengonsumsi tanaman pangan sesuai dengan hasil panen yang tersedia. Para santri di sini terbiasa mengonsumsi umbi-umbian, pisang, dan pangan selain nasi untuk memenuhi kebutuhan karbohidrat,” tambahnya.


Selain itu, mereka juga dapat mengonsumsi sayur-sayuran yang ditanam di kebun sendiri. Seluruh hasil pertanian di lahan Pesantren Ath-Thaariq dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga pesantren. 


Jika hasil panen berlimpah, akan dijual untuk menumbuhkan kehidupan perekonomian pesantren. Menurut Nissa, konsep pertanian seharusnya mengutamakan kebutuhan pangan sendiri terlebih dulu sebelum berpikir untuk menjual hasil pertanian.


“Pesantren ini akan memenuhi dulu kebutuhan keluarga akan nutrisi, vitaminnya, karbohidratnya, dan sayurannya. Diamankan dulu, kalau berlebih baru dikeluarkan (dijual),” pungkasnya. 


Pewarta: Aru Lego Triono

Editor: Fathoni Ahmad