Nasional

Kiai Afifudin Muhajir, Antara Masa Muda tanpa Cita-cita dan Ajaran Ta’lim Al-Muta’allim

Sabtu, 13 Februari 2021 | 11:45 WIB

Kiai Afifudin Muhajir, Antara Masa Muda tanpa Cita-cita dan Ajaran Ta’lim Al-Muta’allim

KH Afifudin Muhajir. (Foto: Humas UIN Walisongo Semarang)

Surabaya, NU Online
KH Afifuddin Muhajir adalah nama yang tak asing lagi bagi dunia akademisi, Ia dijuluki 'Sang Kamus Berjalan', sebab kepakarannya dalam literasi keagamaan yang bertaraf nasional, bahkan internasional. Kealimannya, terutama dalam bidang fiqih-ushul fiqih, sangat luas dan mendalam. 

 

Terbukti, tak hanya dari kalangan ulama dan intelektual Muslim Indonesia yang memuji dan mengakui kepakarannya, tetapi juga dari berbagai belahan dunia, seperti syekh Wahbah az-Zuhaili, seorang pakar fiqih-ushul fiqih dari negeri Timur Tengah, Suriah. Ia memberi gelar 'Sang Cerdik-Cendekia' kepada kiai kelahiran 65 tahun lalu itu.


Kiai Afif, demikian ia karib disapa, adalah salah seorang ulama terkemuka dengan masa muda yang cukup unik. Ternyata, sang kiai berkaliber tinggi ini menjalani masa mudanya tanpa cita-cita sama sekali. Hal ini didasari oleh pribadinya yang tak pernah bermuluk-muluk untuk menjadi ini dan itu. Tak seperti lazimnya anak muda yang penuh dengan cita-cita dan angan. Tak ayal, bila banyak dari kalangan santri yang tercengang mengetahui hal itu. 

 

"Jangankan bayangan, cita-cita untuk jadi apa pun tidak ada," tegas kiai kelahiran Sampang, Madura ini.

 

Pendirian kiai Afif yang memilih untuk tidak bercita-cita ini, tidak hanya berbeda dengan anak muda pada umumnya, melainkan juga bertentangan dengan teori Syekh az-Zarnuji dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim Thoriq at-Ta’allum (hal. 23), tentang dua hal penting yang harus dikantongi seorang pelajar. Yaitu, cita-cita yang tinggi (al-himmah al-‘aliyah) dan kesungguhan (al-jiddu).

 

Dalam Ta’lim al-Muta’allim, Syekh az-Zarnuji menulis Warra‘su fi tahshili al-asyyā’ al-jiddu wa al-himmah. "Syarat utama dalam meraih segala hal adalah kesungguhan dan cita-cita."


Syekh az-Zarnuji melanjutkan, barangsiapa yang bercita-cita bisa menghafalkan semua karya Muhammad bin al-Hasan, lantas disertai dengan kesungguhan dan ketekunan, biasanya ia akan mampu menghafalkan sebagian besar atau separuhnya saja. Namun, bila hanya berangan, tanpa kesungguhan menggapainya, atau sebaliknya, mustahil keilmuannya akan luas dan mendalam.


Masih dalam kitab yang sama, dengan redaksi lain az-Zarnuji menjelaskan Wa labudda li thālib al-‘ilmi min al-ahimmah al-āliyah fi al-‘ilmi fainna al-mar‘a yathīru bihimmatihi kaththairi yathīru bijanāhaihi. "Seorang pelajar harus memiliki cita-cita dan harapan yang tinggi dalam bidang keilmuan. Karena seseorang dapat terbang dengan cita-citanya sebagaimana burung yang terbang dengan dua sayapnya."


Berbeda dengan kiai Afifuddin Muhajir saat nyantri di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Situbondo, Jawa Timur. Ia termasuk santri yang hanya memiliki kesungguhan dan ketekunan (al-jiddu wal muadzobah) saja, tanpa cita-cita. Pendirian kiai produk asli Sukorejo ini, jauh menyimpang dengan pendirian sang pahlawan proklamator, Presiden Indonesia pertama, Soekarno. Dalam salah satu nasihatnya dikatakan, "Bermimpilah setinggi langit. Jika engkau jatuh, engkau akan jatuh di antara bintang-bintang."


"Oleh karena itu, saya melihat perjalanan saya belajar sejak awal, tidak sesuai dengan konsepnya Ta’lim al-Muta’allim. Menurut Ta’lim al-Muta’allim, agar pencari ilmu bisa sukses, syaratnya dua. Pertama, cita-cita yang tinggi (al-himmah al-‘aliyah). Kedua, serius (al-jiddu). Rupanya, yang pertama itu tidak ada bagi saya. Entah yang kedua, keseriusan dalam mencari ilmu. Mungkin ada, walau tak banyak," jelas Rais Syuriyah PBNU itu suatu ketika.

 

Lantas, dengan ini, apakah kiai peraih gelar Doktor Honoris Causa (DR. HC) bidang fiqih-ushul fiqh itu meragukan autentisitas kitab Ta’lim al-Muta’allim-nya az-Zarnuji dalam hal ini? Tentu tidak mungkin. Selain mengingat sosok yang ketawaduan dan penghormatannya yang tinggi terhadap ilmu dan ahlul ilmi, juga asumsi di atas tidaklah logis, bahkan menentang kaidah berpikir yang benar, yaitu dengan mengambil jalan kompromistis (al-jam’u wa at-taufiq) dari dua hal yang bertentangan (ta’ārudl).

 


Jadi barangkali, pertentangan antara teori az-Zarnuji dan fakta pribadi Kiai Afif di atas, dapat didialogkan dengan mengasumsikan bahwa teori dalam Ta’lim al-Muta’allim itu, ditulis berdasarkan standar umum (al-aglabiyyah). Sehingga, beberapa hal yang sifatnya personal-seperti yang terjadi pada Kiai Afif-terkecualikan dari standar umum tersebut. 


Jelasnya, apa yang terjadi pada sosok Kiai Afif, tidak berarti merobohkan bangunan teori yang sudah ada. Karena mayoritas, mereka yang sukses adalah mereka yang bercita-cita tinggi serta tekun dalam menggapai impiannya.

 

Pewarta: Ahmad Dirga
Editor: Kendi Setiawan